Senin 13 Jul 2015 11:00 WIB

Habib Tenggarong, Guru yang Disegani Masyarakat Kutai

Red:

Perjalanan bangsa Indonesia tak akan pernah terlepas dari kontribusi para ulama. Mereka memainkan peran penting di berbagai lini kehidupan bangsa dan negara, mulai dari pendidik, pendakwah, pemberdaya ekonomi, hingga pemberi nasihat dan petuah kepada penguasa.

Sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura mencatat, betapa para ulama itu berjasa besar dalam membangun peradaban. Terutama setelah kerajaan yang semula menganut Hindu ini beralih menjadi kesultanan besar yang berlandaskan Islam. Kutai memberikan kedudukan terhormat bagi ulama ini setidaknya terlihat dari posisi mereka sebagai penasihat sultan. 

Salah satu mufti Kesultanan Kutai yang dikenal oleh masyarakat Kutai adalah Habib Muhammad bin Yahya Tenggarong. Tokoh berdarah Arab keturunan dari Hadramaut, Yaman, ini menjabat mufti atas permintaan Sultan Aji Sultan Alimuddin (1899-1910) raja Kutai Kertanegara ke-17 meski Habib Yahya bukan warga asli Kutai, ia berasal dari Penang, Malaysia.

Perkenalan tokoh yang lahir pada 1844 Masehi ini dengan Sultan Aji berawal dari pengembaraannya di sejumlah wilayah nusantara, terutama di wilayah timur. Pada 1877, ia singgah di Tenggarong (kini masuk wilayah Kalimantan Timur) dan akhirnya menetap serta berdakwah di daerah tersebut. Kiprahnya yang semakin dikenal luas oleh masyarakat setempat membuat ia dikenal dengan panggilan Tenggarong di ujung namanya. 

Kabar tentang kehadiran seorang ulama muda yang berilmu, bersahaja, dan berwibawa terdengar oleh Sultan Aji. Sang sultan meminta Habib Yahya yang saat itu berumur 33 tahun untuk mengobati Aisyah, putri sang sultan. Atas izin Allah SWT sang putri kemudian sembuh.

Sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Habib Tenggarong, begitu akrab disapa, Sultan Aji menikahkan putrinya tersebut dengan tokoh ulama tersohor itu. Buah dari pernikahan tersebut, kedua pasangan ini mendapat 10 anak yang terdiri dari enam laki-laki dan empat perempuan.  

Sultan Aji memberi jabatan kepercayaan kepada wulaity, sebutan untuk keturunan Hadhramaut Yaman Selatan tersebut, berupa kedudukan sebagai penghulu dan mufti kesultanan. Selama menjabat sebagai mufti, ia bergelar Raden Syarif Pangeran Noto Igomo.

Jabatan yang diemban Habib Tenggarong, bukanlah posisi yang sembarangan. Ia memiliki wewenang penuh untuk mengurus segala persoalan kesultanan yang berkaitan dengan keagamaan. Tidak hanya di lingkunan istana, tetapi juga bertugas sebagai guru bagi masyarakat Kesultanan Kutai.

Tak heran bila di luar kesibukannya sebagai mufti resmi kesultanan, ia tetap meluangkan waktu untuk mendidik masyarakat. Ia aktif mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat Kutai, dari ilmu syariat sampai ilmu tasawuf. Semasa hidupnya beliau curahkan segenap kemampuannya untuk kemaslahatan umat dan masyarakat di Kerajaan Kutai dan sekitarnya.

Bersama para ulama, Habib Tenggarong mendorong akselerasi dakwah Islam di Kalimantan. Salah satu rekan berdakwah yang menyokong "jihad"-nya tersebut adalah Habib Alwi bin Abdullah al-Habsy yang tinggal di Barabai Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Keduanya adalah sahabat dekat selama berada di Hadramaut dan dipertemukan kembali oleh Allah di tanah Kalimantan.

Hubungan sesama sahabat dan ulama ini terjalin sangat baik dan keduanya dikenal bahu membahu menyebarkan agama Islam di Kalimantan. Ini misalnya terlihat dari kerja sama antarkeduanya dalam membangun perekonomian masyarakat. Pada saat Habib Alwi membangun Pasar Batu di Hulu Sungai, Habib Tenggarong mengirimkan bantuan berupa semen dan batu.ed: nashih nashrullah

 

***

Gemar Menuntut Ilmu dan Taat Agama

 

Meski keluarga Habib Tenggarong sebagian besar telah menetap di di Indonesia, ia dan kakaknya, Habib Thaha bin Ali bin Yahya, dilahirkan di Kota Masilah Hadramaut. Habib Thaha bin Muhammad bin Yahya yang tak lain adalah buyut dari Habib Tenggarong diyakini adalah leluhur yang pertama kali masuk ke nusantara.

Habib Thaha pertama kali masuk Indonesia melalui Pulau Penang, Malaysia. Sewaktu di Penang, ia dikenal dengan as-Sayyid Ath-Thahir. Ketika di Penang itu beliau bertemu Sultan Hamengkubuwono II (1750-1828) yang diasingkan Belanda.

Alkisah, Hamengkubuwono memanfaatkan kesempatan itu untuk mengaji kepada beliau. Belakangan sultan menikahkan putrinya dengan Habib Thaha ini.

Habib Thaha wafat di Semarang, Jawa Tengah. Sedangkan, Habib Ali bin Hasan bin Thaha bin Muhammad Al-Qadhi bin Thaha bin Yahya, ayah Habib Yahya wafat di ar-Raidhah Hadramaut pada 1875 M.

Silsilah keilmuan keluarga besar ini sangatlah kuat. Sang buyut mendapat curahan ilmu langsung dari Habib Muhammad al-Qadhi bin Thaha bin Yahya, seorang Qadhi di Hadhralmaut pada masa itu. 

Habib Muhammad Tenggarong adalah seorang yang sangat tekun dalam menuntut ilmu dan selalu menyempatkan diri belajar dengan para guru sepanjang perjalanannya yang memakan waktu panjang.

Ia sangat berhati-hati di dalam memelihara kehormatan dirinya sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sikapnya ini tetap terjaga sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada 26 Rabi'ul awwal 1366 H atau bertepatan dengan 17 Februari 1947 M pada usia 103 tahun.

Jasadnya dimakamkan di Pekuburan Jalan Gunung Gandek Tenggarong yang juga dikenal dengan Kompleks Pemakaman Kelambu Kuning. Peristirahatan terakhirnya berdekatan dengan makam istri dan mertuanya, Sultan Aji Muhammad Alimuddin Sultan Kutai.ed: nashih nashrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement