Jumat 16 Aug 2013 09:10 WIB
Politik Mesir

Masa Depan Mesir Suram

El Baradei
Foto: CNN
El Baradei

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Rakyat Mesir menghadapi situasi tak menentu di negaranya. Konflik berdarah diperkirakan akan terus terjadi akibat sikap represif rezim militer kepada pendukung presiden Mesir tersingkir Muhammad Mursi.

Analis dari International Crisis Group, Yasser al-Shimy, mengaku khawatir dengan masa depan Mesir terlebih dengan adanya kemungkinan aksi kekerasan kembali terulang. "Saya kira besok (Jumat, 16/8) akan terjadi aksi besar-besaran di seluruh Mesir dengan potensi terjadinya kekerasan yang sangat tinggi," kata Yasser, Kamis (15/8).

Bibit terjadinya konflik sudah terlihat pada Kamis ketika pendukung Mursi menyerukan rakyat Mesir untuk turun ke jalan melakukan protes atas terbunuhnya ribuan orang akibat aksi brutal militer pada Rabu (14/8). Pendukung Mursi yang sebagian besar berasal dari Ikhwanul Muslimin (IM) menyatakan tidak akan berhenti berdemonstrasi hingga Mursi kembali menjadi presiden.

Kemarin, pendukung Mursi masih terlihat di beberapa sudut jalan di Kairo. Mereka tidak melakukan aksi demo, tetapi sekadar berkumpul. Secara umum, jalanan di Ibu Kota Mesir itu tampak lengang dan ratusan petugas kebersihan sibuk membersihkan sampah-sampah. Sisa-sisa kebakaran dan kepulan asap di beberapa bagian kota masih tampak.

Pemerintah Mesir memberlakukan keadaan darurat di seluruh pelosok negeri dan menerapkan aturan jam malam di beberapa daerah. Militer Mesir pun masih tampak siaga di tengah kuatnya tekanan internasional untuk tidak lagi menggunakan kekuatan senjata.

Militer menggunakan buldoser dari darat dan tembakan dari udara dalam aksi 'pembersihan' ribuan pendukung Mursi di Lapangan Radiah Aladawiyah dan Lapangan Nahda. IM menyebut korban jiwa mencapai lebih dari 2.000 orang, sedangkan Kementerian Kesehatan Mesir menyebut 525 tewas. Lebih dari 250 jenazah terbungkus kain kafan putih disemayamkan di sebuah masjid di Kairo.

Sikap militer menumpahkan darah warga sipil ini membuat kepemimpinan Mesir pecah. Wakil Presiden Mesir Muhammad ElBaradei memilih mundur. Tokoh oposisi ini menilai pemerintah memaksakan penggunaan pasukan keamanan untuk membubarkan massa Mursi, dan itu menyimpang.

Menurut Baradei, dia memilih menjadi bagian dari pemerintah karena awalnya berharap orang-orang yang muncul setelah penyingkiran Mursi pada 30 Juni lalu bisa membawa Mesir mewujudkan tujuan revolusi. Namun, yang terjadi adalah perpecahan serius. "Saya khawatir konsekuensinya, saya tidak bisa menanggung tanggung jawab untuk setetes darah di hadapan Allah, " ujar Baradei.

Baradei mendesak Presiden Mesir Adly Mansur dan Panglima Militer Jenderal Abdul Fatah al-Sisi segera melakukan rekonsiliasi politik, termasuk merangkul kelompok IM ke dalam pemerintahan sementara. Ironisnya, pemerintah Mesir memilih untuk memperpanjang masa penahanan Mursi hingga 30 hari ke depan.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry mengatakan, kekerasan di Kairo bertentangan dengan aspirasi rakyat Mesir untuk perdamaian dan demokrasi. Prancis menarik duta besarnya dari Mesir, Rusia melarang warganya mengunjungi Mesir, dan Jerman meminta pertumpahan darah diakhiri. Pemimpin umat Katolik Paus Franciskus mendesak seluruh pihak berdoa untuk perdamaian, dialog, dan rekonsiliasi di Mesir.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk berbuat sesuatu terkait konflik Mesir. Hal ini agar tidak terjadi tragedi kemanusiaan yang lebih dahsyat. SBY mengatakan militer Mesir mesti menghormati demokrasi. Sementara, Komisi I DPR meminta pemerintah menarik dubes RI di Mesir sebagai bentuk protes. n ichsan emrald alamsyah/bambang noroyono/nur aini/reuters/ap ed: m ikhsan shiddieqy

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement