Ahad 17 Jan 2016 13:00 WIB

Kambing Berkeliaran dan Pesta Pernikahan

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

Dua malam di Tumbak bukanlah waktu yang panjang. Kami hanya memiliki sedikit waktu untuk menatap pemandangan laut dari atas bukit di Pulau Ponteng maupun ikut nelayan mencari ikan di perairan, selain melihat-lihat hutan bakau dan pemukiman rumah panggung masyarakat Bajo. Anak- anak biasa bermain air di dermaga. 

Jika siang, rumah-rumah di Tumbak dibiarkan terbuka pintunya kendati pemilik rumah tidak sedang di rumah. Saling percaya antarwarga telah membuat dua desa ini terjaga keamanannya. Mereka tak perlu khawatir adanya orang yang akan mencuri barang-barang di rumah mereka.

Itu pula sebabnya, kambing- kambing yang dilepas, tetap saja aman. Selama di Tumbak, jangan merasa heran jika menjumpai kambing-kambing berkeliaran.

Kambing menjadi pilihan warga, karena kambing bisa makan daun bakau maupun makanan sisa.

`\'Sehingga tidak membutuhkan biaya yang banyak dalam perawatannya,\'\'

ujar Mamong Mau (65 tahun), warga Tumbak.

Kambing-kambing yang bebas berkeliaran di Tumbak itu membuat Sri Ratnawati dari Bandung begitu terkesan. Setelah melakukan perjalanan yang berbeda, saya bergabung dengan rombongan Sri Ratnawati dan Dian Ayu Aryani di Tumbak. `\'Setelah sekian lama hanya lihat anjing, senengakhirnya bisa lihat kambing,\'\' ujar dia, yang sebelum mengunjungi Tumbak terlebih dulu berkeliling Sulawesi Utara.

Di Tumbak, daging dijadikan barang arisan. Inilah salah satu praktik mapalus(gotong royong) di kalangan muda-mudi Tumbak.

Arisan daging terselenggara setiap akan ada pesta pernikahan, menyertai arisan beras, arisan minuman, arisan telur, dan arisan keuangan. 

Sumbangan arisan ini seperti tabungan, yang akan didapatkan lagi ketika melaksanakan pesta pernikahan. `\'Misal si A dulu menyumbangkan uang Rp 20 ribu kepada si B, saat harga beras Rp 7.000 per kilogram, berarti seharga sekitar tiga kilo gram beras, maka ketika sekarang ia melaksanaan pesta pernikahan, ia akan mendapat sumbangan dari si B sebesar uang yang nilainya setara dengan sekitar tiga kilogram beras harga saat ini,\'\' tutur Ismed Mau dari Persatuan Pemuda-Pemudi Al-Mukhlis Tumbak Raya.

Di malam sebelum pesta pernikahan, muda-mudi mengumpulkan kebutuhan itu. Di saat yang sama, calon mempelai mengadakan malam badaka. Ini istilah Melayu-Manado untuk menyebut tradisi malam bedakan di rumah calon mempelai laki-laki. Bedak yang dipakai adalah bedak yang diramu oleh ibu-ibu yang dipandang memiliki kharisma di desa.

Warga yang hadir lantas melakukan handollodengan iringan rebana. Handollomerupakan istilah Bajo untuk kegiatan mengangkat calon mempelai yang telah dibedaki itu, kemudian tubuhnya dilempar-lempar ke udara. Iring-iringan orang banyak saling berganti mengayun- ayun calon pengantun ke udara.

Inilah saat yang paling ramai dan membahagiakan. Ayun-ayun ke udara itu adalah bagian dari sikap ucapan selamat orang banyak kepadanya, seolah meneriakkan yel- yel hore! 

`\'Ayunan ke atas artinya sang pengantin sebentar lagi menjemput derajat kemanusiaan yg lebih tinggi , yang dihantar oleh polesan bedak, polesan kesadaran, untuk bisa memaklumi atas segala debut kehidupan di masa datang selama berumah tangga," ujar Muchsin.

Tradisi ini dimulai pada 1919.

"Berdasarkan keterangan dari nenek, malam badaka adalah saat calon pengantin pria mulai berbenah diri menjemput masa perubahan jati diri, yakni dari masa lajang menuju masa memasuki bahtera rumah tangga yang penuh tantangan itu,\'\'jelas Muchsin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement