Senin 24 Oct 2016 13:00 WIB

mozaik- Menelusuri Lima Kota Utama Andalusia

Red:

Tak ada alasan untuk tidak jatuh cinta kepada Andalusia. Tak hanya kemolekannya, lebih dari itu, Andalusia pernah mengharumkan Eropa dengan pusat ilmu, budaya, dan seni yang dimilikinya. Kata-kata indah itu secara gamblang dinyatakan Iskander Nabiulin dalam tulisannya Andalusia: The Return of Islam to Europe yang dimuat Islam Magazine pada 2011.

Kota-kota di al-Andalus (Andalusia) memang terhampar indah bak bentangan mutiara. Cordoba, Granada, Sevilla, dan Toledo terbilang kota yang penting bagi peradaban Islam di Andalusia. Cordoba merupakan pusat pemerintahan dan politik Andalusia selama berabad-abad. Madrid dan Toledo merupakan kota garda depan, Sevilla menjadi lumbung pangan, dan Granada menjadi saksi kebangkitan sekaligus runtuhnya kepemimpinan umat Islam.

Cordoba (Qurtubah)

Selama era Kerajaan Romawi, Cordoba merupakan ibu kota provinsi yang berperan penting di masa Visigothic pada abad kelima. Setelah penaklukan Iberia oleh Muslim pada 711, kekhalifahan Umayyah menjadikan Cordoba sebagai ibu kota Andalusia.

Salah satu khalifah Dinasti Umayyah, Abdul Rahman I, membuat Cordoba menjadi kota yang diperhitungkan dan menjadi saingan Baghdad. Para ahli ilmu berkumpul di sana untuk ambil bagian dalam perkembangan ilmu pengetahun yang sangat didukung khalifah. Budaya ini terus berlanjut hingga kepemimpinan khalifah setelah Abdul Rahman I.

Pada abad ke-10, di bawah kepemimpinan Khalifah Abdul Rahman III, Cordoba menunjukkan diri sebagai kota paling maju di Eropa. Rakyat menikmati aliran air bersih ke rumah-rumah, jalanan kota lapang, lampu jalan menyala, taman kota di mana-mana. Makanan, pakaian, obat-obatan, dan karya seni bukan barang langka.

Pada masa itu, populasi penduduk sempat mencapai lebih dari setengah juta jiwa. Permukiman, ratusan masjid, pemandian umum, pasar, dan istana rapi tertata.

Pada awal abad ke-11, khalifah mengalami tekanan ekonomi dan pertahanan yang memicu menjamurnya kerajaan-kerajaan kecil (taifa). Meski begitu, Cordoba belum kehilangan sinarnya.

Hari ini, Cordoba adalah kota berpenduduk sekitar 300 ribu jiwa. Area permukiman warga Yahudi atau juderia mudah dikenali dengan rumah-rumah berwana putih gading dan beratap genting. Masjid Agung Cordoba yang jadi salah satu Situs Warisan Budaya UNESCO, merupakan salah satu monumen utama dunia. Tiang-tiang dan lengkungan bangunan masjid dari batu berwarna merah dan putih memancarkan kecantikan tersendiri.

Beberapa kilometer di luar Kota Cordoba, penggalian istana kekhalifahan Umayyah masih berlangsung di situs Madinah al-Zahra, kota yang diyakini mewakili gaya hidup modern umat Islam saat itu. Kehidupan modern Cordoba saat ini dihiasi patung Maimonides dan Ibnu Rushdi untuk menghormati putra asli Cordoba. Tak jarang, festival musik dan budaya digelar untuk merayakan warisan Islam di Spanyol.

Dalam sebuah tulisan berjudul Cordoba, European Jewel of the Middle Ages yang dimuat laman Muslim Heritage, Cordoba juga mahsyur dengan 70 perpustakaan publik yang dibangun di masa Khalifah Hakam II. Perpusatakaan yang berada di masjid-masjid bahkan terbuka bagi siapa saja.

Kapan pun para pemimpin Leon, Navarre atau Barcelona butuh ahli bedah, arsitek, dan para pembuat pakaian, mereka akan mencarinya ke Cordoba. Pada awal abad kesembilan, komunitas Kristen di sana juga mengadopsi pola hidup komunitas Muslim. Sisi lain Cordoba, yakni kota ini juga pernah menjadi pusat pendidikan etika, kota terhormat yang ramai dikunjungi para ulama dan ilmuwan.

Granada (Gharnatah)

Granada menjadi kota penting selama era menjamurnya taifa di Andalusia. Setelah masa kekhalifahan berakhir, pengujung abad ke-11, suku Amazigh (Berber) atau yang lebih dikenal Zirids berpindah dari Cordoba untuk mendirikan kerajaan sendiri. Mereka kemudian mendirikan Granada.

Yahudi dan Muslim bermigrasi dari kota terdekat, Elvira, ke Granada. Saat itu, Yahudi Iberia menjadi penghuni mayoritas kota itu. Sementara, Muslim yang bermigrasi ini mulai membangun sebuah kota di kaki pegunungan Sierra Nevada. Pada pertengahan abad ke-13, Fernando III berkeliling dari kota ke kota, termasuk kota hunian komunitas Muslim, Sevillla dan Cordoba. Untuk mencegah invasi raja Kristen, pemimpin kota Granada, Muhammad Ibnu Ahmar, membuat sebuah aturan. Aturan ini mengharuskan Ibnu Ahmar membayar upeti tahunan dan membantu pertahanan militer Fernando.

Ibnu Ahmar dan keturunannya yang kemudian dikenal sebagai Dinasti Nasrid, memimpin Kerajaan Granada selama beberapa abad. Selama masa kepemimpinan mereka, para imigran Muslim dan Yahudi dari kota-kota taklukan Kristen, berpindah ke Granada. Granada menjadi kota terakhir. Kepemimpinan Islam tetap berdiri. Pada 1492, Isabella dan Ferdinand memaksa pemimpin dinasti Muslim terakhir, Boabdil, untuk menyerahkan Granada.

Langkah ini menjadi sinyal berakhirnya era emas Andalusia. Mayoritas Muslim yang tetap memilih bertahan di Granada dibandingkan pindah ke Afrika Utara, harus berasimilasi dengan Katolik sebagai Moriscos dan Marranos. Sejak itu, warga Kristen dari utara beramai-ramai pindah ke selatan.

Pada abad ke-18 dan ke-19, Granada diperluas. Hari ini, Granada adalah kota metropolitan dengan populasi 500 ribu jiwa. Warisan kota tua Islam masih bisa dijumpai di sana, salah satunya Albaicin. Kawasan kecil itu masyhur di kalangan pelancong sebagai pusat kafe dan kerajinan tangan.

Atraksi wisata lain di Granada adalah Alhambra. Dinasti Nasrid membangun kompleks istana yang amat luas di sebuah bukit. Taman, air mancur, dan lapangan-lapangan yang tersisa berhasil menarik setidaknya enam juta wisatawan tiap tahun. Karena itu, situs ini menjadi salah satu situs bersejarah paling banyak dikunjungi wisatawan di Eropa.

Menurut Iskander Nabiulin dalam Andalusia: The Return of Islam in Europe, Alhambra berasal dari kata serapan Bahasa Arab, al-hamra, yang berarti merah. Dalam kunjungannya ke sana, Nabiulin menilai, meski lima abad sudah kepemimpinan Islam berlalu dari Granada, pengaruh bangsa Moor (Muslim) masih amat terasa pada arsitektur, pakaian, dan kegiatan keseharian masyarakat. Berada di perbatasan peradaban timur dan barat, para hippies dan Rastafian mudah ditemui di Granada hari ini. Mereka membawa atmosfer kemerdekaan di sana.

Madrid (al-Majreet)

Madrid adalah kota kosmopolitan di jantung Spanyol, kini menjadi ibu kota Spanyol dengan populasi 3,5 juta jiwa. Bukti arkeologi menunjukkan, permukiman bangsa Roma sudah ada di sana sejak abad kedua sebelum Masehi, tepatnya di tepian Sungai Manzanares. Namun, referensi tekstual Madrid pada abad kesembilan menjelaskan, Madrid merupakan salah satu kota garis depan di bagian utara Andalusia di era kekhalifahan Umayyah.

Nama 'Madrid' merupakan turunan kata dari Bahasa Arab, al-majreet yang berarti kanal air. Istilah ini merujuk kepada teknik irigasi baru yang digunakan komunitas Muslim di area tandus.

Pada 1085, Alfonso VI Castile menaklulkan al-Majreet dalam perjalanannya menuju Toledo untuk memperluas pengaruh kekuasaan. Pada 1561, Madrid menjadi ibu kota Spanyol.

Selama adab ke-18, Madrid lebih banyak mengadopsi nilai-nilai Eropa saat Spanyol tengah jaya-jayanya. Pada akhir abad itu, Madrid dan kota-kota lain mengalami krisis politik dan intelektual seiring lepasnya satu per satu teritori Spanyol. Kondisi itu mencapai puncaknya saat perang Spanyol-Amerika pecah pada 1989 dan Perang Sipil Spanyol pada 1936-1939.

Spanyol akhirnya bergabung dalam Uni Eropa pada 1975. Sejak itu, Madrid memainkan peran penting di Eropa dan dunia. Hari ini, Madrid memiliki program edukasi dan kebudayaan El Legado Aldalusi untuk menghormati sejarah Islam di Spanyol dan sebagai alat promosi wisata. Pemerintah pusat di Madrid dan Pemerintah Daerah Andalusia menginisiasi program ini di perhelatan Universal Exposition di Sevilla pada 1992. Program ini tak hanya menuai dukungan birokrasi, tapi juga korporasi dan kelompok masyarakat.

Sevilla (Ishbiliyah)

Pada era Kerajaan Romawi, Sevilla terkenal sebagai kota pelabuhan, Hispalis. Terletak di tepi Sungai Guadalquivir, Sevilla menikmati akses langsung ke Samudra Atlantik. Sevilla sempat dipimpin para Phoenician dan Carthaginian sebelum menjadi bagian Kerajaan Visigothic.

Pada era kepemimpinan Muslim, Sevilla meraih masa cemerlang. Sevilla menjadi ibu kota Almoravid dan Almohad Spanyol. Sevilla bahkan sering bersaing dengan Cordoba sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kemakmuran. Setelah serangan Viking ke sana pada abad kesembilan, kekhalifahan Umayyah yang saat itu dipimpin Abdul Rahman II membangun pangkalan udara dan menara-menara pengawas untuk melindungi kekuasaannya. Selama era bermunculannya taifa, Sevilla bersinar di bawah kepemimpinan al-Mutamid.

Fernando III dari Castile menaklukkan Sevilla pada 1248. Beberapa legenda menyebut, ia memanjat La Giralda, sebuah menara masjid dengan tinggi 320 kaki, untuk mengumumkan kemenangannya. Pada abad ke-16 hingga ke-18, warga Spanyol mulai mengangkut perak dari Dunia Baru ke Sevilla. Sevilla bahkan mendokumentasikan pengaruh Spanyol di Amerika dalam sebuah dokumen berjudul Archives of the Indias.

Pada 1992, Sevilla menggelar Universal Exposition. Salah satu hajat besar Spanyol itu mengindikasikan negara itu sebagai negara demokratis dan modern di Eropa. Sevilla hari ini adalah kota dengan kekayaaan seni, budaya, sekaligus ibu kota keuangan di selatan Spanyol. Inilah kota metropolitan keempat di Spanyol dengan populasi mencapai 1,3 juta jiwa.

Toledo (Tulaytulah)

Terletak 70 kilometer di barat daya Madrid, Toledo terletak di perbukitan di atas dataran tinggi La Mancha. Tiga sisi kota ini dikelilingi Sungai Tajo sebagai benteng alam.

Saat era Kerajaan Romawi, Toledo menjadi lokasi strategis rute dari Emerita (Merida modern di barat daya) menuju Caesar-Augusta (Zaragoza modern) di timur laut. Toledo sempat menjadi ibu kota Visigothic sebelum dikuasai Iberia pada 510 M hingga akhirnya ditaklukkan Muslim pada 711 M.

Toledo menjadi basis Gereja Spanyol dari era Visigothic hingga abad ke-16. Toledo memiliki banyak dewan gereja. Mereka memperdebatkan doktrin dan aneka hal lainnya. Di sana juga ada dua sinagog utama yakni Santa Maria La Blanca dan del Transito. Santa Maria yang dibangun pada abad ke-12 mencirikan konstruksi bergaya Mudejar. Didekorasi dengan elemen Mudejar seperti ornamen geometris dan flora serta tulisan Arab dan Hebrew, del Transito merupakan salah satu bangunan peninggalan abad ke-14.

Toledo menjadi kota kunci era Andalusia saat pengaruh kepemimpinan Islam di bawah kekhalifahan Umayyah sedang kuat di sana. Ketika Toledo menyerah pascaserangan Kristen di bawah pimpinan Alfonso VI pada 1085 di era kemunculan taifa, kepemimpinan Muslim mendapat sinyal kritis. Hilangnya Sevilla dan Granada dari tangan kepemimpinan Islam menggoda Amazigh (Berber) Almoravid dari Afrika Utara untuk bergabung mendukung pasukan Kristen, hingga akhirnya kedua kota itu berada di bawah kepemimpinan Kristen.

Selama abad ke-13, pempimpin Kristen, Alfonso X, mendirikan pusat ilmu di Toledo. Di sana, karya-karya ilmuwan dalam bahasa Arab di bidang matermatika, astronomi, kedokteran, botani, dan bidang-bidang keilmuan lain diterjemahkan ke Bahasa Latin. Toledo menjadi pusat transmisi intelektual dari peradaban Islam ke peradaban Eropa. Dari sanalah cikal bakal Renaissans berasal.

Hari ini, Toledo populer dengan mazapan (marzipan)-nya, yakni kudapan yang dibuat dari gula, telur, dan kacang almon. Makanan ini dikenalkan Bangsa Persia ke Andalusia.

Toledo juga dikenal dengan kerajinan logam, terutama senjata. Produk logam para ahli di sana sangat kental dengan kebudayaan Islam. Perhiasan dan kerajinan emas serta logam hitam lazim disebut damasquinos/. Istilah itu merujuk sebuah kota di Suriah, Damaskus. Kekhalifahan Umayyah dari Damaskus datang ke Andalusia untuk mendirikan kepemimpinan mereka di sana.

Nuansa abad pertengahan sangat terasa di Toledo dengan jalan-jalan yang tepiannya ditata batu dan aneka kerajinan. Dengan populasi sekitar 75 ribu orang, UNESCO menetapkan Toledo sebagai salah satu Situs Warisan Dunia pada 1986.

Kejatuhan Toledo yang berefek dramatis terhadap kekuatan dan peradaban Islam, tulis Salah Zaimeche dalam makalah berjudul Toledo pada 2005, memunculkan banyak tanya. Salah satunya soal lemahnya umat Islam. Banyak puisi di era itu yang menyalahkan kejatuhan Toledo tak hanya karena kelalaian para pemimpin Islam, tapi juga karena kendurnya ikatan umat Islam dengan ajarannya.      Oleh Fuji Pratiwi, ed: Wachidah Handasah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement