Senin 10 Oct 2016 18:00 WIB

BINCANG BISNIS- Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, Founder Tjampuhan Group: Bisnis Berseri Budaya Lestari

Red:

Ubud tak pernah paceklik dari kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik yang berkunjung ke Bali sepanjang tahun. Meski demikian, masyarakatnya tetap sederhana tanpa khawatir akan kehidupan duniawi. Demikian juga halnya dalam berbisnis di mata Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Tjok Ace).

Pendiri Tjampuhan Group ini bersama keluarga besarnya mengembangkan bisnis hospitality berlandaskan budaya. Pria ini memiliki berbagai jabatan profesi, mulai dari pengusaha, akademisi, seniman, arsitek, bangsawan, hingga sosok yang aktif terlibat dalam berbagai pengembangan dunia pariwisata di Pulau Dewata. Tjok Ace mempertahankan kesederhanaan dalam bisnisnya dan menomorsatukan budaya dalam praktiknya. Berikut petikan wawancara wartawan Republika, Mutia Ramadhani, dengan beliau di Bali, beberapa waktu lalu.

Bagaimana awal berkembangnya Tjampuhan Group?

Hotel Tjampuhan adalah cikal bakal dari semua usaha kami. Awalnya kami cuma fokus di perhotelan, kemudian berkembang ke usaha restoran, spa, museum, dan sekolah. Tjampuhan awalnya hanya sebuah studio gambar pada 1929 dan sama sekali tidak didesain untuk hotel. Kolam renangnya baru dibangun pada 1935.

Kami mulai membenahinya pada 1960-an, itu pun karena tempat tersebut digunakan sebagai lokasi pertemuan anggota Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). PHDI yang memancing kami untuk membangun fasilitas waktu itu. Hotel Tjampuhan yang awalnya hanya 12 kamar berkembang menjadi 18 kamar, hingga sekarang sudah di atas 80 kamar.

Bisnis apa saja yang dikelola?

Grup usaha kami mengelola sejumlah bungalow, Puri Pita Maha, Royal Pita Maha Resort & Spa, Hotel Tjampuhan, Tjampuhan Restaurant, The Bridges Restaurant, Kirana Spa, Sekolah Tinggi Ubud College, Museum Puri Lukisan, dan Museum of Marketing 3.0 yang berlokasi di Ubud, Gianyar. Saya tak ingin menyebut ini bisnis sebab kami bukan profit oriented, melainkan social oriented.

Lokasi penyebaran usaha?

Saat ini, kami sepenuhnya fokus di Ubud, Gianyar. Dulu sempat masuk ke Buleleng pada 1990. Tamu-tamu Australia ketika itu masih ramai. Kami juga pernah masuk ke Kuta, tapi hanya sampai masa kontrak berakhir.

Jumlah karyawan yang dimiliki?

Ada sekitar 600 karyawan dan seluruhnya masyarakat lokal.

Yang membedakan Tjampuhan dengan grup usaha lainnya?

Kami tidak berorientasi keuntungan, tapi sosial. Dari segi perekrutan tenaga kerja, misalnya, yang bersifat padat karya. Jika kami hanya ingin meraih keuntungan, kami bisa saja menekan jumlah tenaga kerja. Kami ekspansi membangun hotel baru bukan karena terdorong ingin mendapat untung lebih banyak, melainkan strategi kami untuk menyejahterakan masyarakat lokal dan sekitar.

Mengapa orientasi bisnisnya sosial?

Saya contohkan sejarah pendirian Hotel Royal Pita Maha pada era 1990-an. Lokasi tempat hotel ini berdiri dahulunya adalah tanah desa yang dikontrak jangka panjang 30 tahun untuk pembangunan hotel besar oleh seorang pengusaha Australia.

Saya baru tahu belakangan, padahal waktu itu banyak hotel kecil milik masyarakat di sekitarnya. Jika hotel besar itu beroperasi, investor asing pasti menjadi kompetitor luar biasa bagi kami, belum lagi potensi timbulnya masalah sosial tinggi sekali.

Tenaga kerja kami yang selama ini notabene masyarakat lokal sangat tertib dalam hal budaya. Jika Nyepi, ya Nyepi. Investor yang berorientasi profit hanya akan menimbulkan persaingan tak sehat dengan warga kami sendiri dan pada akhirnya terjadi benturan sosial.

Saya ambil alih hotel tersebut dengan cara mengembalikan investasinya ditambah sejumlah ganti rugi kontrak. Jadi, semangat usaha kami bukan keuntungan, tapi ingin mengonservasi kawasan Ubud dan sekitarnya supaya tidak hancur budayanya. Hotel Royal Pita Maha sampai sekarang mempertahankan aspek konservasinya dengan hanya mengelola 25 private villa di atas tanah seluas dua hektare.

Sejak kapan terjun ke bisnis hospitality?

Saya dikenalkan orang tua dengan bisnis ini sejak kecil, sekitar 1973. Perusahaan keluarga bekerja sama dengan pihak lokal di Sydney, Australia, lewat Bali Travel Service. Saya banyak belajar di sana.

Sepulangnya dari Australia, saya sekolah, dan melanjutkan kuliah di Bali. Meski demikian, saya tak serta-merta menggantikan peran ayah meneruskan usahanya. Setelah lulus kuliah pada 1984, saya baru mulai menjalankannya bersama saudara-saudara saya.

Saya anak kedua dari tiga bersaudara. Saya banyak mengadopsi pemikiran kakak saya yang alumnus sekolah pariwisata di Swiss tentang bisnis usaha pariwisata. Manajemen perusahaan banyak dibantu adik saya yang lulusan fakultas ekonomi.

Bagaimana Anda menjalankan bisnis ini, khususnya hotel dan restoran?

Saya terus terang masih kalah dari mendiang ayah saya dalam hal ekspansi usaha. Ayah saya pada 1960-an sudah membuat hotel di Banyuwangi dan masih ada sampai sekarang. Saya sendiri saat ini masih fokus di Bali, meski ada keinginan untuk ekspansi ke Lombok dan membangkitkan kembali city hotel kami di Banyuwangi. Bali masih sangat potensial untuk meningkatkan usaha.

Capaian bisnis Tjampuhan Group dari tahun ke tahun?

Dari segi kuantitas, sejalan peningkatan kunjungan wisatawan ke Bali, kami bersyukur masih mengikuti perkembangannya. Capaian kami masih in line karena melakukan diferensiasi. Karakteristik usaha dan konsep wisata hotel yang kami bangun tetap mengutamakan sentuhan budaya ketimbang sekadar industri.

Usaha kami lebih banyak melibatkan interaksi dengan wisatawan sendiri. Royal Pita Maha, misalnya, tetap mengelola 25 private villa. Akan beda rasanya saat kita hafal nama wisatawan yang menginap di tempat kita, menyapanya langsung, menciptakan suasana bagaikan di rumah sendiri.

Dari segi margin, menaikkan rate kamar hotel di Bali selalu terbentur persaingan dengan hotel-hotel murah yang menjamur saat ini. Apalagi, bujet hotel sudah ramai masuk ke Ubud, menekan margin hotel-hotel seperti kami. Keuntungan tak dimungkiri ikut turun. Saya rasa ini juga dialami industri perhotelan lainnya di Bali.

Berapa okupansi hotel-hotel yang dikelola Tjampuhan Group?

Break event point (BEP) kami dulu 45 persen. Artinya, jika hunian kamar sudah terisi 45 persen, perusahaan sudah untung. Sekarang angkanya harus 53-55 persen. Jadi, kami berusaha minimal 60 persen okupansi hotel per tahun terpenuhi.

Apalagi, kami ini padat karya, bangunannya berbentuk cottage yang biaya pemeliharaannya cukup tinggi. Jika bangunannya berbentuk block building seperti hotel-hotel pada umumnya, mungkin maintenance-nya lebih kecil.

Perbandingan pengunjung asing dan lokal?

Saat ini, 80 persen pengunjung kami masih wisatawan asing, sisanya lokal.

Pasar paling potensial?

Mau tidak mau, kita harus sejalan dengan promosi pariwisata nasional oleh pemerintah sekarang yang arahnya ke Asia, khususnya menyasar wisatawan Cina. Dulu kita terpaku ke pasar Eropa, Amerika, dan Australia. Kami bersyukur di Ubud, meski sasarannya Cina, rate hotel yang bisa dimasukkan ke mereka cukup bagus. Kami tetap bisa menjual kamar di atas Rp 1 juta untuk pasar Cina. Kalo untuk wisatawan Eropa, harga segitu sudah biasa.

Melirik pasar baru ini, kami mulai promosi lebih intensif disesuaikan dengan kultur mereka (Cina), misalnya, budaya makan yang ramai atau rombongan. Kami buatkan restoran yang bisa memfasilitasi grup wisatawan Cina dalam jumlah banyak. Berapa jumlah restoran di Ubud yang bisa menerima tamu dalam jumlah banyak? Sedikit sekali. Ini juga yang menjadi awal mula kami membuat restoran baru di Tjampuhan, The Bridges.

Produk kami menentukan pasar. Sekalipun saat ini kami melirik Cina, produk yang kami taruh tetap berkualitas tinggi (high quality) sehingga pasar upper market dari Negara Tirai Bambu ini bisa masuk.

Apakah bisnis perhotelan tahun ini masih bertumbuh positif?

Saya melihat beberapa hotel baru diresmikan 2016 ini. Sebelum hotel-hotel ini diresmikan pun, saya melihat supply and demand hotel di Bali sudah tak sesuai. Bali setiap tahunnya menerima delapan juta wisatawan, dengan perincian empat juta wisatawan mancanegara dan empat juta wisatawan domestik.

Survei Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Bali menunjukkan rata-rata wisatawan menginap di hotel sekitar tiga hari. Artinya, delapan juta wisatawan ini menempati 24 juta room night.

Faktanya di lapangan, ada sekitar 130 ribu kamar hotel di Bali atau setara 47 juta room night. Jumlah yang dipakai hanya 24 juta room night dengan asumsi satu orang satu kamar. Jika satu kamar dihuni dua orang, sesungguhnya yang terpakai hanya 17 juta room night.

Itulah kondisi saat ini di mana saya menyimpulkan tingkat okupansi hotel di Bali sesungguhnya hanya 30 persen. Jika ada hotel yang bisa mencapai okupansi 60 persen, itu berarti ada hotel-hotel lain yang kamarnya kosong.

Apa kendalanya?    

Pertama, penyebaran infrastruktur wisata di Bali tidak teratur. Objek wisata harus punya karakteristik berbeda. Jika semuanya sama, tidak akan ada pergerakan wisatawan. Wisatawan akhirnya cukup datang ke satu tempat, dan mereka sudah bisa menikmati seluruh Bali.

Zonasi di Bali diperlukan untuk menggali potensi dan saling mendukung zona satu dengan zona lainnya sehingga di kemudian hari tidak akan dijumpai lagi daerah miskin dan daerah tertinggal di Bali. Konsep yang benar adalah, jika tujuan kedatangan wisatawan adalah pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran (MICE), mereka bisa datang ke Nusa Dua. Jika ingin belajar budaya Bali, mereka datang ke Ubud. Jika ingin bertani anggur, mereka datang ke Buleleng. Hal ini pada akhirnya mendorong pembangunan akomodasi pariwisata sesuai kebutuhan dan budaya.

Persaingan hotel kian ketat. Apa strategi khusus untuk menyasar pasar yang sedang diperebutkan?

Di samping meningkatkan dan memberagamkan fasilitas yang ada, kami mencoba mencari terobosan baru lewat sales dan marketing. Sepanjang tahun kami melakukannya. Strategi lainnya adalah mengintensifkan pemanfaatan internet of things (IoT).

Bagaimana cara mendesain merek hotel yang maju secara gaya hidup, tapi tetap mempromosikan Indonesia, khususnya Bali?

Jenis usaha seperti kami sangat diuntungkan tren lifestyle saat ini, seperti back to nature atau knowledge-based tourism. Jika tren lifestyle sekarang adalah service-based tourism, kami pasti kalah dengan hotel-hotel besar di Nusa Dua.

Di hotel kami, wisatawan merasa seperti berada di rumahnya sendiri. Mereka merasa pegawai-pegawai hotel adalah saudara sendiri. Ini membuat mereka ingin kembali lagi menginap kedua kalinya dan seterusnya, juga melakukan promosi dari mulut ke mulut.

Karena bisnis kami berorientasi sosial, tak jarang pengunjung kami ikhlas membayar lebih dan mereka tetap excited dilayani karyawan yang, misalnya, hanya lulusan SMP, tapi anak seorang petani.

Pengembangan bisnis 2016?

Tahun ini kami melakukan pengembangan restoran di Tjampuhan, properti Royal Pita Maha dalam bentuk bangunan cottage, wedding chapel di Pita Maha untuk pernikahan. Australia dan India banyak menikmati pelayanan terakhir ini. Kami siapkan fasilitas pernikahannya dengan harapan mereka menginap di tempat kami. Jika hotel berdiri sendiri tanpa fasilitas, sebuah bisnis tak akan berjalan. Diversifikasi adalah bentuk usaha kami supaya tetap bertahan.

Rencana kerja sama dengan mitra baru?

Karena usaha kami bukan berorientasi profit, kami belum berpikir bekerja sama dengan pihak lain. Kami tidak berambisi memperbesar usaha kami. Prinsipnya berjalan seperti sekarang, pemilik dan karyawan bisa tidur nyenyak, semua masih di bawah kontrol. Potensi menjalin mitra bisnis baru terus ada.

Royal Pita Maha, misalnya, dengan lahan sedemikian luas, kami hanya membangunnya sekian persen. Jika kami mau, kami bisa saja menerima investor untuk membuat city hotel yang hanya butuh lahan kecil, tapi bisa dibangunkan 100 kamar. Posisi kami strategis, tapi kami menahan diri.

Bagaimana Anda memandang investor asing di sektor perhotelan Bali?

Pembangunan pariwisata Bali saat ini harus diharmoniskan kembali. Jangan terlalu banyak menerima investor asing yang tidak bisa harmonis dengan lingkungan. Prinsip wisata budaya itu adalah skala kecil karena tujuannya menyejahterakan sosial, budaya, dan masyarakat sekitar. Dengan hanya 25 kamar di Royal Pita Maha, kami bisa memenuhi semua kebutuhan makanan untuk hotel, seperti sayuran dan buah-buahan cukup dari pasar-pasar tradisional di Ubud.

Obsesi  yang belum tercapai?

Awal tahun lalu, saya sempat berkomunikasi dengan Bupati Banyuwangi untuk menghidupkan kembali hotel peninggalan ayah saya. Atau, jika ada yang bisa kami lakukan untuk membantu masyarakat sekitar di sana, pasti saya lakukan. Ayah saya dulu mencontohkan kepada kami bagaimana pentingnya menyejahterakan masyarakat sekitar. Beliau di Banyuwangi sering menyumbangkan tanahnya dalam bentuk pembangunan masjid dan balai desa. Jika masih ada yang bisa kami kembangkan di wilayah Banyuwangi, kami akan melakukannya. N ed: mansyur faqih

 

***

Berguru pada Sang Raja

Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Tjok Ace) merupakan putra kedua dari Raja Ubud, Tjokorda Gde Agung Sukawati (1910-1978). Beliau salah seorang raja yang mempunyai visi ke depan jauh melebihi pemikiran orang kebanyakan.

Sang Raja pada masanya telah mempersiapkan rakyatnya, tak terkecuali ketiga putranya untuk menghadapi arus pariwisata. Dia seakan tahu Bali suatu hari nanti akan menjadi destinasi pariwisata dunia.

Baru saja selesai menerima rapor kenaikan kelas ke tingkat dua di sekolah menengah pertama (SMP), Tjok Ace langsung dikirim sang ayah ke Australia. Dia diminta belajar bahasa Inggris di Teaching English Laboratory, Sydney. Dia baru boleh kembali memasuki gerbang Puri Ubud dan berkumpul bersama keluarga jika sudah mengantongi sertifikat lulus bahasa Inggris dari Negeri Kanguru tersebut.

"Ayah saya selalu berpesan untuk melihat Bali secara utuh dari luar sana. Jangan menjadi katak dalam tempurung. Dari sana pula saya baru menyadari bahwa Bali itu indah, menarik, unik, dan kaya akan budaya," kata dia kepada Republika di Bali, beberapa waktu lalu.

Sejak duduk di bangku SD, Tjok Ace kerap dilibatkan sang ayah berkomunikasi dengan tamu-tamu asing. Berulang kali ayahnya menegaskan bahwa bahasa adalah jendela komunikasi dunia. Usaha pariwisata, menurut dosen teknik Universitas Udayana ini, sangat sensitif akan isu global. Masalah perang, masalah bom di Paris, masalah virus zika di Singapura, semuanya bisa berdampak ke pariwisata Bali.

Oleh sebab itu, dalam menjalankan bisnis, Tjok Ace selalu mengedepankan keterbukaan manajemen pada karyawan-karyawannya. Tak heran jika banyak pegawai Tjampuhan Group yang bekerja di sana hingga tiga generasi. "Kita membuat mereka nyaman bekerja, tidak semata menjadi sumber penghasilan," katanya.

Bakti karyawannya salah satunya terlihat saat peristiwa bom Bali. Banyak perusahaan menonaktifkan karyawan, tapi mereka yang bekerja di Tjampuhan Group tetap loyal, meski gaji berkurang.

Ubud, di mata Tjok Ace, adalah zona konservasi budaya. Banyak masyarakat menggantungkan hidupnya melalui usaha kecil mikro (UKM). Mantan bupati Gianyar ini berharap pemerintah tidak membebani UKM, termasuk UKM yang mendukung pariwisata dengan skema pajak tinggi. "Pelaku UKM itu tenaga marketing-nya Bali," katanya.

Pemerintah dinilainya masih memiliki kelemahan dalam pola pengembangan usaha. Usaha kecil yang dikelola masyarakat biasanya memberikan pendapatan asli daerah (PAD) rendah, tapi masyarakatnya bisa hidup sejahtera. Hal serupa bukan hanya terjadi di Bali, melainkan juga kota lain di Indonesia, seperti Yogyakarta.

Masyarakat Ubud banyak mendirikan homestay 6-10 kamar. Kehadiran homestay tersebut, kata Tjok Ace, bisa menghidupkan budaya Bali. Ubud bisa dikenal dunia sebagai desa seni, salah satunya juga karena jasa para pelaku UKM-nya. Tjok Ace ingin jejak langkah yang ditinggalkan ayahnya, si peletak dasar Ubud sebagai desa budaya, tak akan hilang ditelan zaman. n ed: mansyur faqih

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement