Kamis 05 Nov 2015 14:00 WIB

Studi: Metode Pengajaran Agama Monoton

Red:

JAKARTA — Pendidikan agama Islam ternyata bukan merupakan mata pelajaran yang diminati para siswa di sekolah. Hasil studi yang dilakukan Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) menunjukkan, minat terhadap mata pelajaran ini sangat rendah.

Menanggapi hasil penelitian itu, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) Kamaruddin Amin mengatakan, kurang diminatinya pelajaran agama Islam dipengaruhi oleh metode pengajaran yang diterapkan para guru.

"Karena monoton, metode pengajarannya tidak interaktif," ujar Kamaruddin saat ditemui pada forum diskusi yang diselenggarakan ACDP, di Jakarta, Rabu (4/11).

Karena itu, menurut dia, metode pengajaran yang diterapkan selama ini harus diubah sedimikian rupa agar menjadi mata pelajaran yang menarik dan interaktif. Harapannya, anak-anak bisa merasa terlibat secara maksimal. Selain metode pengajaran, tema-tema yang diangkat pun harus aktual, yakni hal-hal yang menjadi diskusi di masyarakat.

Perbaikan metode pengajaran pendidikan agama Islam, menurut Kamaruddin, merupakan hal yang mendesak pada saat ini. Sebab, pendidikan agama Islam memegang peranan penting dalam menjaga kedamaian di tengah negara yang penuh keragaman ini.

"Kedamaian di Indonesia tidak bisa dilepaskan oleh kontribusi lembaga pendidikan Islam yang telah menciptakan infrastruktur sosial seperti ormas-ormas Islam," katanya.

Pada dasarnya, lanjut Kamaruddin, Indonesia memiliki tujuan pengajaran agama Islam yang lebih lengkap dibandingkan negara-negara lain. Pengajaran agama Islam di Indonesia mengadopsi tujuan pengajaran agama Islam di negara-negara Barat dan Timur Tengah sekaligus.

Ia menegaskan, tujuan pengajaran agama Islam di Indonesia harus bisa menjadi instrumen perekat sosial dan budaya. Dalam hal ini, para siswa diajarkan tentang sikap toleransi dan saling menghargai antarumat beragama sebagai bentuk kesadaran warga negara yang hidup di Indonesia.

Tujuan tersebut, kata Kamaruddin, juga sangat ditegaskan di negara-negara Barat. Namun, lebih dari negara Barat, pengajaran agama Islam di Indonesia juga bertujuan membuat anak didik menjadi pribadi yang saleh, taat, dan rajin beribadah seperti yang ditekankan di negara-negara Timur Tengah.

Perubahan paradigma

Dalam pandangan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Abuddin Nata, ada perubahan paradigma orientasi masyarakat dari model kehidupan beradab kepada model kehidupan yang lebih pragmatis. Kuatnya orientasi pragmatis yang bersifat keduniawian ini menyebabkan minat terhadap pendidikan agama Islam menjadi berkurang.

"Agama tidak mempunyai hubungan langsung dengan model kehidupan pragmatis tersebut sehingga keinginan untuk menjadi ahli agama berkurang," kata Abuddin kepada Republika, Rabu.

Rendahnya minat terhadap pelajaran agama Islam, menurutnya, akan memperburuk pasokan ilmu agama terhadap siswa.

Ia juga berpendapat, pemerintah daerah harus ikut berperan dalam memenuhi kebutuhan siswa akan pelajaran agama Islam. Contoh baik dalam hal ini adalah Pemerintah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, yang mewajibkan siswa sekolah dasar untuk mengikuti pendidikan di madrasah diniyah agar kebutuhan ilmu agama mereka tercukupi.

"Karena, memang kalau hanya sekolah umum, pendidikan agama yang diberikan tidak cukup memadai," katanya.

Serupa dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Lebak, Abuddin menyarankan agar pemerintah menghidupkan kembali program Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) untuk siswa SD, SMP, dan SMA.

Program ini pernah berjalan pada masa Menteri Agama Munawir Sjadzali. n c16 ed: wachidah handasah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement