Kamis 21 Aug 2014 12:00 WIB

Berkah Kemerdekaan dan Dakwah Islam

Red:

Sejak 1 Januari 1800 hing ga sekitar 1942, sejarah mencatat wilayah seluas Indonesia dari Sabang hingga Me rau ke berada di dalam kekuasaan satu negara kecil di Eropa, yaitu Belanda. Indonesia yang saat itu disebut Belanda sebagai Nederlands Indie (Hinda Belanda) menjadi provinsi jauh Belanda.

Para raja yang ditakluk kan di berbagai daerah statusnya diturunkan menjadi bawahan Negeri Be landa dengan pang kat Regen (Bu pati). Mereka diawasi oleh para Residen yang berada di bawah kontrol Gubernur Ge neral sebagai pe mim pin tertinggi penguasa kolonial di ne geri jajahan. Tidak ada satu pun residen atau gubernur jen dral di Hindia Belanda yang pribumi, apalagi beragama Islam. Semuanya orang Belanda yang diangkat oleh Ratu Be landa. Pe riode inilah yang sesungguh nya disebut sebagai Periode Kolo nial (penjajahan) dalam sejarah Indonesia.

Para ulama dengan tegas menyebut, bahwa wilayah Kepulauan Indonesia di kuasai oleh penjajah asing dan kafir. Pen jajahan pun menyebabkan taraf hidup masyarakat pribumi merosot sa ngat tajam dibanding abad-abad se be lumnya. Lengkap sudah alasan bagi kaum Muslim untuk angkat senjata. Abad ke-19 akhir nya dikenal sebagai abad perlawanan terhadap kolonialisme Be landa. Pekik "Pe rang Sabil" alias jihad fi sabilillah terdengar di berbagai wilayah yang dikuasai Belanda. Perang terbesar terjadi di Jawa yang dimotori oleh Pangeran Diponegoro (1925-1930). Sekitar 200 ribu rakyat Jawa gugur. Belanda pun kehilangan sekitar 8.000 tentaranya.

Perang terlama dan paling sulit di hadapi Belanda adalah saat para ulama dan pemimpin Aceh melancarkan serangan balik menolak kehadiran Belanda di Bumi Rencong itu. Di Sumatera Barat terjadi Perang Paderi. Di Banten (1888) ada perlawanan para santri dan kiai yang sekalipun tidak jadi meletus na mun membuat pemerintah Hindia Be lan da tidak bisa tidur nyeyak.

Di Banjar, Pangeran Antasari bergerak didukung para ulama dan santri. Perlawanan-perlawanan abad ke-19 itu selalu digerakkan oleh para ulama, kiai, dan satri. Amat jarang di luar komunitas ini yang melakukan perlawanan nyata kepada penguasa kolonial. Perlawanan itu lahir ketika mereka ditindas oleh penguasa asing, kafir, dan zha lim. Oleh sebab itu, perlawanan sepanjang

Kesadaran akan kewajiban jihad melawan penjajah tertanam kuat dalam jiwa para ulama. Syekh Abdul Shamad al-Palimbani, seorang ulama terkenal asal Palembang yang menetap di Mak kah, pada abad ke-18, pernah berkirim surat kepada Ha mengkubowono I dan ke pa da Pangeran Paku Alam, atau Mang kunegara. Dalam suratnya kepada Mangkunegara, Syekh al-Palimbani me nulis: "Selanjutnya, Yang Mulia hendaknya selalu ingat akan ayat al-Quran, bahwa sebuah kelompok kecil akan mampu mencapai kemenangan mela wan kekuatan besar. Hendaklah Yang Mulia juga selalu ingat bahwa dalam al-qu ran dikatakan: "Janganlah mengira bah wa mereka yang gugur dalam perang suci itu mati" (al-Quran 2:154, 3:169)...

Alasan panji-panji ini di kirimkan ke pada Anda adalah bahwa kami di Makkah telah mendengar bahwa Yang Mulia, sebagai seorang pemimpin raja yang sejati, sangat ditakuti di medan perang. Hargailah dan manfaatkanlah, insya Allah, untuk menumpas musuh-musuh Anda dan semua orang kafir." (dikutip dari buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, karya ProfDr Azyu mardi Azra, (Jakarta: Prenada Media, 2004).

Selama satu abad perlawanan me letus, giliran kemudian generasi Muslim berpendidikan "modern" lahir pada se kitar awal abad ke-20. Perlawanan fisik kini bermetamorfosis menjadi perla wanan yang lebih mengandalkan kekuatan ilmu. Sejarah menyaksikan lahir nya Sarekat Islam (1911) yang memiliki gagasan-gagasan revolusioner untuk melepaskan rakyat Indonesia dari kung kungan Belanda. Organisasi yang didi rikan HOS Cokroaminoto ini menjadi katalisator politik kepentingan-kepen tingan rakyat Indonesia yang ingin segara bebas dari kesengsaraan akibat kolonialisme itu. Disusul kemudian dengan gerakan-gerakan lain yang turut melengkapi hadirnya SI.

Di Jogja lahir Muhammadiyah (1912). Di Bandung lahir Persatuan Is lam (1923). Di Sura baya lahir Nah dlatul Ulama (1926). Di Sumatra lahir Per sa tuan Tarbiyah Isla miyah (Perti) dan Persaudaraan Musli min Indonesia (Per mi). Di beberapa tem pat lain pun lahir gerakan-ge rakan serupa. Walaupun aksentuasi berbeda-beda, namun se muanya memiliki cita-cita yang sama: bebaskan Indonesia dari Belanda!

Kekuatan Islam kembali menampakkan kedahsyatannya, saat KH Ha syi m Asy’ari – yang ketika itu dipercaya sebagai pemimpin tertinggi umat Islam Indonesia dalam MIAI — mengeluarkan Resolusi Jihad, 1945. Isinya menolak kedatangan kembali penjajah dan ke wajiban umat Islam Indonesia untuk mem pertahankan kemerdekaan RI. Artinya, melawan penjajah diberik an landasan hukum agama yang kokoh.

Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari mengandung tiga poin penting: (1) Hu kum membela negara dan melawan penjajah adalah fardlu ‘ain, yaitu kewajiban bagi setiap muslim yang mukallaf yang berada dalam jarak safar. (2) berperang melawan penjajah termasuk jihad fi sabilillah, dan yang meninggal di medan perang tercatat sebagai sya hid, dan (3) siapa pun yang mengkhianati perjuangan umat Islam, memecah-belah persatuan, dan membantu penjajah, dijatuhi hukuman mati.

Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari mendapat sambutan gegap gempita. Semangat jihad merebak. Para ulama dan santri tidak gentar menghadapi ri buan tentara penjajah yang mendarat di Su rabaya. Terjadilah pertempuran 10 November 1945. Mayor Jenderal E.C Man sergh, jenderal yang terkenal karena ke menangannya dalam Perang Du nia II di Afrika, dengan 15 ribu ten tara, tidak ber hasil menundukkan Indo nesia. Itu pun masih dibantu 6.000 personel Brigade 45 The Fighting Cock de ngan persenjataan ser ba canggih, termasuk menggunakan tank Sherman, 25 ponders, 37 howitser, kapal Perang HMS Sussex dibantu 4 ka pal perang destroyer, dan 12 kapal ter bang jenis Mosquito. Namun mereka ber hasil didesak oleh laskar kyai dan santri. Pasukan Sekutu terdesak, dan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas di tangan laskar santri. (http://insistnet.com/resolusi- jihad-kh-hasyim-asyari/).

Tentu, tidak dimungkiri bahwa ada gerakan-gerakan lain yang berhaluan sekuler seperti PKI, PNI, Indische Partij, dan sebagainya yang ikut juga dalam pergerakan membebaskan Indonesia. Namun hal yang tidak bisa dielakkan mereka sebagian besarnya adalah juga umat Islam. Hanya saja, pilihan perjuangannya bukan untuk menegakkan kedaulatan Islam, melainkan mengabdi kepada kepentingan pragmatis atau demi kepentingan kemanusiaan. Pada masanya, kedua haluan gerakan ini— Is lam dan Sekuler—saling bersaing untuk sama-sama menyingkirkan penjajah dan juga saling bersaing untuk mengendalikan negara baru nantinya.

Berkah Kemerdekaan

Seandainya kemerdekaan Indonesia ini tidak diperjuangkan para santri, ula ma, dan umat Islam sejak awal kolonialisme tentu tidak akan ada jejak-je jak Islam yang nyata dalam proses pendirian negara ini. Sidang-sidang BPUPK (Badan Penyelidikan Urusan-Urusan Kemerdekaan) menghasilkan Piagam Jakarta 22 Juli 1945 yang sangat terkenal. Inilah nanti yang menjadi cikalbakal dasar negara Indonesia: Pancasila dan UUD 1945.

Kekuatan dan andil umat Islam da lam kemerdekaan ini juga terlihat saat dengan begitu percaya diri partai-partai Islam, antara lain: Masyumi, NU, SI, Per ti, dan politisi Muslim independen lain nya, mengajukan proposal tentang Is lam sebagai dasar negara Indonesia dalam sidang-sidang Majelis Kons ti tuan te tahun 1956-1959. Politik pada ak hirnya bukan selalu soal kebenaran, tapi juga masalah permainan. Oleh se bab itu, kekalahan politiklah yang ak hir nya harus mengubur harapan para pejuang Islam menjadikan negara baru ini berada di bawah naungan Islam. Bah kan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, usaha-usaha menyingkirkan para pe juang Islam dari kehidupan bernegara begitu terasa.

Berbagai intrik dan fitnah terus dilancarkan kepada gerakan-gerakan Islam agar semakin jauh dari kekuasaan. Isuisu seperti pemberon takan DI/TII tahun 60-an, Komando Jihad tahun 70-an, Ekstrem Kanan tahun 80-an, hingga isu terorisme tahun 2000-an terus dikerek media-media sekular untuk menjadi alasan sahih menyingkirkan Islam dari panggung kenegaraan.

Akan tetapi, dalam situasi yang ter su dut seperti itu bukan berarti umat Is lam kehilangan kreativitas dan vitalitas untuk tetap memperjuangkan agama yang diyakini akan membawa kamasla hat an di dunia dan akhirat. Walaupun secara politik umat Islam secara sengaja dipinggirkan, justru ini semacam takdir Allah SWT. mengingatkan kembali ke pada umat Islam bahwa ada tugas yang lebih penting dan harus terlebih dahulu dibenahi sebelum umat Islam memegang tampuk kekuasaan, yaitu dakwah.

Dakwah Islam tidak pernah berhenti dalam berbagai bentuknya di Indonesia. Menjelang kemerdekaan hampir setiap pemimpin Islam disibukkan memikir kan bagaimana cara Indonesia terbebas dari penguasa kafir-Belanda. Ini jihad nyata yang ada di hadapan mereka. Selepas itu, hampir semua disibukkan mempersiapkan negara baru agar tidak keluar dari jalur Islam. Inipun sesungguhnya bentuk dakwah. Hanya saja, kon sentrasinya pada pengaturan kekua saan. Banyak garapan dakwah lain yang perlu pengembangan, terutama dalam bidang kaderisasi umat dan pengembangan ilmu pengetahuan berdasarkan Islam.

Depolitisasi oleh para penguasa terhadap para politisi Islam akhirnya membuahkan hasil cukup menggemberikan.

Mohammad Natsir, setelah Masyumi dibubarkan, mendirikan De wan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Ia terkenal dengan ungkapannya. "Dulu kita berdakwah dengan poli tik; kin kita berpolitik dengan dakwah." Itulah optimisme dakwah yang tak per nah berhenti.

Dakwah tidak pernah kalah. Ibarat air mengalir. Ketika dibendung, ia akan menguap dan menjadi awan, untuk turun lagi menjadi hujan, membasahi bumi yang haus siraman dakwah. Slogan ini pula yang diamalkan oleh banyak aktivis politik yang digusur dari kekuasaan. Mereka akhirnya kembali terjun ke dunia dakwah. Perguruan-perguruan tinggi Islam didirikan di manamana.

Perguruan tinggi sekuler dijadi kan lahan dakwah baru menjadi kaderkader calon pemimpin melalui gerakan LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Ri bu an cendekiawan muslim lahir dan me nempati posisi-posisi penting di jajaran birokrasi pemerintahan. Jika di tahun 1970-1980-an, ada menteri Mus lim yang menolak mengucap salam Islam, kini elite-elite politik berlombalomba menampilkan diri lebih Islami agar diterima kehadirannya. Salam, shalawat, dan doa, seperti menjadi menu wajib dalam berbagai ritual politik.

Pesantren-pesantren diperbaiki ma na jemen dan performanya untuk me nyai ngi lembaga-lembaga pendidikan non-Islam dan sekuler. Masjid-masjid terus disasar untuk dihidupkan. Lem baga-lembaga dakwah pun berdiri di ma na-mana, bahkan sampai menjang kau pelosok-pelosok negeri. Hasilnya cukup menggembirakan. Akhir tahun 1980-an umat Islam Indonesia mengalami "kebangkitan" baru setelah pada awal abad ke-20 memelopori pergerakan politik untuk bangkit memer deka kan Indonesia. Kali ini prestasi dakwah Islam telah sampai pada taraf yang belum pernah dicapai selama dua abad sebelumnya. Gelombang Islamisasi men jangkau sampai ke berbagai elemen umat. Kaderisasi umat yang mulai diga rap pada era 1960-an mulai berbuah dengan lahirnya generasi-generasi inte lektual Muslim baru.

Puncaknya, para cendekiawan Mus lim berkumpul dan menampilkan kekuatan mereka dalam bentuk berbagai ikatan kelembagaan. Penggunaan jilbab bagi muslimah yang sebelumnya sangat terbatas, sejak tahun 1990-an dapat secara bebas digunakan akibat desakan dari intelektual-intelektual Muslim baru ini. Program studi Syariah kini menduduki posisi elite di sejumlah Perguru an Tinggi "Umum".

Intelektual muslim baru inipun tersebar dalam berbagai keahlian hing ga umat Islam kini memiliki banyak ahli yang masuk ke hampir semua sektor ke hidupan, baik formal maupun non-for mal. Lembaga-lembaga pendidikan Is lam mulai tampil bukan lagi sebagai lembaga pendidikan kacangan, melain kan menjadi lembaga favorit dan unggulan. Media masa yang sebelumnya tidak terlalu percaya diri untuk meng angkat simbol-simbol Islam, kini sudah bukan barang aneh Islam dalam berbagai aspeknya yang positif menjadi pokok perbincangan di media massa. (Lihat Riclefs, Islamisasi Jawa, 2014).

Oleh sebab itu secara performa, sejak tahun 70-an hingga saat ini Islam di Indonesia telah kembali menjadi "agama" mayoritas. Islam tidak lagi diekspresikan secara sembunyi-sembunyi jauh dari ruang publik seperti pada zaman Kolonial. Perjuangan para mujahidin Islam untuk membebaskan negeri ini dari penguasa kafir yang sangat menindas, baik secara politik, ekonomi, dan terutama keyakinan, buahnya sudah mulai dirasakan saat ini. Wallâhu A’lam.

Tiar Anwar Bachtiar

(Peneliti INSISTS/Ketua Umum PP Persis)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement