Kamis 18 Sep 2014 12:00 WIB

Quo Vadis Kesetaraan Gender?

Red:

Jauh sebelum Convention on The Elimination of All Forms of Discri mination Against Women (CEDAW) diratifikasi PBB pada 1979, Indonesia sudah mengenal tuntunan "persamaan hak" gerakan perempuan. Istilah kesetaraan gender belum dikenal saat itu. Kini, istilah kesetaraan gender sudah menggusur istilah emansipasi wanita yang sempat populer berpuluh tahun. Bahkan, tuntutan pun semakin berkembang. Bukan hanya peberdayaan perempuan, melainkan penyamaan peran dengan dalih peran laki-laki dan pe rem puan dibentuk oleh budaya, bukan fitrah.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/Rakhmawaty La'lang

Puluhan massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Toleransi melakukan aksi damai memperingati hari toleransi Internasional di Bundaran HI, Jakarta, Sabtu (16/11).

Mr AK Pringgodigdo membagi pergerakan perempuan di Indonesia menjadi tiga gelombang, pertama pada 1908-1920. Ke dua, pada 1920-1930 dan ketiga pada 1930- 1942. Menurutnya, pada gelombang pertama pergerakan perempuan hanya berjuang untuk mempertinggi kedudukan sosial. Persoalan politik, seperti hak pemilihan, tidak menjadi perundingan sama sekali. (Mr AK Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, 1960: 33).

Tokoh pergerakan yang menjadi ikon pada gelombang pertama ini adalah RA Kartini. Ia sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Dalam suratnya kepada Prof dan Nyonya FK Anton di Jena, 4 Oktober 1904, Kartini menulis, "Apa bila kami dengan sangat meminta pendidikan dan pengajaran bagi gadisgadis bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki dalam perjuang an hidup ini, melainkan karena kami hen dak menjadikan perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, yaitu kewajiban yang diserahkan oleh alam sendiri ke da lam tangannya; menjadi ibu – pendidik manusia yang pertama. Ibulah yang menjadi pusat kehidupan rumah tangga dan kepada ibulah terletak kewajiban pendidikan anakanak yang berat itu; yaitu bagian pendidikan yang membentuk budi pekertinya … untuk keperluan keluarga yang lebih besar yang dinamakan masyarakat, di mana ia kelak akan menjadi anggotanya. Itulah sebabnya, kami minta pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak gadis. (Sartono Kartodirdjo, dkk, Sejarah Nasional Indonesia, 1975:244-245).

Pada 1920-1930 saat gelombang kedua nasib perempuan Indonesia mengalami banyak perubahan dari tahun sebelumnya. Ini ditandai dengan berkurangnya kawin pak saan, anak-anak perempuan diperbo lehkan bersekolah dan lainnya, (Mr AK Pring godigdo, 1960: 108).

Pada gelombang ini pula Kongres Perempuan Indonesia pertama diadakan di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928; diselenggarakan ber sama oleh wakil-wakil ketiga jenis per kum pulan-perkumpulan tersebut, seperti Wanito Utomo, Putri Indonesia, Wanito Katolik, Wanito Mulyo, Aisiyah, Sarekat Islam (SI) bagian wanita, dan dari kalangan pemuda: JIB dan Jong Java (JJ) bagian wanita dan Wanita Taman Siswa). Tujuan nya ialah mempersatukan cita-cita dan usaha untuk memajukan perempuan Indo nesia. (Mr AK Pringgodigdo, 1960:111)

Gerakan perempuan yang mulai memperkenalkan paham kesetaraan gender adalah Istri Sedar (IS). Gerakan ini muncul pada awal gelombang ketiga dan menjadi ikon pada masanya. Pada gelombang ini pula terjadi friksi antara gerakan perempu an Islam dengan feminis. Pendiri dan pe mim pinnya bernama Nona Suwarni Djo jo se putro. Istri Sedar didirikan pada 22 Maret 1930 di Bandung (Mr AK Pring godig do, 1960: 184). Istri Sedar inilah yang nanti nya men jadi cikal bakal Gerwis atau Gerak an Wanita Sedar yang akhirnya setelah sembilan tahun Indonesia merdeka diubah menjadi Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia.

Istri Sedar merupakan organisasi yang dianggap paling radikal saat itu. Banyak organisasi perempuan Islam yang tidak senang dengan garis perjuangan Istri Sedar. (Hikmah Diniah, Gerwani Bukan PKI, 2007:7).

Istri Sedar berusaha agar ang gota nya sadar akan cita-citanya sebagai anak bangsa dan perempuan yang sadar, su paya mereka lebih matang untuk ber juang di lapangan politik bersama kaum laki-laki. Mereka sangat senang jika ang gotanya masuk dalam partai politik. (Mr AK Pringgodigdo, 1960:184).

Pada gelombang ini pula gerakan pe rem puan mengadakan kongres di Ban dung pada 1938 dan memutuskan agar 22 De sem ber dijadikan sebagai Hari Ibu dengan semboyan: "Merdeka melaksanakan Dhar ma". Maka, cita-cita Ibu Keluarga, Ibu Masyarakat dan Ibu Bangsa mulai dihayati oleh kaum wanita (Sujatin Kartowijono, Perkembangan Pergerakan Wanita Indonesia,1977: 7).

Setelah 84 tahun perjuangan pemberdayaan perempuan ini dilakukan, kini saatnya kaum perempuan untuk merenungkan kembali, mau ke mana gerakan ini dibawa? Apakah dengan menuntut persamaan dan kesetaraan secara nominal dengan lakilaki? Quo vadis gerakan kesadaran gender? Mau ke mana dikau pergi?

Sukarno dalam buku Sarinah: Kewajib an Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia menekankan bahwa feminisme atau neofeminisme tidak mampu menutup scheur (retak) yang meretakkan perikehidupan dan jiwa kaum perempuan, sejak kaum perempuan itu terpaksa mencari nafkah di dalam perusahaan-perusahaan sebagai buruh.

Kata Bung Karno, Scheur antara perempuan sebagai ibu dan istri dan perempuan sebagai pekerja di masyarakat. Jiwa perempuan dahaga kepada kebahagiaan sebagai ibu dan istri, tetapi peri kehidupan sebagai buruh tidak memberi waktu cukup kepadanya untuk bertindak sempurna sebagai ibu dan istri."

Di Indonesia, sejumlah pegiat kesetaraan gender tampak semakin aneh ketika mereka tidak segan-segan mendukung eksploitasi perempuan berbentuk beauty contest, seperti ajang Miss Universe atau Putri Indonesia. Padahal, ini bertentangan dengan prinsip feminisme diawal kemunculannya.

Walau dibungkus dengan brain dan behaviour, tapi kemolekan tubuh dan kecantikan wajah para perempuan yang mengikuti ajang tersebut tetap saja men jadi penilaian utama. Bahkan, anehnya, para aktivis gender ini mendukung sepenuhnya, para perempuan itu mengumbar auratnya.

Seorang aktivis kesetaraan gender menulis dalam www.jurnalperempuan.org (13/9/2013): "Percayalah Miss World tidak berbahaya dan ‘senjata’ pantat, paha, serta payudara tidak akan mematikan umat manusia. Payudara justru menghidupkan manusia. Air susu ibu tidak jatuh dari langit, dia datang dari sumber yang hanya dimiliki perempuan. Mengapa tidak merayakan tubuh perempuan? Tubuh perempuan sungguh sempurna."

Ketika agama dan Tuhan disingkirkan dari kamus perjuangan pemberdayaan perempuan maka pikiran dan hawa nafsu akan menjadi rujukan. Ketaatan dan ibadah dinilai sebagai penindasan. Keikhlasan dalam berbagi tak jarang dipandang seba gai kebodohan. Kemunkaran dan kemaksiatan dipuja sebagai kebebasan dan kemajuan perempuan.

Alquran mengingatkan tentang manusia-manusia yang telah mengeras hatinya, sulit menerima kebenaran. Sebab, setan telah menjadi panutan. Yang jelas-jelas jahat dikatakan sebagai hal yang mulia. "… Setan pun menjadikan indah da lam pandangan mereka, apa yang mereka kerjakan." (QS 6:43).

Sarah L Mantovani

Mahasiswa Magister Pemikiran Islam- UMS Solo

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement