Jumat 27 Jun 2014 13:03 WIB

Produksi Minyak Terus Menurun

Red:

BANDUNG –– Bukan tidak mungkin di tahun 2019 Indonesia bisa menjadi importir migas permanen. Bukan karena kurangnya potensi migas yang terpendam. Namun disebabkan oleh minimnya eksplorasi terhadap sumber sumber energi yang ada. Indonesia,menurut Edy Sunardi, Dosen Fakultas Teknik Geologi Unpad, masih begitu kaya akan sumber energi.

Belum lagi ditambah dengan energi alternatif yang belum maksimal dikembangkan. "Faktor utama yang diminati oleh investor dari luar itu kondisi geologi kita yang masih memungkinkan untuk kita dapat migas," ungkap Edy saat ditemui seusai acara diskusi Tata Kelola Migas dan Optimisme Kepemimpinan Indonesia Masa Depan, di Gedung Rektorat Unpad, Kota Bandung, Kamis (26/6).

Permasalahan utamanya justru terletak pada produksi minyak yang terus menurun. Dulunya Indonesia sanggup menjadi pengekspor migas karena produksi yang mencapai 1,2 juta barel per hari.

Sementara konsumsi hariannya hanya 600-800 barel per hari. Jauh berbeda dengan saat ini yang jumlah produksinya bahkan sulit mencapai 800 barel per hari. Eks plorasi da lam negeri memang dinilai masih rendah. Se men tara ini pihak Pertamina yang memiliki wilayah kerja 45 persen dari total wilayah atau seluas 138 ribu km2 hanya menghasilkan 28 persennya saja.

Menurutnya jumlah kilang minyak di dalam negeri masih sangat kurang. Dengan me nambah kilang, maka akan ber tambah juga cadangan yang dimiliki negara. Posisi pengeboran, menurutnya bisa diusahakan dengan studi dari ahli-ahli profesional agar me meroleh kepastian pro duk. Namun permasalahannya ada lah masih kurangnya in ves tasi sebagai pendanaan proses eksplorasi itu.

Kurangnya ketertarikan investor ini disebabkan oleh be berapa hal. Keengganan in vestor masuk karena ketiadaan kepastian produk dan izin birokrasi daerah yang rumit. "Untuk perizinan saja mereka butuh dana miliaran dan waktu sampai dua tahun," kata Edy.

Edy mengatakan, dalam hal migas, saat ini negara sulit untuk tidak menggandeng investor asing. Negara tidak dapat mengubah sumber daya menjadi cadangan jika tidak dieksplorasi. "Kalau saya harus mengebor sampai 200 juta dolar AS, darimana uangnya. APBN Rp 2.000 triliun katakanlah, ngebor satu saja berapa?" katanya.

Namun Edy me negaskan pihak asing hanya bisa andil di kegiatan usaha hulu. Yaitu eksplorasi dan eksploitasi. Investor hanya menguasai hak ekonominya saja dan bukan penguasaan akan sumber dayanya. Se hingga apa yang terjalin hanyalah urusan bisnis semata.

Nantinya menurut Edy, negara harus mulai melakukan sendiri dalam hal eksplorasi. Saat ini yang perlu diperhitungkan seberapa share yang terjadi antara investor asing dan negara. Hal itu harus sesuai dengan seberapa luas cadangan yang mereka gunakan. "Seperti di Arab Saudi, lama-lama cadangan mereka kan bisa jadi 100 persen dikelola negara," ujarnya.

Sementara Dosen Fakul tas Hukum Unpad, Ida Nur linda mengatakan bahwa se lama ini kebijakan tata kelola mi gas selalu berorientasi pa sar. Pada era globalisasi eko nomi membuat pemerintah menyerahkan pengelolaan energi pada pihak asing. Da lam hal ini yang disayangkan menurutnya adalah peran negara yang semakin sedikit.

Ida menilai dalam tata ke lola migas dibutuhkan regu lasi yang fokus, harmonis dan sinkron. Menurutnya se lama ini yang terjadi antara implementasi dan regulasi tidak ada sinkronisasi." UU dengan PP, Perda, dan kontrak secara horisontal dan vertikal bertentangan. Investor memandang kontrak sebagai hukum. Ini yang jadi dilema bagi pemerintah," katanya.

Ia setuju dengan menga ta kan mustahil jika tidak meng andalkan investor asing. Namun harus diimbangi dengan adanya kebijakan keberpihakan yang positif dari negara kepada kesejahteraan rakyat.

rep:c69 ed: rachmat santosa

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement