Senin 09 Sep 2013 08:35 WIB
Konflik Suriah

Uni Eropa: Tunda Serangan ke Suriah

Bendera negara anggota Uni Eropa (ilustrasi)
Foto: UWORKERS
Bendera negara anggota Uni Eropa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, VILNIUS - Uni Eropa (UE) meningkatkan tekanan agar serangan terhadap Suriah ditunda. Para Menteri Luar Negeri UE yang bertemu di Vilnius, Lithuania, Sabtu (7/9), memang menyalahkan rezim Presiden Bashar al-Assad atas serangan senjata kimia pada 21 Agustus 2013 lalu. Serangan itu menewaskan 1.429 orang. Namun, mereka tak mendorong adanya aksi militer. Mereka dengan jelas menghendaki agar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengambil peran. Khususnya, dalam menangani persoalan di Suriah.

Sebanyak 28 pemerintah anggota UE memilih berhati-hati mengenai aksi militer di Suriah. Perang saudara di sana telah berlangsung 2,5 tahun. Sebanyak 100 ribu orang tewas. Mereka juga memikirkan kemungkinan bertambahnya jumlah korban bila Suriah diserang.

Mereka berusaha membendung upaya AS dan Prancis. Sebab, kedua negara ini menggebu-gebu ingin menyerang. Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Catherine Ashton mengatakan respons terhadap Suriah harus dilakukan. “Tapi, serangan terhadap rezim Suriah harus menunggu laporan inspektur PBB,” kata Ashton. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) John Kerry mengklaim banyak negara bersiap ambil bagian dalam serangan ke Suriah.

Menurut Kerry, jumlahnya mencapai dua digit. “Mereka siap melakukan aksi militer,” katanya dalam konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius. Ia mengatakan rencana aksi terdorong pernyataan Uni Eropa (UE). Terutama, sikap tegas mereka agar ada respons keras terkait dugaan penggunaan senjata kimia oleh Suriah. Ia membandingkan situasi Suriah dengan Munich Agreement tahun 1938.

Melalui kesepakatan yang dicapai Prancis, Inggris, Jerman, dan Italia itu, Jerman mengambil alih sebagian Republik Cheska. “Ini momen Munich kita. Kesempatan kita untuk bertanggung jawab bersama. Bukan waktunya lagi berdiam diri atas sebuah pembantaian,” ujar Kerry. Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius juga mengklaim bahwa dukungan meluas. Ada tujuh dari negara G8 sepakat untuk bereaksi keras terhadap Suriah. Sebanyak 12 negara dari anggota G20 juga mengambil langkah sama. Di Riyadh, Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) mendesak komunitas internasional cepat bertindak menyelamatkan rakyat Suriah dari penderitaan.

Setelah gagal mendulang dukungan berharga dalam pertemuan di Rusia G20, Presiden AS Barack Obama berharap sokongan dalam negeri. Ia berkampanye di radio dan televisi untuk meyakinkan publik. Termasuk, Kongres agar menyetujui serangan militer ke Suriah. Dalam pidato mingguannya, Obama mengingatkan bahayanya membiarkan serangan senjata kimia oleh rezim Assad. “Saya meminta anggota Kongres bersama membangun dunia seperti yang ingin kita huni.” Ia menginginkan serangan terbatas.

Obama meyakinkan, serangan itu tak akan memperluas konflik. “Ini tak menjadi Irak atau Afghanistan yang lain,” katanya dalam pidato yang disiarkan melalui radio. Selasa mendatang, ia berencana menyampaikan pidato nasional melalui televisi. Secara terpisah, Daily Mail, Sabtu, mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan Inggris menjual gas kimia ke Suriah. Kegiatan ini berlangsung dalam enam tahun terakhir. Ada kemungkinan, gas itulah yang digunakan Assad pada 21 Agustus lalu.

Laporan tersebut menyebutkan, Pemerintah Inggris mengeluarkan lima izin ekspor ke dua perusahaan. Ini berlangsung antara Juli 2004 dan Mei 2010. Dua perusahaan tersebut menjual sodium fluoride, bahan kimia yang bisa dipakai membuat gas sarin. Daily Mail menyatakan, Pemerintah Inggris pada Sabtu malam mengakui hal itu. Yakni, pengakuan untuk pertama kalinya bahan kimia mengalir ke Suriah. Bahan kimia itu dijual ke sebuah perusahaan kosmetik Suriah agar dianggap pembelian sah.

Namun, pakar intelijen yakin Assad memanfaatkan perusahaan itu. Bahan kimia yang telah dibeli diubah menjadi senjata mematikan. Thomas Docherty, anggota parlemen dan Commons Arms Export Controls Committee, menyatakan bahwa berita ini sangat mengganggu. n bambang noroyono/reuters ed: ferry kisihandi

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement