Kamis 17 Nov 2016 14:00 WIB

Logika Islam untuk Jakarta

Red:

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta sedang menjadi sorotan nasional, bahkan internasional. Tulisan ini tidak terkait dengan politik praktis pilih-memilih dalam Pilkada Jakarta. Namun, ini lebih terkait dengan pola pikir Islam yang sepatutnya dimiliki setiap Muslim, dalam kondisi apa pun dan siapa pun gubernurnya.

Aspek pemikiran ini terkait dengan selamat pikir dan selamat iman. Sepanjang zaman, para ulama Islam sangat menjaga pola pikir yang sehat ini. Apa pun kondisi dan situasi politik, keimanan harus diselamatkan. Jangan urusan pilkada sampai mengubah pemikiran Islam yang baku, apalagi menukar iman dengan sejumput kekuasaan duniawi.

Bisa jadi, suatu saat kekufuran meraih kemenangan, tetapi kekufuran tetap salah. Iman tetap benar. Nabi Ibrahim AS sendirian menegakkan kalimah tauhid di tengah hegemoni kekuasaan kekufuran. Namun, Alquran tidak sedikit pun memuji kehebatan kekufuran. Ketika kekuasaan penjajah Belanda sedang merajalela, seorang ulama Nusantara bernama Syaikh Abd Shomad al-Falimbani, menulis kitab Nashihah al-Muslim wa-Tadzkirah al-mu'minin fi-Fadhail al-Jihad fi-Sabilillah wa-Karamah al-Mujahidin fi-Sabilillah. Syekh al-Falimbani menjelaskan bahwa wajib hukumnya bagi kaum Muslim untuk melakukan jihad melawan kaum kafir.

Sebagian orang salah paham bahwa jika Muslim memilih pemimpin Muslim. Seolah-olah Muslim itu pasti memusuhi kaum non-Muslim. Orang ini gagal paham tentang hakikat ajaran Islam. Dalam Islam, kedudukan kaum non-Muslim sudah sangat jelas. Bahkan, Nabi Muhammad SAW dan para pemimpin Islam sepanjang sejarah, memberikan teladan yang luar biasa dalam membangun toleransi beragama dan penghormatan kepada non-Muslim.

Konsep Islam

Islam adalah agama wahyu. Konsep keimanan, ibadah, dan juga sosial-kemasyarakatan didasarkan kepada wahyu (Alquran dan sunah); bukan pada budaya. Karena itu, pandangan Islam terhadap non-Muslim pun terumus dengan jelas dalam Islam, sejak awal perkembangan sejarah Islam.

Non-Muslim bukan musuh, selama mereka tidak memusuhi Islam. Kaum Muslimin sendiri tidak menganggap lawan-lawannya sebagai musuh. Mereka adalah ummatud da'wah. Dari sudut kebangsaan, Muslim dan non-Muslim adalah warga negara yang terikat oleh hukum dan perundang-undangan yang berlaku; huquq al-muwathanah.

Namun, dalam perspektif akidah Islam, mereka adalah kaum yang dimurkai Allah, qawman ghadhiballah , (QS al-Mumtahanah: 13). Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, "Fa kayfa tuwallunahum wa tattakhidzunahum ashdiqa wa akhilla". Bagaimana mungkin kalian menjadikannya sebagai wali dan mengambilnya sebagai teman dan kawan dekat. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 4:427 Dar al-Fikr, 1404/1994)

Merekalah yang oleh surah al-Fatihah disebut dengan ghayril maghdhubi 'alayhim wala-dhallin. Yang dalam surah al-Kafirun ditegaskan dengan lakum dinukum waliyadin. Atau dalam surah al-Bayyinah dengan vonis ula'ika hum syarrul-bariyyah, sejahat-jahat makhluk. Namun, non-Muslim pun bervariasi.

Merujuk riwayat Ibnu 'Abbas RA, dalam Kitab Sahih Bukhari (5266), disebutkan bahwa non-Muslim itu variatif, di antaranya, (1) harbi (memerangi Islam), (2) 'ahdi (punya kesepahaman janji), (3) zimi (dalam perlindungan Islam), dan (4) musta'min (jaminan keamanan), karena mereka tetangga, terikat hukum/perundang-undangan, kerabat, dan sejenisnya (QS at-Taubah: 6-8).

Yang termasuk kategori musuh adalah non-Muslim harbi, karena mereka memusuhi Islam. Nabi Muhammad beberapa kali terlibat dalam peperangan melawan orang-orang kafir harbi. Secara akidah, Islam bersikap tegas terhadap kekufuran. Namun, dalam praktik kehidupan bermasyarakat, Muslim diperintahkan bersikap adil dan beradab terhadap non-Muslim. Itulah yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Ada doa qunut Umar bin Khattab RA dengan keras melaknat kaum ahli kitab dan mendoakan supaya barisan mereka porak-poranda. (Sunan Baihaqi, Kitab Shalat, bab: du'a' al-qunut, Juz 2:210-211). Imam Ibnu Mulaqqan rahimahullah dalam syarahnya terhadap hadis laknat ahli kitab, menyebut adanya ijma ulama tentang bolehnya melaknat Yahudi dan Nasrani (Al-I'lam bi Fawa'idi 'Umdati al-Ahkam, Juz 4: 508). Pada zaman sekarang ini, menurut Imam Ibnu Taimiyah, saat kaum non-Muslim dengan masif merusak Islam melalui berbagai cara, diperbolehkan melaknat mereka. (Majmu' Fatawa, Juz 35: 200).

Nabi Nuh AS melaknat kaumnya yang lebih cinta kekufuran (QS Nuh: 26-27). Nabi Musa AS melaknat Fir'aun dan pembantu-pembantunya (QS Yunus: 88). Semua ini mereka lakukan bukan atas dasar hawa nafsu, kebencian, melainkan atas dasar wahyu.

Bani Lahyan, Ri'il, Dzakwan, Ushayyah adalah di antara kaum kuffar yang kena sasaran doa qunut Nabi Muhammad SAW. Pasukan Ahzab, Mudhar, dan musyrikin yang ikut memperkuat pasukan Khandaq, Syawal 5 H, juga pernah didoakan oleh Nabi SAW, "Mala'allahu buyutahum wa quburahum nara, syaghaluna 'an shalatil wustha: Semoga Allah penuhi rumah-rumah dan kuburan mereka dengan api. Mereka telah merepotkan shalat Ashar kami." (Sahih Bukhari (6393), sahih Muslim (1542)). (Lebih jauh lihat, QS Ali Imran: 32, al-Baqarah: 89, al-Ahzab: 64, dan Muhammad: 11).

Alquran mengingatkan kaum mMuslim agar berhati-hati dengan kekufuran dan kemunafikan. Sebab, orang kafir itu punya jiwa munafik. Kekufuran setali tiga uang dengan kemunafikan. Itulah di antara rahasia, mengapa turun larangan Alquran untuk menjadikan mereka teman kepercayaan, wali, dan pemimpin. Allah SWT memerintahkan Nabi SAW bersikap tegas, "Ya ayyuhannabiyyu jahidil-kuffara wal-munafiqina waghluzh 'alayhim." (QS at-Tahrim: 9).    

Kafirin dan munafiqin, tercatat dan diabadikan dalam Alquran sebagai nama surat. Yaitu surah al-Kafirun yang turun di Makkah dan surah al-Munafiqun yang turun di Madinah. Tentang orang-orang munafik, Allah berfirman, "Humul-'aduwwu fahdzar-hum" mereka itu musuh, hati-hatilah (QS al-Munafiqun:4). Terhadap orang kafir, Alquran menyuruh kaum Muslimin untuk tidak taat, khususnya berkenaan dengan ibadah dan keimanan, fala tuthi'il-kafirina wa jahidhum bihi jihadan kabira." (QS al-Furqan: 52).

Jadi, kedudukan dan status non-Muslim sudah begitu jelas dalam ajaran Islam. Namun, kaum Muslim dilarang menzalimi mereka. Beratus-ratus tahun kaum Muslim memimpin Andalusia, tapi kaum Yahudi mendapatkan tempat yang sangat layak.

Sejumlah penulis Yahudi menggambarkan kondisi Yahudi di Spanyol di bawah pemerintahan Islam ketika itu sebagai suatu zaman keemasan Yahudi di Spanyol (Jewish golden age in Spain). Martin Gilbert, penulis Yahudi, misalnya, mencatat tentang kebijakan penguasa Muslim Spanyol terhadap Yahudi. Dia katakan bahwa para penguasa Muslim itu juga mempekerjakan sarjana-sarjana Yahudi sebagai aktivitas kecintaan mereka terhadap sains dan penyebaran ilmu pengetahuan. Maka mulailah zaman keemasan Yahudi di Spanyol, yakni saat penyair, dokter, dan sarjana memadukan pengetahuan sekular dan agama dalam metode yang belum pernah dicapai sebelumnya. (Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi-Kristen-Islam, Jakarta: GIP, 2005).

Tentang kezaliman

Ada yang menyatakan bahwa musuh kaum Muslim hanya tiga, yaitu orang zalim, setan, dan hawa nafsu; bukan orang non-Muslim. Dikutiplah sebagian ayat Alquran: "… fa la 'udwana illa 'ala adh-dhalimin." Ayat ini bermakna, "Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim." (QS al-Baqarah: 193).

Menurut jumhur mufasirin, kata 'zalim' dalam ayat tersebut bermakna 'syirik', seperti disebutkan dalam surah Luqman ayat 13, "innassyirka lazhulmun 'azhim". Imam Bukhari melalui sanadnya dari Qutaibah, dari Jarir, dari al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Ibnu Masud RA meriwayatkan: "Para Sahabat sangat berat dengan turunnya ayat zalim dalam al-An'am ayat 82. Sahabat bertanya: "Ayyuna lam yalbis imanahu bizhulim, siapa di antara kami yang tidak mencampur keimanannya dengan kezaliman?" Jawab Nabi: "Bukan itu maksudnya, belum dengarkah kalian ucapan Luqman terhadap anaknya." Lalu Nabi membaca surah Luqman ayat 13, "sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang besar." (Sahih Bukhari 3428, 4776, 6918).

Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan makna wala udwana illa alaz zhalimin, menulis, "Fa'inintahaw amma hum fihi minassyirki wa qitalul mu'minin fakuffuw 'anhum: Jika kalian tidak berhenti juga terhadap kesyirikan yang selama ini kalian lakukan dan memerangi orang mukmin, maka tahanlah tangan kalian dari mereka." (Tafsir Alqur'an, Juz 1:283, Dar al-Fikr, 1414/1994).

Sebagai agama yang diturunkan Allah kepada Nabi terakhir, ajaran Islam bersifat paripurna, bersifat lintas zaman dan lintas budaya. Karena itu, sifat ajaran Islam adalah abadi dan universal. Karena itu, tidaklah patut, jika hanya karena kepentingan politik sesat, lalu ajaran Islam yang agung dan mulia itu dipermainkan dan diutak-atik atau dicocok-cocokkan dengan kepentingan politiknya.

Misalnya, sebuah hadis Nabi Muhammad SAW, "Unshur akhaka dhaliman aw madhluman." Kata Nabi SAW, "Tolonglah saudaramu baik dalam keadaan menzalimi atau sedang dizalimi." Makna hadis ini sangat mulia. Dan jelas, kata akhaka dalam hadits itu tidak ada hubungannya dengan nama seorang cagub tertentu.

Makna akhaka di sini adalah akhaka fiddin. Salah satu tanda keimanan adalah kepekaan terhadap nasib saudaranya. Jika saudaranya seiman tersakiti atau disakiti maka saudara Muslim yang lain akan merasakan sakit pula. Bisa disimak makna kata akhaka dalam hadis ghibah riwayat Abu Hurairah: "Al-ghibah dzikruka akhaka bima yakrah." Imam Manawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam hadis itu adalah akhaka fiddin, saudara seagama. (Faidhul Qadir Imam al-Manawi, Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, Juz 3:58 dan Juz 4:417).

Dalam hadis 'khianat' riwayat Sufyan bin Usaid al-Hadhrami disebutkan, "Kaburat khianatan an tuhadditsa akhaka haditsan huwa laka bihi mushaddiqun wa anta lahu bihi kadzib, (Termasuk pengkhianatan besar kamu ialah menyampaikan pembicaraan kepada saudaramu. Ia membenarkanmu sementara kamu membohonginya.)" Imam Bukhari, Adabul Mufrad (393); Takhrijul Misykat al-Mashabih Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (Juz 4:384). Penafsiran seperti ini lazim disebut tafsirul hadis bil hadits, hadis ditafsirkan oleh hadis, bukan oleh hawa nafsu.

Dari sudut asbab wurud, Rasulullah SAW menyabdakan hadis tersebut ketika Jundub bin Anbar RA terlibat cekcok dengan sahabat Muhajirin. Jadi, bukan dengan penganut agama lain. Berdasarkan dua pendekatan ini (asbab wurud dan tafsirul hadis bil hadis), makna akhaka adalah "saudaramu seiman".

Itulah logika Islam. Itulah pola pikir Islam yang sangat menjaga keselamatan iman. Sebab, bagi Muslim, iman adalah landasan sahnya amal. Jika iman hilang, amal menjadi sia-sia, laksana fatamorgana; tiada nilai sama sekali (QS an-Nur 39).

Karena itu, selamat ber-pilkada, tetapi jangan sampai orang Muslim merusak ajaran agamanya sendiri, apalagi sampai mengorbankan keimanan. 

Oleh: Syamsul Bahri Ismail

Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement