Rabu 12 Jun 2013 09:02 WIB
Nasib TKI di Arab Saudi

Diplomat Diskriminasi TKI

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat (kiri).
Foto: Antara/Budi Setiawanto
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemicu aksi rusuh para tenaga kerja Indonesia (TKI) di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah, Arab Saudi, bukan sekadar soal pelayanan. Akar permasalahan itu terletak dari perlakukan para diplomat Indonesia terhadap TKI yang masih diskriminatif.

Direktur Migrant Care Anis Hidayah melihat tidak ada mental melayani dari diplomat Indonesia yang menangani TKI. Pelayanan kepada TKI tidak seperti pelayanan kepada WNI kelas menengah ke atas. Ini bukti bahwa isu buruh migran tak menjadi mainstream dalam diplomasi antarnegara.

"Ada eksklusivitas diplomat kita melayani WNI," ujar Anis, kemarin. Dia menilai, diplomat Indonesia di luar negeri berjarak dengan TKI yang didominasi masyarakat menengah ke bawah. Menurut Anis, saat dia berbicara dengan Duta Besar RI untuk Arab Saudi, banyak kasus TKI yang tidak diketahui oleh Dubes.

Dalam penanganan masalah TKI, pemerintah hanya menyentuh sisi luarnya, misalnya, memulangkan TKI yang melebihi izin tinggal dengan angkutan haji. Padahal, kata Anis, akar permasalahannya ada pada sistem rekrutmen yang memungkinkan terjadinya pengiriman TKI ilegal.

Aktivis perlindungan TKI Nurus S Mufidah menilai, pemerintah memandang TKI sebagai komoditas, bukan manusia. Menurut dia, pemerintah tak fokus melindungi TKI, namun hanya menempatkan. Nurus mengkritik aturan perlindungan TKI yang masih minim.

Aksi rusuh TKI di KJRI Jeddah terjadi pada Ahad (9/6) petang dan menewaskan TKI asal Madura, Marwah binti Hasan (55 tahun). Kejadian ini bermula dari kebijakan amnesti atau pemutihan warga negara asing di Arab Saudi hingga 3 Juli 2013. TKI yang mengurus pemutihan itu berdesakan di KJRI Jeddah.

Mereka mendapat kabar pemutihan hanya berlaku hingga Ahad (9/6). Akibatnya, para TKI kian membludak di luar KJRI, sedangkan jumlah staf KJRI tak memadai. Mereka memaksa masuk dan melemparkan berbagai benda ke gedung KJRI. Para TKI juga membakar barang-barang di luar gedung.

Menko Polhukam Djoko Suyanto melakukan rapat bersama Menlu Marty Natalegawa, Menakertrans Muhaimin Iskandar, Menkumham Amir Syamsuddin, dan Wamenkumham Denny Indrayana. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan Wamenkumham bersama perwira TNI dan Polri pergi ke Jeddah untuk mengawal proses pemutihan itu.

Djoko memastikan, pemerintah sudah melakukan persiapan terkait program pemutihan dari Kerajaan Saudi itu. "Tidak benar kalau tidak mempersiapkan dengan baik," kata Djoko. Sejak 18 Mei, kata dia, prosesnya sudah berjalan. Sebanyak 48.260 WNI di Arab Saudi tidak memiliki surat keterangan apa pun atau sudah kedaluwarsa.

Setiap harinya, KJRI harus melayani 5.000 hingga 6.000. Pada 7 Juni, pemerintah mengirimkan tim ke Saudi untuk membantu. Namun, kata Djoko, kabar tak benar soal program pemutihan yang berakhir pada Ahad (9/6) membuat TKI membludak. Padahal, pemutihan berlangsung hingga Juli.

Sekjen Kemenakertrans Muchtar Lutfi mengatakan, pemerintah menambah 15 loket layanan pembuatan surat perjalanan laksana paspor (SPLP) di Jeddah, Riyadh, dan Madinah. "Targetnya, sekitar 5.000 orang per hari bisa dilayani," ujar Muchtar. Kemenakertrans juga akan merekrut tenaga lokal di Arab Saudi.

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) M Jumhur Hidayat menduga, kerusuhan digerakkan mafia orang Indonesia yang ingin menggagalkan program pemutihan dokumen. Mereka ini dirugikan bila para TKI ilegal menjadi legal karena tak lagi mendapat pemasukan. n fenny melisa/hafidz muftisany/esthi maharani/arie lukihardianti/eko widiyatno/ahmad baraas ed: m ikhsan shiddieqy

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement