Ahad 31 Jan 2016 15:38 WIB

Abdul Halim Mahmud Imam Al-Azhar Pelestari Tasawuf

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--"Setiap reformasi di mulai dengan ilmu pengetahuan dan agama. Apakah kita mulai jalan reformasi dari sudut pandang ilmu pengetahuan teoritis, baik pada tingkat pribadi atau pada tingkat masyarakat atau dari bahan atau ilmu empiris, upaya kita harus dijiwai dengan tujuan. Tujuan ini merupakan kewajiban Islam, sebagai ilmu harus menjadi dasar untuk jalan menuju Tuhan dan pengetahuan adalah suatu bentuk ibadah dan bentuk jihad."

Kutipan imam besar Al-Azhar, Syekh Abdul Halim Mahmud ini patut diresapi karena di dalamnya serat dengan tuntu-nan bagi siapa saja yang semangat dengan agenda parubahan atau reformasi di segela lini.

Dalam kutipannya itu, penyabet gelar doktoral di bidang ilmu tasawuf dari Universitas Sorbonne, Paris, Prancis, itu meng ingatkan kepada umat Islam bahwa reformasi itu mesti diawali dengan ilmu tauhid agar hasil dari reformasi yang merupakan salah satu tujuan Islam terhitung sebagai jihad di jalan Allah SWT.

Konsep agenda reformasi yang minim dengan ilmu pengetahuan malah menimbulkan kerusakan, bahkan tujuan untuk mendapatkan perubahan tidak sama sekali tersentuh jika agenda reformasi ini minim ilmu pengetahun agama.

Pemikiran to koh yang masih memiliki garis nasab dengan Ali bin Abi Thalib dari jalur sang ayah ini dikenal moderat. Meski demikian, selama menjabat posisi tertinggi di Institusi Al-Azhar dari 1973 hingga 1978 sebagai imam besar (al-Imam al- Akbar) itu, ia tetap memberikan pendekatan modernisasi dalam universitas tertua dunia Islam tersebut. Ilmu pengetahuan umum diserap sebagai kajian wajib dan terintegrasi dalam ilmu yang tak terpisahkan dari agama.

Selain dikenal progresif, tokoh kelahiran desa Al Salam, 50 kilometer utara timur dari Kairo, Mesir pada 12 Mei 1910 ini juga banyak dikenang sebagai pelestari tasawuf di tengah-tengah modernitas. Ini setidaknya terlihat dari karya-karyanya yang segudang di bidang ilmu olah spiritual tersebut. Kepakarannya dalam tasawuf itu pun menempatkannya sebagai ulama berpengaruh di Mesir pada 1910-1978.

Keluarga qurani

Terlahir dari keluarga penghafal Alquran, Syekh Abdul Ha lim Mahmud, layak disebut azhary, sebutan untuk mereka para alumni al- Azhar yang menamatkan jenjang perjenjang di lembaga pendidikan andalan Mesir itu. Ia bahkan menyabet gelar al-alimiyyah (pelajar yang menamatkan pendidikan dalam usia muda sepanjang sejarah Al-Azhar).

Prestasi inilah yang membuatnya mendapat kehormatan untuk menimba ilmu di Universitas Sorbonne Paris, Prancis, kala itu ia memilih jurusan filsafat. Perang Dunia II meletus. Prancis merupakan salah satu negara yang terkena dampak langsung peperangan itu. Namun, kekacauan perang tak menyiutkan nyalinya.

Syekh Abdul Halim sukses meraih gelar doktor setelah berhasil mempertahankan disertasinya tentang al-Harits bin Asad al-Muhasibi, pemuka sufi pada masa Abad Pertengahan. Di bawah bimbingan seorang orientalis tersohor Prancis kala itu, Louis Massignon, gelar doktornya sukses didapat pada 1359 H/1940 M.

Menyusul suasana perang yang tak menentu, Syekh Abdul Halim memutuskan kembali ke Mesir. Ia didaulat menjadi staf pengajar di bidang ilmu jiwa di fakultas bahasa Arab di almamaternya. Pada 1371 H/1951 M tugasnya dipindahkan ke Fakultas Ushuluddin di universitas yang sama. Setelah itu, pada 1384 H/1964 M ulama yang pernah menjadi penasihat keagamaan Presiden Anwar Sadat ini diangkat menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin. Pada tahun yang sama ia juga menjadi anggota Lembaga Riset Islam (Majma'Al-Buhuts Al-Islamiyyah).

Puncak kariernya semakin menjulang. Ia mendapat kepercayaan sebagai menteri wakaf Mesir di era Presiden Anwar Sadat. Pada sejak 1393 H/1973 M dosen terbang di sejumlah perguruan tinggi Islam itu, terpilih sebagai imam agung Al-Azhar, menggantikan Muhammad Al-Fahham. Ia menduduki posisi bergengsi di Al-Azhar itu hingga ajal menjemput pada 1978 M. c62, ed: Nashih Nashrullah

Tasawuf Ruh Kemajuan

Pemikiran Syekh Abdul Halim di bidang tasa wuf memang brilian. Ia menghidupkan kembali tasawuf di tengah-tengah moderenitas. Tasawuf dipandang sebagai metode ilmiah yang akan memungkinkan memahami realitas.

Esensi tasawuf didefinisikan sebagai cakrawala (ma`rifah) dari domain metafisik dan metafisika adalah ilmu menjelaskan aspek Allah SWT yang tersembunyi dan menjelaskan nubuwatnya. "Tasawuf adalah jalan yang selamat, akomodatif, dan konstruktif bagi kehidupan dan kemajuan," tuturnya.

Ia menegaskan bahwa tasawuf berbeda dengan mysticism dalam tradisi Barat. Tasawuf bukanlah metode takhayul belaka, tetapi bidang ilmu. Makrifah merupakan ranah intelektual yang baik untuk ilmu fisik, kognisi (pikiran), atau berbagai jenis persepsi mental (bashirahdan lain-lain).

Di sinilah lantas Syekh Abdul Halim menjabarkan tasawuf Islam dalam tiga unsur, yaitu ilmu, jihad, dan ibadah. Ilmu pengetahuan tentang hukum Islam, ia menekankan betapa pentingnya jika hidup sesuai dengan syariat dan urgensi kesesuaian antara teori dan praktik. Sedangkan, unsur jihad merupakan upaya untuk menempatkan diri dalam realitas sosial dan untuk memecahkan masalah. Untuk unsur ketiga ' ubudiyah, ia mengartikan sebagai totalitas penghambaan kepada Allah. c62, ed: Nashih Nashrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement