Selasa 16 Feb 2016 11:00 WIB

Bila Generasi 90-an Bernostalgia

Red:

Memori indah masa kecil selalu punya tempat di hati setiap orang. Nostalgia menjadi salah satu cara mengembalikan kenangan lama yang hampir terkubur untuk kembali diingat dan disyukuri.

Gaya baru bernostalgia dengan mengabadikan tren 25-20 tahun yang lalu ke dalam sebuah buku berhasil dilakukan sekelompok anak muda kreatif yang menamakan diri tim Generasi 90-an. Buku berjudul Generasi 90an: Anak Kemarin Sore, mengajak anak-anak era 1990-an mengingat hal-hal luar biasa yang ada pada masa itu.

Generasi 90-an, menurut Marchella FP, lebih ditujukan pada mereka yang melewati masa kanak-kanak dan remaja pada era 1990-an. ''Kelompok Generasi 90-an justru lebih banyak yang lahir pada 1970-an hingga 1980-an,'' kata penulis sekaligus pendiri tim Generasi 90-an itu. Mereka adalah generasi yang menikmati hiburan seniman Betawi Benyamin S, canda ala P Project, dan nyanyian Nike Ardilla. Mereka adalah generasi yang menikmati tontonan telenovela seperti "Rosalinda" dan "Esmeralda".

Seluruh Indonesia

Buku kedua yang diterbitkan tim Generasi 90-an ini melanjutkan kesuksesan buku pertamanya. Buk yang pertama itu  berjudul Generasi 90an: Mesin Waktu, terbit pada 2013. Kebalikan dari buku pertama dengan sampul warna hitam, Generasi 90an: Anak Kemarin Sore tampil dengan warna dominan putih dengan semburat warna toska dan magenta, hasil rancangan tim Generasi 90-an dan Elfan Diary.

Jika sebelumnya buku Generasi 90-an dirasa "terlalu Jakarta" maka Marchella FP mencoba membahas tren era 1990-an dari seluruh Indonesia. Selain melalui umpan balik pembaca, ia juga menyadari masih banyak hal-hal pada era 1990-an yang belum terbahas. Antara lain, pembahasan mengenai artis-artis lokal yang berjaya pada zamannya dan telenovela yang sempat merajai televisi Indonesia.

Ditemui saat peluncuran buku Generasi 90-an: Anak Kemarin Sore di Nala Coffe, Jalan TB Simatupang, Jakarta, Marchella menuturkan, isi buku Generasi 90-an disusun berdasarkan riset yang dilakukan sejak 2013. Selama tiga tahun, ia memanfaatkan media sosial Instagram dan Twitter untuk melakukan wawancara dan membagikan angket mengenai tren era 1990-an kepada follower.

"Jadi, kami dapat seluruh konten itu dari temen-temen lewat kuesioner, wawancara, voting. Kami hanya sebagai media yang menyalurkan, yang memilah mana yang penting dibahas dan mana yang tidak," kata Acel, panggilan kecil Marchella.

Selain pengumpulan data yang memakan waktu lama, buku Generasi 90-an kedua ini juga memiliki ilustrasi yang lebih sulit dan lebih kompleks. Seluruh pengerjaan ilustrasi dilakukan selama tiga bulan.

Memasukkan unsur karakter

Perbedaan lain yang didapat dari buku Generasi 90-an pertama adalah di buku kedua terdapat karakter fiksi yang berfungsi sebagai ikon Generasi 90-an. Ada tiga karakter anak perempuan bernama Lala, Acel, dan Popi yang digambarkan memiliki latar belakang dan minat yang berbeda.

Tiga karakter ini diciptakan oleh Sesotya Jodie, ilustrator sekaligus creator dalam pembuatan buku Generasi 90-an: Anak Kemarin Sore. Ditemui di acara yang sama, Sesot mengatakan, Generasi 90-an menghadirkan Lala, Acel, dan Popi melalui "mesin waktu" yang membantu pembaca bernostalgia.

"Waktu saya tunjukin ke Marchella, dia langsung setuju untuk memasukkan tiga karakter ini ke dalam buku. Hampir semua anak 90-an pasti punya temen model Lala, Acel dan Popi. Jadi, mereka ini ikon," ujar Sesot.

Karakter Lala menunjukkan tipe anak-anak era 1990-an yang terlahir dari keluarga berada. Di rumahnya terpasang parabola dan ia senang memainkan mainan modern pada masanya, seperti Nintendo dan Sega. Karakter Acel, yang namanya diambil dari nama Marchella, menunjukkan tipe anak-anak era 90-an yang mengidolakan artis, penyanyi, dan pemain band serta senang menonton acara music, seperti /MTV.

"Sedangkan, karakter Popi menunjukkan anak-anak yang suka jajan, suka main-mainan tradisional," jelasnya.

Ketiga karakter ini juga berkaitan dengan tema buku ini, yaitu Anak Kemarin Sore. 'Anak kemarin sore' dapat diartikan sebagai anak yang masih kecil dan belum tahu apa-apa.

Menurut Marchella, tak jarang anak-anak era 1990-an saat ini masih dianggap sebagai 'anak kemarin sore' oleh generasi sebelumnya. Sebenarnya, telah banyak generasi 1990-an yang berprestasi dan sukses di bidangnya masing-masing.

"Buku ini sebagai pembuktian juga bahwa, ini lho kami si anak kemarin sore sekarang sudah sukses," tambah Acel.

Berawal dari tugas kuliah

Sebagai mahasiswa jurusan desain komunikasi visual, Marchella harus membuat tugas akhir berbentuk ilustrasi sebagai syarat kelulusan. Ide 'era 90-an' lalu muncul setelah ia bertekad menjadikan tugas akhirnya sebagai mahakarya yang bisa dikenang banyak orang.

"Awalnya, ingin buat proyek akhir yang bisa buat orang lain bahagia. Biasanya, tugas akhir itu langsung hilang dan nggak kepakai lagi kan," kata perempuan lulusan Universitas Bina Nusantara ini.

Setelah melalui proses panjang, akhirnya tugas akhir Acel ditransformasikan ke dalam sebuah buku dan menjadi salah satu best seller nasional. Sampai saat ini, buku pertama Generasi 90-an telah dicetak ulang sebanyak enam kali dan terjual lebih dari 30 ribu kopi.

Acel lalu menggandeng teman-teman semasa kuliahnya untuk berkolaborasi di buku kedua, yaitu Sesotya Jodie sebagai ilustrator dan character designer, Yoshua Meyer, sebagai manajer proyek, dan Gilang Dewamanyu sebagai ilustrator visual.

"Di buku pertama saya riset, cari konten, dan bikin ilustrasi sendiri. Sekarang, saya bikin ini berempat, jadi ada kerja sama tim," jelas Acel.

Acel berharap, bukunya bisa menjadi sejarah yang masih bisa dinikmati dalam 10 sampai 20 tahun lagi oleh anak-anak era 1990-an. Buku ini juga menjadi cerita bagi generasi baru bahwa sebelum teknologi berkembang pesat seperti saat ini, anak-anak telah mendapatkan hal-hal yang luar biasa.

n N ed: nina chairani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement