Ahad 20 Jul 2014 15:00 WIB

Sebuah Negeri Para Ulama

Red: operator

Kawasan Canduang dan Koto Marapak tempat lahirnya para ulama sejak era Paderi.

Mereka berkembang dari jaringan surau antardaerah.

Seorang kawan berkomen tar sebelum keberang katan saya ke Ko to Marapak, Sumatra Barat. Ka mu sedang ke tempat para ulama tuh, kawasan itu basis pergerakan Islam sejak dulu, katanya seraya mendengarkan rencana perjalanan saya.

Sebuah informasi menarik, selain keindahan alam dan budaya yang ingin kami gali dan telusuri. Adalah teman sekampus saya yang mengajak dan memperkenalkan saya ke kawasan ini. Daerah yang sehari-harinya berta tap wajah dengan keindahan Gunung Marapi.

Ini rumah gadang keluarga Zakiah Daradjat, kata Arina Suhirman, kawan saya itu, menunjukkan sebuah rumah gadang kayu berwarna cokelat. Tampaknya rumah keluarga ulama wanita yang belum lama ini tutup usia tersebut tidak dihuni. Selain Zakiah, ada juga da'i Mawardi Labay El Sulthany di antaranya.

Yulizal Yunus, dosen IAIN Imam Bonjol, Padang, seorang kenalan kami menepis ragu kami. Canduang dan Koto Marapak itu basis penyebaran Islam di Sumatra Barat, kata dia.

Sejak Paderi Wilayah Canduang, Koto Marapak, dan sekitarnya, jelas Yulizal, sejak dulu sudah menjadi tempat lahirnya para ulama. Di antara para tokoh Paderi, para pelanjut Haji Miskin yang menyebar pemurnian Islam, ajaran dari Makkah, lahir dari daerah ini.

Lelaki yang banyak menulis buku tentang Islam dikaitkan dengan sejarah Minangkabau lantaran menggambarkan mata rantai perkem bangan Islam di kawasan ini. Ia memulainya dari Syekh Muhammad Cangkiang me miliki putra Syekh Jamaluddin. Syekh Cang kiang berguru pada Syekh Ibrahim di Bonjol, sebuah daerah di Pasaman.Putra Syekh Cangkiang, penyebar tarekat, Taher Jalaluddin Al Falaki menjadi terkenal di Malaysia. Ia mendirikan pusat kajian ilmu falak.

Surau-surau di Canduang dan Koto Marapak, jelas Yulizal, ada hubungannya dengan surau di Halaban, Payakumbuh. Pasalnya, para ulamanya banyak jebolan Halaban. Surau Limbukan Payakumbuh digerakkan para ulama jebolan Surau Kumbu di Payakumbuh, Padang Kandih memiliki ulama dari hasil godokan Kumpulan Pasaman, Syekh Cangkiang di Canduang. Ini jalur penyebaran Islam di Luhak Agam, jelas Yulizal, Jaringan surau amat berarti dalam pengembangan Islam.Antara surau satu dan surau lain berkaitan sejak abad ke-18.

Jalur itu ada yang langsung dari Makkah seperti Syekh Cangkiang dan ada yang kelanjutan dari mereka.Dari surau ke surau Tidak afdhal ke Canduang dan Koto Marapak, bahkan Sumatra Barat secara keseluruhan tanpa menengok masjid dan suraunya.

Kami berkunjung ke beberapa masjid dan surau. Seperti di beberapa daerah lain, masjid-masjid kuno memiliki atap tumpang 3 hingga 5. Atap teratasnya berbentuk limas. Ini hasil pengaruh bangunan agama Hindu. (lihat Mas jid Canduang dan Masjid Lamo).

Ukir-ukiran khas Minang yang mengandalkan keindahan alam tetumbuhan juga terlihat. Sayangnya, dalam perjalanan ke be be rapa tempat atap ijuk pada masjid lama kini berganti genting berwarna-warni.

Surau, menurut Yulizal, pada dasarnya terdiri atas surau ulama dan surau ninik mamak yang berbasis suku, tempat para paman mengajar adat dan perilaku bagi kemenakan-kemenakannya. Namun, dalam waktu singkat, sulit bagi saya mencermati surau-surau itu kecuali bentuk fisiknya.

Sebagian juga, mungkin karena fungsi surau kini mulai bergeser. Bila dulu menjadi basis gerakan sosial. Yakni, di mana surau menyuplai ilmu pengetahuan dan pengembangan kemampuan masyarakat, kini fungsi itu dilakukan oleh lembaga pendidikan modern.

Jaringan surau kini tidak sekental dulu,kata Yulizal. Ia lantas menjelaskan betapa di era otonomi kini ada impian di Sumbar menuju ke nagari berbasis surau. Mengembalikan surau berdaya seperti dulu ....

Bertemu Inyiak 100 Janjang

Ibrahim Mufid (14 tahun) membaca tulisan Arab itu dengan lan car. Tak seperti membaca Al quran. Ia sedang membaca kitab kuning. Huruf-huruf yang dibacanya tanpa tanda baca, Arab gundul, begitu sebutannya. Sang guru memperhatikannya dengan seksama sambil duduk di kursi kecil. Sesekali ia mengoreksi bacaan murid kelas 3 madrasah itu.

Ibrahim dan kawan-kawan duduk di tikar dalam lingkaran, Ayah, julukan sang guru, duduk di tengah. Sudah sejak 1980, Buya Muslim Kari Bagindo (70) mengajar di rumah. Sebelumnya ia khusus mengajar mengaji di rumah.Di samping itu ia mengajar di Miftahul Ulumi Syari'ah (MUS) Canduang, almamaternya.

Sejak mulai sering sakit, murid-murid yang ingin memper dalam pelajaran di sekolah tentang kitab kuning datang ke rumahnya.Maklumlah, tak semua pelajaran tuntas dipahami di sekolah. Kadang-kadang guru mereka pun titip pertanyaan, ungkapnya.Secara teratur anak-anak itu datang tiap hari, kecuali malam Jumat. Mereka belajar sejak Maghrib hingga pukul 21.30.

Ladang akhirat

Buya Muslim adalah guru kitab kuning tertua di Nagari Canduang. Ia belajar pada Syekh Ah mad Thaher, ulama setempat, hingga mendapat ijazah MUS tamat pada 1960.

Lalu ia mengajar di sekolah yang didirikan gurunya pada 1937 itu. Bukan dari mengajar itu Buya Muslim menyandarkan periuk nasinya. Sebab, dari kegiatan mengajar tiap malam itu, ia beroleh Rp 180 ribu untuk empat bulan.

Ini ladang akhirat, keuntungan lain tak ada, kata dia.

Kepada saya, Iswandi, salah satu anaknya bercerita, ia ingat be nar kegiatan saat ayahnya masih kuat mengajar di madrasah.

Hingga malam hari, Buya Muslim tekun belajar, membaca-baca kitab kuning di rumah.Saat kami berkunjung ke rumah Inyiak 100 Janjang, nama julu k an lain bagi Buya Muslim ka rena tempat tinggalnya di Jorong 100 Janjang, banyak tumpukan ka yu ma nis. Sebagian dijemur, se bagian lagi sudah dalam ikat an-ikatan ber tumpuk di dalam rumah. Hasil kebun kayu manis, cokelat adalah sumber penghasilan Buya Muslim dan istrinya, Dasmaniar. Pagi hari menjemur kayu manis, ia men ceritakan kegiatannya di rumah.

Sebagian besar waktu ayah tujuh anak ini berkutat di seputar agama. Ia aktif di Masjid Jamiatul Amaliyah, Jorong 100 Janjang. Ia juga pengurus Majelis Taklim Syau qina.

Meskipun tak bisa ditakar dengan uang, Buya Muslim merasa banyak menangguk kebahagiaan.Terutama bila murid-muridnya meng angkat nama Canduang men juarai lomba pembacaan kitab kuning dan membaca Alquran. Sejuk rasanya, kata dia.

Ia mengakui, hidup tentu ada hal-hal yang tak menyenangkan.Tapi, ia enggan memberi ruang dalam hatinya untuk itu. Karena, niat saya mempelajari ilmu dan ajarkanlah, ujarnya.Karena banyaknya ilmu agama yang dipelajari dan diajarkannya, tak heran bila Buya Muslim jadi tempat bertanya warga. Salah satunya menjadi tempat minta nama bagi anak yang baru lahir.Itu karena bacaan ayah banyak,cerita Iswandi.

Robohnya Surau Kami

Judul buku karya AA Navis langsung terngiang di telinga saya ketika Arina Suhirman, teman saya di Koto Marapak me ngajak saya ke sana: Robohnya Surau Kami.

Masjid itu lumayan besar, atapnya yang meruncing ke atas, khas surau dan masjid Su matra Barat. Ukir-ukiran indahnya sudah me mu dar, kayu-kayunya mulai melapuk, ko lamnya sudah kering, tanaman liar tumbuh di sana-sini.

Keindahan masjid itu masih tampak.

Bah kan, menaranya telah berdiri miring, meski lantai kayunya sebagian jebol, pilarpilar masjid berwarna hijau berukir tak menyembunyikan keindahannya.

Tak ada penjelasan kapan masjid ini di diri kan. Di papan atap masjid, terdapat tulis an arab gundul dan angka 1319 H. Namun, orangorang tua di Koto Marapak tak sepakat pada satu kesamaan tahun kelahiran masjid ini.

Yang jelas, masjid ini didirikan di atas tanah wakaf keluarga suku Simabua Kayu.Tiga keluarga dari suku Simabua Kayu dengan datuk yang menjabat saat itu Datuk Ma rajo, memutuskan memberikan tanah bersama keluarga, kata Amami (70 tahun).

Cerita berdirinya masjid itu ia dapatkan dari pa mannya pada saat ia masih kecil.Masjid la mo, begitu sebutannya sekarang, pernah menjadi kebanggaan orang kampung Koto Marapak dulu.Masjid itu mempunyai satu menara megah untuk mengumandangkan azan, satu kubah yang saat itu terlihat megah.Bangunan tembok ko koh yang mirip dengan bangunan tembok keraton di Jawa memagari halaman dalam masjid, membuat bentuk kolam yang melingkari masjid di bawah bangunan. Kolam yang dulu pernah mengalir air jernih dan menjadi tempat bersuci.

Hilma yang lahir pada 1933, mengingat sewaktu kecil ia bahkan sering datang ke masjid bukan hanya waktu shalat tarawih di bulan Ramadhan. Ia kerap datang hanya untuk berdendang menyanyikan lagu-lagu pujian. "Dulu tidak ada hiburan lain, tidak seperti sekarang yang banyak acara TVnya," kenang dia. Dan, di masjid itu pula pada 1954 ia dinikahi suaminya.

Kejayaan Masjid Lamo memudar sejak tanah yang berjarak cuma sekitar 50 meter diwakafkan oleh pemiliknya untuk didirikan mas jid baru pada 1965.H Sofyan, pengurus masjid baru sejak 1965, juga berasumsi bahwa masjid baru di ba ngun karena dirasakan bahwa masjid lama lebih buruk dan kuno.

Sofyan yang dikenal dengan sebutan Haji Piat bercerita bahwa sekitar 1980-an pernah ada pembicaraan antarpemuka kampung untuk membongkar Masjid Lamo dan meng gantikannya dengan bangunan madrasah. Usaha tersebut gagal karena tidak mendapat persetujuan dari keturunan keluarga pewakaf tanah.

Mereka berpendapat, tanah tersebut diwakafkan oleh neneknya untuk dimanfaatkan sebagai masjid, bukan yang lain,

kata Haji Piat. Alhasil, hingga kini masjid lamo menjadi kian usang di makan waktu menunggu roboh.

Reportase oleh : Nina Chairani

Fotografer : Edwin Dwi Putranto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement