Kamis 24 Nov 2016 14:00 WIB

TAMKINIA- Antara Core Bisnis dan Realita Pembiayaan berbasis Equity

Red:

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam skala mikro kepada anggota masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak se mata-mata mencari keuntungan. Ke giat an usaha LKM yang dilakukan se cara konvensional memberatkan pelaku usaha, karena tingkat bunga yang ditetapkan lebih besar dari pinjam an pokok yang diberikan sehingga pelaku usaha tidak bisa mengembangkan usaha dan pendapatannya. LKM berbasis syariah disinyalir bisa menjadi solusi bagi pelaku usaha dalam mengembangkan usaha ekonominya, sebab tidak bergantung pada tingkat bunga.

Salah satu LKM dengan kegiatan usaha secara syariah adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

Dalam menyalurkan dana yang dihimpun, BPRS mengkategorikan dua bentuk penyaluran dana yaitu debt financing dan equity financing. Debt financing adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli yang bisa berwujud skema murabahah, ijarah, salam, dan istishna. Sedangkan equity finan cing adalah penyaluran dana dalam bentuk bagi hasil yang berbentuk mu dharabah dan musyarakah. Dibanding kan dengan debt financing, equity financing merupakan bisnis utama dari lembaga keuangan syariah termasuk BPRS di dalamnya, dan yang lebih cocok untuk menggerakkan sektor rill karena dapat meningkatkan hubung an langsung serta pembagian risiko antara investor dengan pengusaha.

Dari data OJK tahun 2015 menggambrakan bahwa equity finan cing yang disalurkan BPRS di Indonesia masih jauh lebih rendah jika diban dingkan dengan debt financing. Jumlah equity financing pada tahun 2015 sebesar 820 832 juta rupiah atau sekitar 15 persen jika dibandingkan dengan jumlah debt financing yang mencapai jumlah 4 509 022 juta rupiah atau sekitar 85 persen. Meskipun demikian, secara umum dari tahun 2012 jumlah equity financing terus mengalami pe ningkatan hingga tahun 2015.

Masih rendahnya equity financing memberikan kesan di masyarakat bahwa pembiayaan melalui bank syariah sama saja dengan pembiayaan melalui bank konvensional. Di sisi lain, rendahnya equity financing disebabkan adanya risiko kerugian yang tinggi da lam kurun waktu pembiayaan, sehingga dapat menurunkan laba perusahaan karena equity financing tidak hanya bersifat berbagi keuntungan, tetapi juga berbagi rugi apabila kerugian itu bukan merupakan kesalahan/kelalaian pihak yang diberi pembiayaan. Masalah utama rendahnya equity financing juga disebabkan oleh masalah internal yang menyangkut pemahaman dan kualitas Sumber Daya Insani, serta masalah eksternal yang menyangkut regulasi yang kurang mendukung.

Beberapa pertimbangan solusi terhadap permasalahan rendahnya perkembangan equity financing ditinjau dari jumlah yang disalurkan oleh BPRS adalah dengan memperhatikan beberapa variabel yang dimungkinkan berpengaruh, antara lain; pertama, tingkat bagi hasil, adalah tingkat persentase keuntungan yang akan dibagi oleh kedua be lah pihak (shahibul maal dan mu dharib) yang menjalankan perjanjian pembiayaan bagi hasil yang telah disepakati bersama di awal akad. Tingkat bagi hasil merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan besarnya volume pembiayaan berbasis bagi hasil (equity financing) yang disalurkan.

Faktor bagi hasil ini merupakan faktor penting karena equity financing bersifat Natural Uncertainty Contract (NUC) yang cenderung memiliki risiko yang tinggi dibandingkan dengan jenis pembiayaan lainnya. Oleh karena itu, bank akan cenderung banyak menyalurkan equity financing jika tingkat bagi hasilnya tinggi dalam arti tidak lebih kecil dari risiko yang mungkin terjadi. Kedua, Dana Pihak Ketiga (DPK), merupakan dana yang dipercayakan masyarakat (diluar bank) kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana. Secara operasional perbankan, DPK merupakan sumber likuiditas untuk memperlancar pembiayaan yang terdapat pada sisi aktiva neraca bank.

Sehingga semakin besar DPK yang dihimpun, maka akan semakin besar jumlah pembiayaan yang disalurkan, termasuk equity financing. Ketiga, Capital Adequacy Ratio (CAR), adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang memiliki risiko, misalnya pembiayaan yang diberikan. Cara untuk mengetahui apakah suatu bank telah memenuhi ketentuan CAR (kecukupan modal) atau belum adalah dengan membandingkan hasil perhitungan rasio modal dan kewajiban penyediaan modal minimum sama dengan 100 persen atau lebih. Penyediaan modal yang cukup sangat penting untuk mengimbangi ketergantungan bank dari dana pihak ketiga serta mengantisipasi potensi kerugian yang diakibatkan oleh penyaluran pembiayaan, sehingga semakin besar CAR maka semakin besar dana yang disalurkan melalui pembiayaan.

Keempat,Financing Deposit Ratio (FDR), adalah rasio yang menggambar kan tingkat kemampuan bank sya riah dalam mengembalikan dana pihak ketiga melalui keuntungan yang diperoleh dari pembiayaan. Semakin tinggi rasio FDR suatu bank, berarti bank ter sebut berada pada posisi yang kurang likuid, sebab seluruh dana yang berhasil dihimpun telah disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Kelima, Inflasi yang tinggi dapat menimbulkan ketidakstabilan pada perekonomian negara, sehingga inflasi selalu menjadi target dalam kebijakan pemerintah. Kenaikan inflasi menyebabkan masyarakat enggan untuk menabung dan memilih menarik uangnya di bank. Hal ini berdampak pada semakin berkurangnya jumlah pembiayaan yang disalurkan akibat jumlah dana yang dihimpun berkurang.

Keenam, BI Rate, meskipun bank syariah tidak menggunakan sistem bunga, namun kenyataannya bank sya riah masih mengacu pada BI rate yang ditetapkan untuk bank konvensional pada saat memberikan pembiayaan. Hal ini akan berpengaruh positif terhadap perbankan syariah, karena tingkat pengembalian bank syariah lebih kecil dari suku bunga bank konvensional.

Prinsip yang harus dikembangkan bank syariah adalah harus mampu menarik bagi hasil pembiayaan dari debitur yang lebih rendah daripada bunga yang diberlakukan di bank konvensional. Bankir Syariah yang profesional tentunya peka dan faham akan beberapa hal penting yang perlu diantisipasi, terutama dalam me-mitigasi resiko terhadap berbagai kemungkinan penyebab default dari dana yang disalurkan. Equity financing adalah core bisnis dari lembaga keuangan syariah, namun ketika dihadapkan pada permasalahan tingginya NPF, maka bankir syariah juga akan berpikir realistis dan solutif untuk tetap mempertahankan performance bisnis yang bagus. Wallahu a'lam bi al shawab.

Dr. Jaenal Effendi

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement