Selasa 31 Jan 2017 15:00 WIB

RI Darurat Perceraian

Red:

Ketahanan keluarga Indonesia dalam ancaman. Daya tahan keluarga Indonesia di ambang kerapuhan yang salah satunya ditandai dengan tingginya angka perceraian. Indonesia saat ini menempati ranking teratas sebagai negara dengan angka perceraian tertinggi di dunia.

Di negeri ini, setiap jam terjadi 40 kasus perceraian. Dari data itu, 70 persennya gugat cerai dari pihak istri, angka cerai talak sejumlah 30 persen.  Dalam tujuh tahun terakhir, terjadi peningkatan angka perceraian di Indonesia sebesar 16-20 persen sejak 2009 hingga 2016.

Kebanyakan perceraian terjadi pada pasangan nikah usia di bawah 35 tahun. Mengapa banyak terjadi perceraian? Banyak faktor penyebabnya  memang. Namun, pemerintah berkeyakinan sumber persoalannya karena kurangnya pemahaman tentang pernikahan.

Pemerintah kemudian memunculkan gagasan menata ulang program kursus pranikah. Setiap pasangan yang akan menikah jika dulunya sifatnya sukarela mengikuti kursus pranikah, kini sifatnya menjadi wajib dan bersertifikat.

Kepemilikan sertifikat dijadikan salah satu syarat bagi orang yang akan menikah. Selain sertifikasi, materi kursus pranikah diperluas, lebih diarahkan kepada sebab-sebab perceraian dan berbagai problematika keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, dan perlindungan anak.

Cukupkah upaya menyelamatkan keluarga dari perceraian dilakukan dengan langkah-langkah tersebut? Untuk menjawabnya, harus dilakukan uji efektivitas kursus pranikah yang digadang pemerintah sebagai solusi menurunkan angka perceraian.

Harus dipastikan agar jangan sampai pasangan calon pengantin menjalani kursus ini semata-mata demi sertifikat agar bisa menikah. Kualitas pemahaman tidak diperhatikan lagi. Jika kepentingan kursus ini tidak tertanam, tujuan kursus ini pun bisa gagal.

Terlebih kursus itu dilaksanakan sebelum pernikahan, pada kondisi pasangan yang belum mengalami rumitnya hidup berumah tangga. Tentu saja penerimaannya sangat minim dibandingkan jika menerima kursus saat menjalani rumah tangga.

Maka sangat mungkin mereka mengikutinya hanya sebatas menumpuk pengetahuan. Dengan demikian, pemerintah jangan terlalu percaya diri menjadikan program kursus pranikah sebagai jalan sukses mengurangi angka perceraian.

Sekeras apa pun upaya mewajibkan kursus pranikah, tetapi jika tidak dibarengi upaya menghilangkan penyebab hakiki perceraian, pemerintah tak akan menemui hasil menggembirakan. Sungguh pemicu perceraian begitu kompleks. 

Jika ditelisik, penyebabnya bukan semata-mata soal edukasi bagi calon pengantin.  Kondisi sistem ekonomi dan sosial yang rusak saat ini telah menjadi donatur utama bagi kerapuhan keluarga.

Beratnya beban keluarga saat ini mungkin tak akan bisa dihadapi para pasangan meski mereka sudah lulus kursus pranikah dan bersertifikat. Sempitnya hidup berkeluarga dalam sistem kehidupan kapitalis yang memiskinkan, sangat berpengaruh terhadap keharmonisan suami istri.

Konflik suami istri sering terjadi hanya karena minimnya uang belanja dan ketidakmampuan keluarga mencukupi kebutuhan-kebutuhannya. Keharmonisan suami istri juga sering terganggu oleh paham kebebasan atau liberalisme di segala lini kehidupan.

Di berbagai tempat, terpapar hal-hal yang membangkitkan naluri seksual yang berpotensi memalingkan kesetiaan suami ataupun istri. Kecenderungan terhadap lawan jenis juga penyimpangan seksual kian masif.

Bahkan, pasangan yang harmonis pun bisa tergerus oleh semua itu. Mereka yang memiliki pemahaman benar pada awal menikah tak sedikit yang kalah oleh beratnya tantangan kehidupan sekuler kapitalis saat ini.

Gugat cerai  istri kepada suami sangat boleh jadi marak terjadi karena liberalisme dan kesetaraan gender (feminisme), yang menjangkiti  perempuan-perempuan Indonesia. 

Bahaya program kesetaraan gender adalah menolak aturan-aturan syariat, misalnya perempuan berhak untuk tidak mau hamil dan boleh melakukan aborsi. Menurut kesetaraan gender, wanita yang tidak nyaman hamil (anak tidak diinginkan) boleh melakukan aborsi.

Begitu pula, konsep kesehatan reproduksi, yang dilakukan di pos-pos kesehatan,  tak jarang dimanfaatkan sebagai ajang sosialisasi bahwa perempuan yang tidak nyaman hamil boleh aborsi.

Tak hanya itu, ide kesetaraan gender juga membuat para perempuan memandang, seorang istri boleh menuntut ke pengadilan jika merasa dipaksa atau diperkosa suami. Akibatnya, angka perceraian di Indonesia didominasi gugat cerai (khulu').

Belum lagi konsep kemandirian perempuan, iming-iming konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women), yang sudah diratifikasi Pemerintah Indonesia menyatakan, perempuan berdaya adalah yang bekerja.

Buruh pabrik adalah perempuan berdaya, sedangkan ibu rumah tangga adalah perempuan tidak berdaya. Di Amerika, aturan yang kacau ini sudah diterapkan.

Di Indonesia, implementasi CEDAW membawa dampak, yakni laki-laki banyak tidak terserap dunia kerja karena banyak lapangan pekerjaan sudah diisi tenaga kerja perempuan. Yang terjadi kemudian, laki-laki banyak yang menganggur.

Mereka hanya menjadi penunggu rumah seraya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, yang umumnya dilakukan perempuan.  Termasuk Tenaga Kerja Indonesia (TKI), tak sedikit para istri yang pergi keluar negeri untuk bekerja, sementara para suaminya menganggur di rumah.

Kondisi ini sangat rentan memicu perceraian, entah karena perselingkuhan gara-gara jauh dari istri atau suami, entah karena istri sudah merasa berdaya secara ekonomi sehingga merasa tidak butuh pada suami.

Secara psikis, perceraian sangat memengaruhi perkembangan anak, baik ketika kanak-kanak maupun saat si anak sudah remaja.  Bagi anak-anak yang belum mengerti maksud 'perceraian', mereka mungkin sering bertanya-tanya, mengapa orang tuanya tidak pernah bersama-sama lagi.

Mereka hanya menuruti ucapan orang tuanya. Bagi remaja yang emosinya masih sangat labil, mereka menganggap hal tersebut adalah kehancuran hidupnya, hidup akan jauh berbeda pascaperceraian orang tuanya, merasa segalanya menjadi kacau, dan merasa kehilangan.

Perceraian tak jarang juga berdampak pada tidak seimbangnya kasih sayang dan perhatian kedua orang tua terhadap anak-anaknya.  Tak sedikit remaja terjerumus ke lembah narkoba, seks bebas, tawuran, dan kenakalan lainnya lantaran perceraian orang tuanya.

Karena itu, seharusnya pemerintah (negara) fokus pada akar persoalan. Tentu akan lebih efektif mencegah daripada mengobati. Kursus pranikah ibarat mengobati luka pada keluarga. Nah, upaya tak kalah penting, mencegah terjadinya kecelakaan yang berakibat luka.

Untuk menekan perceraian, pemerintah harus menyelesaikan persoalan kemiskinan dan lapangan kerja agar kondisi keterdesakan ekonomi tidak menyulut api perceraian. Negara juga harus mengatur perilaku manusia agar tidak mengarah pada kerusakan.

Negara dituntut meminimalisasi pergaulan bebas dan perselingkuhan dengan penjagaan dan penegakan hukum.  Media massa juga mengemban peran strategis dalam penjagaan cara hidup masyarakat.

Mereka berkewajiban memberikan pendidikan bagi masyarakat, dan bukan malah menciptakan pusaran bagi masyarakat untuk menjalani kehidupan  hedonis.

Melalui serangkaian upaya tersebut, kita berharap keluarga-keluarga Indonesia terselamatkan dari perceraian, yang pada gilirannya akan memperkuat ketahanan bangsa ini. Sebab, keluarga adalah gerbong pencetak generasi bangsa. n

Siti Nuryati

Alumnus Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB, Penerima Penghargaan Menko Kesra  atas Gagasan Pengentasan Kemiskinan dan Perluasan Lapangan Kerja (2008)

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement