Ahad 08 Jan 2017 18:00 WIB

Suriah dan Politik Pecah Belah Timteng

Red:

Seandainya tidak ada Perang Dunia, wajah Timur Tengah (Timteng) akan sangat berbeda dari yang kerap kita temui pada halaman muka pelbagai media massa. Timur Tengah dewasa ini, menurut Ayse Tekdal Fildis dalam artikelnya, The Troubles in Syria: Spawned by French Divide and Rule (2011), muncul akibat keputusan politik yang dihasilkan pihak Sekutu selama dan setelah Perang Dunia I. Inggris Raya dan Prancis paling bertanggung jawab dalam mengubah wilayah ini, yang dahulu hanyalah provinsi-provinsi sunyi milik Kesultanan Ottoman.

Ya, dalam kekuasaan khilafah Islam terakhir itu, Timur Tengah relatif stabil. Adalah perjanjian rahasia, Sykes-Picot, pada April-Mei 1916 yang membagi-bagi wilayah Arab Kesultanan Ottoman itu kepada para raksasa Eropa. Perjanjian ini menentukan bahwa wilayah Mesopotamia (Irak), Teluk, dan daerah-daerah perbatasan Palestina diberikan kepada Inggris Raya. Sementara, wilayah Suriah diperuntukkan Prancis.

Dalam catatan Fildis, Prancis berkepentingan menjaga hubungan yang berabad-abad lamanya dengan komunitas Katolik Suriah. Di samping itu, tentu saja, ada interes ekonomi, misalnya, pemantapan basis pelabuhan di sisi timur pesisir Laut Tengah. Dari sana, pasokan kapas dan sutra akan mengalir lancar ke Prancis.

Begitu pula kepentingan politik. Dengan menguasai Suriah, Prancis berupaya membatasi pengaruh nasionalisme Arab agar tidak menular ke Afrika Utara, wilayah yang menjadi lingkup pengaruhnya, khususnya Aljazair. Demikianlah, kekuasaan 400 tahun lamanya Kesultanan Ottoman atas Suriah mulai pudar.

Wilayah Suriah dalam kurun akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 tidak berbatas tegas seperti sekarang. Saat itu, istilah Suriah kerap dipertukarkan dengan Suriah Raya, Suriah Geografis, atau Suriah Natural. Namun, wilayah itu dibatasi oleh penanda-penanda geografis, yakni Aqaba dan Sinai di selatan, Pegunungan Taurus di utara, Gurun Suriah di timur, serta Laut Tengah di barat. Batas-batas itu kini melingkupi negara-negara Yordania, Palestina (termasuk wilayah yang dianeksasi Israel), Lebanon, dan Suriah (modern). Adapun Suriah modern kini dibatasi oleh Lebanon dan Laut Tengah di barat, Turki di utara, Irak di timur, Yordania di selatan, dan Palestina di barat daya.

Negara Suriah modern awalnya merupakan wilayah protektorat Prancis. Sejarawan Philip K Hitti (1959) mencatat, pada 12 April 1945 Suriah terdaftar sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal itu mengindikasikan pengakuan internasional atas kemerdekaan Suriah dari kekuasaan Prancis.

Hingga akhir 1945, Prancis dan Inggris Raya telah besepakat mengeluarkan pasukannya masing-masing dari wilayah Suriah dan Lebanon. Pada 24 Oktober 1945, Suriah mendapatkan kemerdekaan sebagai republik parlementer. Namun, pasukan Prancis belum benar-benar meninggalkan wilayah ini hingga 17 April 1946 atas desakan PBB. Sejak saat itu, pemerintahan Suriah yang berdaulat mulai hadir.

Namun, Suriah dalam masa awal kemerdekaan penuh gejolak politik. Ada cukup banyak upaya kudeta militer dalam periode 1949-1971. Pada 1958, Suriah bergabung dengan Mesir membentuk Republik Persatuan Arab. Keadaan itu terhenti pada 1961 oleh kudeta atas status quo Suriah. Pada 1 Desember 1961, terjadi referendum konstitusi Suriah. Partai Baath berkuasa, tetapi masih diwarnai pelbagai upaya kudeta.

Dalam Syria Under Assad (1986), dijelaskan bahwa rezim Assad naik ke puncak kekuasaan pada November 1970 setelah mengalahkan kubu Jedid dalam fraksi Alawi. Sekali Assad menguasai puncak, maka mayoritas fraksi Alawi (kelompok minoritas), baik sipil maupun bersenjata, segera mendukungnya. Kepemimpinan Hafez al-Assad inilah yang menjadi tulang punggung bagi rezim Ba'ath di Suriah sejak 1970-2000. Hafez merupakan ayah dari Bashar al-Assad. Hafez merupakan kalangan minoritas pertama yang pernah menjadi presiden Suriah.

Dalam masa kekuasaannya, Assad cukup banyak membuat kebijakan yang terbilang populer. Khususnya mengenai bidang ekonomi, seperti penciptaan lapangan pekerjaan, penurunan pajak, atau peningkatan mutu layanan publik. Di bidang regulasi, pada Juni 1971, Assad berhasil mengembalikan konstitusi Suriah kepada bentuknya semula, sebagaimana pra-Konsititusi 1969 yang bernada sekuler.

Teks sumpah jabatan kembali memuat kata-kata Demi Allah, saya bersumpah dari yang sebelumnya berbunyi, Saya bersumpah demi kepercayaan dan kehormatan saya. Konsitusi baru ini juga menegaskan syarat Islam sebagai agama seorang presiden Suriah. Assad berupaya menunjukkan kesan sebagai pribadi Muslim yang taat. ed: nashih nashrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement