Kamis 22 Sep 2016 11:00 WIB

Pembiayaan Tiga Sektor Ekonomi yang Menurunkan NPF Bank Syariah

Red:

Menurut Alamsyah (2012), Indonesia memiliki potensi untuk menjadi glo bal player keuang an syariah. Potensi yang pertama adalah jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah. Potensi yang kedua adalah prospek ekonomi yang cerah dari pertumbuhan ekonomi yang terus tumbuh yang dito pang oleh fundamental ekonomi yang solid. Potensi yang ketiga adalah pening katan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk ber investasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah. Potensi yang terakhir adalah sumberdaya alam Indonesia yang ber limpah yang dapat dijadikan underlying tran saksi industri keuangan syariah.

Keunggulan pengembangan bank syariah di Indonesia menurut Alamsyah (2012) adalah pengembangan yang lebih bersifat market driven dan dorongan bottom up dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga lebih bergerak di sektor riil. Hal ini berbeda dengan per kembangan bank syariah di Iran, Ma laysia, dan Arab Saudi yang lebih ber ge rak di sektor keuangan. Hal ini me nun jukkan bahwa bank syariah mendukung pertumbuhan sektor riil di Indonesia.

Dukungan perbankan syariah terhadap sektor riil dibuktikan oleh pening katan pembiayaan yang disalurkan. selama tahun 2009 – 2015, pembiayaan yang disalurkan oleh Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) terus meningkat. Pada tahun 2015, total pembiayaan yang disalurkan mencapai 213.00 triliun rupiah atau kenaikan sebesar 454.3 persen dari total pembiayaan tahun 2009 sebesar 46.89 triliun rupiah. Pembiayaan tersebut disa lurkan ke sepuluh sektor ekonomi.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, sektor riil di Indonesia sejak tahun 2010 berada dalam tren perlambatan pertumbuhan ekonomi. Gambar 4 me nun jukkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2010 sebesar 6.81 persen, kemudian melambat pada tahun 2011 dengan pertumbuhan PDB sebesar 6.44 persen. Per lambatan pertumbuhan PDB ini terus terjadi hingga tahun 2014 pertumbuhan PDB sebesar 5.03 persen. Hal ini dapat menjadi pertimbangan perbankan sya riah dalam menyalurkan pembiayaan karena perlambatan pertumbuhan sek tor riil dapat berdampak terhadap risiko pembiayaan perbankan syariah.

Pada tahun 2010 hingga 2015, ting kat pembiayaan bermasalah atau nonperforming financing (NPF) pada BUS dan UUS berada dalam tren yang me ningkat. Gambar 5 menunjukkan bahwa pada tahun 2010, NPF BUS dan UUS sebesar 3.02 persen. NPF BUS dan UUS menurun hingga tahun 2012 menjadi sebesar 2.22 persen. Pada tahun 2013, NPF BUS dan UUS kembali meningkat men jadi 2.62 persen dan terus mening kat pada tahun 2014 dan 2015. Pada ta hun 2015, NPF BUS dan UUS adalah se besar 4.84 persen. Kenaikan NPF di tengah perlambatan pertumbuhan sek tor riil dapat menjadi pertimbangan perbankan dalam menyalurkan pem biayaan.

Metode dan hasil penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meng analisis pengaruh penyaluran pembiayaan sektor riil terhadap NPF BUS dan UUS. Metode yang digunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM). Data yang digunakan adalah data time series bulanan mulai bulan Januari 2011 sampai Desember 2015, yang diperoleh dari Statistik Perbankan Syariah (SPS) Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Hasil estimasi VECM pada jangka pan jang menunjukkan bahwa dari se puluh sektor ekonomi, terdapat tiga sek tor pembiayaan yang memiliki peng aruh signifikan dan negatif terhadap NPF BUS dan UUS. Sektor tersebut adalah perdagangan, restoran, dan hotel; jasa dunia usaha; dan sektor lain-lain. Hal ini ber arti pada jangka panjang, peningkatan penyaluran pembiayaan ke tiga sektor tersebut akan menurunkan NPF BUS dan UUS.

Hubungan negatif antara pem biayaan sektor perdagangan, restoran, dan hotel diduga dikarenakan sektor ini terdiri dari lapangan usaha perdagangan dan penyedia akomodasi. BUS dan UUS meng unakan kontrak jual beli murabahah sebagai kontrak dalam menyalurkan pem biayaan yang berkaitan dengan pe nyediaan barang dan jasa. Menurut pe ne litian yang dilakukan oleh Abu sharbeh (2014), pembiayaan dengan kontrak jual beli murabahah memiliki hubungan ne gatif dengan NPF perbankan Indonesia.

Hubungan negatif antara pembiayaan sektor jasa dunia usaha terhadap NPF BUS dan UUS diduga karena sektor jasa dunia usaha terdiri dari komponen lapangan usaha perantara keuangan, real estate, usaha persewaan, dan jasa perusahaan dan rumah tangga kepemi lik an rumah tinggal, apartemen dan ru ko/rukan. Pembiayaan yang disalurkan pada komponen usaha ini seperti pembiayaan kepemilikan rumah tinggal menggunakan murabahah atau jual beli sebagai kontraknya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abusharbeh (2014), kontrak murabahah memiliki korelasi negatif terhadap NPF perbankan syariah di Indonesia sehingga dapat diduga bah wa sebagian besar penyaluran pem biayaan terhadap sektor jasa usaha meng gunakan kontrak murabahah.

Hubungan penyaluran pembiayaan di sektor lain-lain terhadap NPF BUS dan UUS diduga karena jenis akad yang digunakan untuk sektor ini tergolong debt financing. Akad yang tergolong debt financing adalah akad murabahah di mana berdasarkan penelitian Abu shar beh (2014), hubungan akad ini de ngan NPF bank syariah adalah signifikan negatif. Penyaluran yang termasuk di sek tor ini adalah penyaluran pem biayaan kendaraan bermotor, peng adaan ba rang rumah tangga, bukan la pangan usaha lainnya, dan kegiatan yang belum jelas batasannya. Penya luran dengan penggunaan tersebut sulit menggunakan akad yang tergolong equity financing.

Analisis respon NPF BUS dan UUS terhadap guncangan pembiayaan tiap sektor ekonomi menunjukkan bahwa ra ta-rata NPF stabil 7.5 bulan setelah ter jadi guncangan penyaluran pembiayaan. NPF BUS dan UUS stabil enam bulan setelah terjadi guncangan pada pem biayaan sektor perdagangan, res toran, dan hotel. Sedangkan NPF stabil em pat belas bulan setelah terjadi guncangan pada pembiayaan jasa dunia usaha. Yang terakhir, NPF stabil tiga belas bulan setelah terjadi guncangan pada pem biayaan sektor lain-lain. Hal ini menunjukkan hanya guncangan pembiayaan sektor perdagangan, restoran, dan hotel yang direspon stabil dibawah satu tahun. Sektor jasa dunia usaha dan lain-lain direspon stabil diatas satu tahun.

Rekomendasi kebijakan

Pertama, disarankan kepada BUS dan UUS untuk meningkatkan pembiayaan pada sektor perdagangan, res toran, dan hotel; jasa dunia usaha; dan sektor lain-lain. Pada jangka panjang, peningkatan penyaluran pembiayaan di sek tor ini akan menurunkan NPF. Pe ning katan penyaluran pembiayaan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian. Hal ini karena jika pembiayaan sektor jasa dunia usaha dan sektor lain-lain terguncang, NPF baru akan stabil lebih dari satu tahun.

Kedua, untuk mengatasi fluktuasi NPF sampai mencapai kestabilan setelah terjadi guncangan pembiayaan, disaran kan kepada BUS dan UUS untuk membentuk dana cadangan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP). PPAP yang harus dibentuk minimal mampu mengatasi fluktuasi rata-rata NPF se lama 7.5 bulan. Dana PPAP yang pa ling baik adalah dana yang mampu meng atasi fluktuasi NPF selama empat belas bulan, sehingga dapat mengakomodir NPF jika terjadi guncangan pada pembiayaan jasa dunia usaha.

Ketiga, disarankan bagi regulator un tuk menyempurnakan peraturan BI no mor 5 tahun 2003 tentang PPAP bank sya riah. Peraturan tersebut sudah men ca kup bagaimana dana cadangan terbentuk, namun belum mengatur besaran dana yang dibutuhkan. Wallahu a'lam.

Hasan Azzahid

Mahasiswa S1 Ekonomi Syariah FEM IPB

Prof Dr Rina Oktaviani

Guru Besar FEM dan Direktur ITAPS (International Trade Analysis and Policy Studies) FEM IPB

Ranti Wiliasih

Staf Pengajar Program Studi Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement