Selasa 17 Jan 2017 14:00 WIB

'PT Nol Persen Jangan Kontroversial'

Red:

JAKARTA — Presiden Joko Widodo masih menunggu dinamika yang berkembang di DPR terkait pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Terakhir muncul wacana penghapusan ambang batas pengajuan calon presiden (presidential threshold). Sejumlah fraksi di DPR menginginkan agar presidensial threshold ditiadakan lantaran acuan presidential threshold dari pemilu 2014 dinilai inkonstitusional.

Presiden meminta semua pihak bersabar menunggu hasil dari penyusunan regulasi tersebut. "Proses politik dalam menyusun regulasi untuk UU Pemilu kan masih dalam proses berlangsung di DPR. Ya kita tunggu hasilnya yang ada di sana," kata Jokowi usai memberikan pengarahan kepada jajaran pimpinan TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (16/1).

Presiden pun enggan berspekulasi lebih jauh terkait hasil pembahasan RUU Pemilu nantinya, apakah regulasi mengatur adanya presidential threshold atau tidak. Menurut Jokowi, yang terpenting masyarakat bisa menerima dan isu tersebut tidak menjadi kontroversi.

"Nanti akan saya sampaikan pada saatnya. Yang paling penting masyarakat semuanya bisa menerima dan tidak jadi kontroversi. Saya kira bulan empat selesai," kata Jokowi.

Wakil Ketua Umum DPP PAN Viva Yoga Mauladi menilai, presidential threshold nol persen masuk akal sebab partai yang dapat mengusung pasalan calon hanya yang lolos parliamentary threshold 3,5 persen.

Menurut Viva, semakin tinggi ambang batas presiden, akan mengurangi tumbuhnya calon -calon presiden baru yang akan menghambat proses kompetisi.

"Selain itu, untuk membuka peluang regenerasi, artinya kan semakin banyak calon semakin bagus. Biar rakyat yang langsung yang menilai," ujarnya saat dihubungi, Senin (16/1).

Meskipun nol persen, Viva yakin tidak semua partai akan mengusung calonnya masing-masing. Bisa karena alasan kondisi politik, popularitas, dan elektabilitas. "Pasti akan berkoalisi karena harus realistis dan rasional," jelasnya.

Sementara, Partai Demokrat hingga saat ini belum mengungkapkan apa usulan yang mereka ajukan dalam revisi UU Pemilu. Hingga saat ini Demokrat juga belum menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) ke Komisi II DPR.

"Sementara ini kita berpikiran secara umum presidential threshold itu sebenarnya cari calon yang berkualitas dengan pertimbangan asas demokrasi," kata Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (16/1).

Syarif menegaskan, apa yang dilakukan selama tiga periode, yaitu sejak 2004 hingga 2014, bisa tetap digunakan. Sebab, Syarief menilai hal-hal yang sudah bagus bisa tetap dipelihara. Jika ada kekurangan, maka bisa diperbaiki, asal pembahasannya jangan mundur. "Menurut kami, yang sudah ada kita pertahankan. Kalau ada kelemahannya, kita atasi," katanya.

Menurut dia, salah satu yang patut dipertahankan adalah presidential treshold dengan 20 persen suara. Sebab, ujar Syarief, syarat tersebut sudah cukup ideal dan terbukti meningkatkan kualitas calon.

Sebelumnya, Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy berkomitmen dapat menyelesaikan pembahasan RUU Pemilu paling lambat 28 April 2017 mendatang. Hal ini diungkapkan Lukman untuk menjawab kekhawatiran sejumlah pihak terkait ancaman molornya pembahasan RUU Pemilu. "Terkait jadwal RUU Pemilu, paling lambat 28 April mendatang selesai," ujar Lukman.

Menurut Lukman, saat ini pansus tengah menyerap aspirasi dari berbagai stakeholders terkait kepemiluan. Selanjutnya, pansus segera membahas pasal-pasal RUU Pemilu bersama pemerintah.

"Kita mau bicarakan ke pemerintah karena sudah minta saran ke masyarakat, LSM, dan lembaga lainnya sehingga kita bisa masuk ke pasal demi pasal," kata Lukman.

Lukman mengatakan, pansus juga menerapkan metodologi pengklasteran isu-isu dalam pembahasan RUU Pemilu. Pengklasteran isu tersebut diprioritaskan terhadap isu-isu penting terlebih dahulu.

"Sebelumnya metode klaster ini sudah diterapkan. Kita harap metode ini bisa juga di RUU Pemilu," kata wakil ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.     rep: Fauziah Mursid, Eko Supriyadi, ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement