Selasa 17 Jan 2017 14:00 WIB

KPK Jangan Urus Pungli

Red:

YOGYAKARTA — Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengimbau KPK tidak mengurus pungutan liar (pungli). Komisi antirasywah harus tetap fokus pada kasus korupsi besar.

"Pengungkapan kasus korupsi besar adalah fokus utama," ujar peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, saat ditemui di kantor Pukat, Senin (16/1).

KPK menjadi satu-satunya lembaga yang mampu mengungkap kasus korupsi besar dan melibatkan tokoh besar. Sementara, Kejaksaan Agung dan Polri belum mampu melakukan hal tersebut. Zaenur khawatir, jika KPK ikut sibuk dalam pemberantasan pungli atau kasus kecil, penyelesaian kasus korupsi dengan skala yang jauh lebih besar malah terabaikan.

Penyelesaian kasus kecil yang bersifat kedaerahan sebenarnya bisa dilimpahkan pada kejaksaan atau kepolisian. Misalnya, kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Kebumen, seharusnya tidak lagi diurus oleh KPK, tapi oleh kejaksaan setempat.

"Bukan artinya kasus ini tidak penting. Kalau KPK masih mengurus kasus ini, kan repot. Energi KPK banyak yang terkuras. Sementara, masih ada kasus besar lain yang belum terselesaikan," ujar Zaenur.

Ia menyebutkan, setidaknya ada dua kasus besar yang belum selesai dan terabaikan. Pertama, korupsi KTP-el senilai Rp 2 triliun. Zaenur mengatakan, kasus tersebut belum terselesaikan. Kedua, kasus reklamasi pantai Jakarta yang cenderung terabaikan.

Pihaknya menilai, sepanjang 2016 kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi dianggap biasa saja. Masih banyak kasus korupsi besar yang sampai saat ini statusnya masih menggantung. Pemerintah dituntut untuk mampu meningkatkan indeks persepsi korupsi.

"Minimal pemerintah harus punya target untuk menaikkan indeks persepsi korupsi jadi 5,0," kata Zaenur Rohman. Saat ini, indeks persepsi korupsi Indonesia masih berada pada angka 3,6.

Selain memaksimalkan keberadaan Tim Saber Pungli, pemerintah harus meningkatkan penyelidikan kasus korupsi besar. Zaenur mendorong pemerintah meningkatkan kinerja Polri dan Kejakasaan Agung dalam menangani kasus korupsi. Selain itu, pemerintah juga harus meningkatkan pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan korporasi.

Di tingkat legislatif, pemerintah harus mendorong anggota DPR melaporkan harta kekayaan. Berdasarkan data per Januari 2017, anggota legislatif yang menyerahkan LHKPN hanya sebanyak 13.960 orang atau 30,1 persen.

Sementara itu, peneliti Pukat FH UGM lainnya, Fariz Fachriyan, menuturkan, kinerja DPR pada 2016 tidak begitu baik. Hal ini terlihat dari minimnya hasil kerja legislasi. Ketika itu, DPR hanya mampu mengesahkan 10 RUU dari 50 RUU Prioritas Prolegnas.

DPR juga dianggap tidak serius dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan anggotanya. "Sepanjang 2016 masih banyak anggota DPR yang terlibat kasus korupsi," kata Fariz.

Untuk meningkatkan kinerja pemerintah secara keseluruhan dalam memberantas korupsi, Pukat UGM memberikan empat rekomendasi. Pertama, Tim Saber Pungli harus memprioritaskan pemberantasan di sektor penegak hukum dan pengadilan.

Kedua, DPR harus menjaga etika politik dan bersungguh-sungguh menyelesaikan RUU yang telah dirancang. Ketiga, pemerintah harus menuntaskan utang perkara yang berhubungan dengan korupsi besar.

Keempat, semua aparat penegak hukum harus kooperatif dalam pemeriksaan kasus korupsi. "Jangan sampai nanti ada lagi aparat atau pejabat yang tidak mau datang ke persidangan. Padahal, hanya jadi saksi kasus korupsi," kata Fariz.    rep: Rizma Riyandi, ed: Erdy Nasrul

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement