Jumat 28 Mar 2014 12:15 WIB

Selamatkan Satinah Lewat Upaya Antarpemerintah

Sulastri, kakak ipar TKI Satinah memperlihatkan foto terkini Satinah yang diabadikan pada awal Februari lalu di penjara kota Buraydah, Arab Saudi, di rumahnya di Desa Kalisidi, Ungaran, Semarang, Jateng, Selasa (25/3).
Foto: Antara
Sulastri, kakak ipar TKI Satinah memperlihatkan foto terkini Satinah yang diabadikan pada awal Februari lalu di penjara kota Buraydah, Arab Saudi, di rumahnya di Desa Kalisidi, Ungaran, Semarang, Jateng, Selasa (25/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak pemerintah melakukan upaya untuk menyelamatkan Satinah, pekerja migran asal Indonesia yang terancam hukuman pancung di Arab Saudi. Semua pihak diminta berhenti memperdebatkan jumlah uang diyat (uang tebusan pengganti) dan segera melakukan cara apa pun untuk menyelamatkan Satinah.

"Penyelamatan Satinah bisa dilakukan melalui upaya antarpemerintah atau government to government,” kata Presiden KSPI Said Iqbal, di Jakarta, Kamis (27/3). Satinah, tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Dusun Mrunten, Desa Kalisidi, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, terancam hukuman pancung lantaran divonis bersalah membunuh majikannya pada 2006.

Dia dipidana atas kasus perampokan dan pembunuhan atas majikan perempuannya, Nura al-Garib. Satinah diduga terpaksa melakukan hal itu lantaran terus disiksa majikannya. Eksekusi pancung akan dilakukan pada 12 April 2014 bila sampai 3 April 2014 Satinah tidak bisa membayarkan diyat sebesar Rp 21 miliar. Satinah akan diampuni jika bisa membayar diyat.

Demi menghindari terulangnya kasus Satinah, Said menyeru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar mengambil kebijakan penting untuk menjamin perlindungan pekerja rumah tangga (PRT) dan TKI di luar negeri. Kebijakan itu berupa pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) PRT dan revisi terhadap UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Indonesia perlu segera memiliki UU PRT dan revisi UU 39 Tahun 2004 karena faktanya ratusan TKI di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, sudah masuk daftar antrean hukuman pancung.

Saat ini, dana yang terkumpul untuk membayar diyat Satinah mencapai Rp 12 miliar dan masih kurang Rp 9 miliar. Presiden Yudhoyono mengatakan, pemerintah telah memberikan penjelasan melalui Menko Polkam Djoko Suyanto bahwa isu Satinah sangatlah sensitif. Presiden juga dapat memahami sikap masyarakat yang marah bila mendengar ada WNI yang dihukum di luar negeri.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menyatakan, kasus Satinah merupakan simbol kegagalan negara melindungi TKI di luar negeri. Kalau saja pemerintah mengambil langkah penting berupa pemberian bantuan hukum, pendampingan, dan juga bantuan diplomasi, maka diyat Satinah mungkin tidak tiba-tiba sebesar saat ini.

Dalam banyak kasus, kata Anis, seseorang yang menghadapi hukuman, tapi didampingi pengacara yang baik, hukumannya bisa diringankan. “Nah, pada kasus Satinah ini bantuan hukum dan bantuan diplomasi tidak maksimal, makanya Arab Saudi bisa menekan seperti ini,” ujar Anis.

Menurut Anis, kasus Satinah muncul pada 2007 ketika sudah terancam hukuman mati. Pemerintah baru merespons kasus ini dua tahun kemudian setelah Migrant Care mendampingi keluarga Satinah mengadu berkali-kali ke Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Dalam perjalanan kasusnya, vonis untuk Satinah berubah-ubah. Pada pengadilan pertama, Satinah divonis hukuman mati dengan dakwaan pembunuhan berencana. Pada proses pengadilan kedua, Satinah divonis dengan dakwaan pembunuhan, tapi tidak berencana. Anis menduga, bisa saja ada permainan pengadilan lantaran Satinah tidak didampingi secara hukum dengan baik.

Banyaknya daftar TKI yang terancam hukuman mati di Saudi, seperti Darman, Kunarsih, juga Wilfrida, mencerminkan maksimal atau tidaknya kinerja pemerintah melindungi pekerja migran. Saat ini, kata Anis, ada 6,5 juta TKI di luar negeri yang empat persen di antaranya merupakan perempuan. Kebanyakan mereka bekerja di Malaysia dan Arab Saudi.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan, pemerintah masih melobi keluarga majikan Satinah agar jumlah diyat bisa diturunkan. Negosiasi dilakukan dengan intensif, secara formal maupun informal. "Nominal uang diyat harus turun karena masih terlalu besar,” kata Muhaimin.

Di Tangerang, Banten, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar mengakui lemahnya proteksi undang-undang terhadap TKW menjadi salah satu sebab maraknya masalah yang dialami TKW, termasuk kasus pancung yang dihadapi Satinah. Dari keseluruhan materi UU Penempatan dan Perlindungan TKI saat ini, kata Linda, materi yang menyinggung perlindungan hanya sembilan pasal.

Materi yang menyangkut perempuan pun hanya menyinggung perlindungan terhadap perempuan hamil. Sebetulnya, kata Linda, banyak hal lain mengenai TKW yang harus diperhatikan. Linda mendesak agar revisi UU Penempatan dan Perlindungan TKI segera disahkan.

Kakak kandung Satinah, Paeri al Feri (46 tahun), berharap bisa bertemu langsung dengan Presiden SBY. Kepada Kepala Negara, Paeri akan menyampaikan persoalan yang masih menjadi hambatan meloloskan Satinah dari eksekusi hukuman mati. “Sayangnya, kami belum diberi kesempatan bertemu Pak SBY,” kata Paeri di Semarang, Kamis (27/3).

Direktur Jenderal Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Tatang Razak mengungkapkan, saat ini ada delapan TKI dari Provinsi Jawa Tengah yang terancam hukuman mati karena melakukan pelanggaran hukum. Jumlah ini merupakan sebagian dari 1.927 kasus TKI bermasalah di berbagai negara yang tercatat dalam dua tahun terakhir.

Menurut Tatang, penyebab masih banyaknya TKI bermasalah tak lain karena mereka tidak bisa mengikuti aturan di negara tempat bekerja. Ketidaktaatan terhadap hukum merupakan akibat dari ketidaksiapan TKI. “Di samping memang ada persoalan yang dihadapi dengan majikan masing-masing,” ujar Tatang. n dyah ratna meta novia/bowo pribadi/c60/antara ed: eh ismail

Informasi dan berita lain selengkapnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement