Senin 10 Aug 2015 16:00 WIB

Islam dan Konsolidasi Demokrasi

Red:

Tiga ormas Islam terbesar Indonesia telah sukses melaksanakan muktamar dalam waktu yang bersamaan, Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, 1-5 Agustus 2015 dan Muhammadiyah-'Aisyiyah di Makassar, 3-7 Agustus 2015. Ide "Islam Nusantara" menjadi ikon NU, sedangkan "Islam Berkemajuan" menjadi gagasan utama Muhammadiyah-'Aisyiyah. Kedua jargon tersebut memiliki substansi makna yang sama, yaitu Islam sebagai agama yang lahir dari bumi Indonesia dan berorientasi pada nilai-nilai perdamaian, humanisme, toleransi, serta memosisikan Pancasila sebagai landasan dasar negara.

Selain memperkuat agenda-agenda keumatan tersebut, muktamar telah melahirkan pemimpin-pemimpin Islam untuk lima tahun mendatang. Said Aqil Siradj kembali memimpin NU, Haedar Nashir menjadi nahkoda baru Muhammadiyah, dan Siti Noordjannah Djohantini memimpin 'Aisyiyah untuk periode yang kedua. Ada beberapa hal menarik dari ketiga tokoh ini. Pertama, Said dan Haedar sama-sama berasal dari Jawa Barat: Cirebon dan Bandung.

Kedua, Haedar dan Noordjannah adalah pasangan suami istri. Mereka dapat dikategorikan sebagai "reinkarnasi Ahmad Dahlan dan Siti Walidah" yang keduanya adalah pendiri Muhammadiyah dan 'Aisyiyah. Ini peristiwa langka dan dapat diusulkan ke MURI sebagai pasutri yang menjadi pemimpin ormas (couple of organization) pada waktu yang bersamaan di awal abad kedua setelah para pendirinya. Ini belum tentu terjadi pada abad ketiga kelak. 

Lancarnya permusyawaratan serta terjadinya regenerasi di tiga ormas Islam tersebut menunjukkan bahwa civil society memiliki andil yang sangat bersar dalam mewujudkan tujuan utama demokrasi dalam suatu negara. Meminjam teori Samuel P Huntington (1991), Indonesia kini telah berada pada fase akhir demokrasi, yaitu konsolidasi demokrasi, setelah sukses melalui fase runtuhnya rezim otoriter dan fase instalasi sistem demokrasi. Namun, mayoritas ilmuwan politik menilai bahwa Indonesia saat ini sedang berada pada kondisi stagnan, di mana banyak kemajuan di berbagai sektor, tetapi tak sedikit kemunduran yang terjadi, seperti merajalelanya korupsi, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, konflik agama-etnis di berbagai daerah, serta tingginya angka kriminalitas baik di kawasan perkotaan maupun pedesaan.

Situasi politik kekinian menunjukkan bahwa hampir dua dekade era reformasi peta politik Islam di Indonesia masih tetap menggantungkan pada kekuatan jaringan Muhammadiyah dan NU yang menjadi kiblat utama untuk mewujudkan demokrasi substansial (welfare state). Partai-partai Islam baik yang berasas Islam maupun berbasis massa Muslim pun tetap eksis karena mereka membina jaringan terhadap kedua ormas tersebut. Muhammadiyah menjadi magnet utama PAN dan PKS, sedangkan NU menjadi kekuatan pendukung PKB dan PPP. Hanya empat partai Islam inilah yang masih eksis memiliki kursi di parlemen. Sedangkan, partai Islam lainnya gugur karena ketidakmampuan jaringan yang mereka miliki.

Sejak 1998 pula berbagai gerakan Islam muncul ke permukaan, seperti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, FPI, Hidayatullah, Wahdah Islamiyah, dan lain sebagainya. Tak sedikit pula aliran-aliran sesat yang mengatasnamakan Islam lahir dari rahim reformasi. Sedangkan, ormas Islam lain pun telah berkembang sejak lama di Indonesia, seperti Al-Irsyad, Persis, Jamaah Tabligh, Ahmadiyah, dan LDII. Meskipun demikian, keberadaan gerakan-gerakan Islam tersebut pada kenyataannya belum mampu melampaui keberhasilan yang telah dicapai oleh Muhammadiyah dan NU. Karena itu, menjaga dan merawat kebesaran Muhammadiyah dan NU adalah sebuah keharusan bagi seluruh penghuni republik ini.

Menjelang akhir 2015 ini, pesta demokrasi elektoral (pilkada) secara serentak untuk pertama kali akan terjadi di lebih 250 kabupaten/kota dan provinsi. Kekuatan partai politik di daerah akan berkompetisi secara sportif untuk memperebutkan kursi kepala daerah. Pada kontestasi ini pula, kekuatan politik Islam diuji, apakah masih menjadi magnet rakyat atau tidak, apakah masih mengutamakan fatsun politik atau hanya berorientasi pragmatis.

Kiranya Muhammadiyah-'Aisyiyah dan NU harus benar-benar mampu membentengi diri dari kepentingan pragmatis yang dapat menyeret organisasi pada kontestasi politik praktis. Jika hal ini terjadi, kekuatan politik praktis akan merusak seluruh sistem dan jaringan organisasi hingga kita tidak mampu lagi bangkit seperti sediakala. Kekuasaan dan uang akan menguji ulama dan umara kita dalam beberapa bulan ke depan. Ini menjadi pertaruhan bagi pemimpin-pemimpin Islam Indonesia.

Karena itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh Muhammadiyah-'Aisyiah dan NU untuk menghadapi agenda pesta demokrasi tahun ini. Pertama, konsolidasi internal dengan mengeluarkan kebijakan terhadap pelaksanaan pilkada serentak 2015. Kedua, mendukung pemimpin-pemimpin lokal yang memiliki komitmen dan kapabilitas untuk mewujudkan good governance.

Ketiga, lebih mengedepankan politik moral daripada terlibat langsung menjadi bagian dari politik praktis. Keempat, mendukung lembaga penyelenggara pemilu (KPUD dan Bawaslu) serta lembaga independen lainnya dalam pemantauan pilkada serta membawa ke jalur hukum setiap pelanggaran yang terjadi selama pilkada. Keenam, mengimbau kepada masyarakat untuk memilih kepala daerah bukan karena faktor etnis atau kedekatan personal, melainkan karena faktor kelayakan dan kepatutan.

Jika hal ini dilakukan, tenda besar Muhammadiyah dan NU akan terus mengawal perjalanan konsolidasi demokrasi menuju Indonesia yang makmur, sejahtera, dan bermartabat di mata dunia. Demikianlah kiranya nasib dan masa depan republik ini ada pada wajah "Islam Berkemajuan" Muhammadiyah dan "Islam Nusantara" NU. Kedua ormas ini harus tetap dirawat untuk menjadi kiblat utama kekuatan politik Islam Indonesia.

Ridho Al-Hamdi

Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

PhD Student Ilmu Politik di TU Dortmund University

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement