Ahad 15 Jan 2017 16:00 WIB

Trump Pertimbangkan Sanksi ke Rusia

Red:

NEW YORK -- Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump tengah mempertimbangkan sanksi dari negaranya terhadap Rusia. Ia menilai hal itu tidak perlu diberikan apabila kedua negara dapat menjalin hubungan baik.

"Jika Anda berinteraksi dengan orang yang baik dan benar-benar menolong, untuk apa kita memberikan sanksi kepada mereka?" ujar Trump dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal, Jumat (13/1).

Salah satu sanksi yang tengah dipertimbangkan untuk Rusia adalah terkait dugaan negara itu melakukan serangan peretasan pada Pemilu AS 2016 lalu. Peretasan itu juga termasuk terhadap sejumlah surat elektronik dari Partai Demokrat.

Pemerintah AS yang dipimpin Barack Obama menanggapi dugaan serangan siber itu dengan memberikan sanksi bilateral. Namun, Trump mengatakan hal itu harus dikaji, mulai dari alasan dan tujuan sebenarnya dari Rusia.

"Mungkin Moskow dapat membuktikan peretasan itu dilakukan justru untuk memerangi teroris dan mencapai tujuan-tujuan lain yang penting bagi Washington," jelas Trump.

Miliarder itu juga mengatakan berencana bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Kemungkinan, pertemuan berlangsung setelah Trump resmi dilantik sebagai presiden AS ke-45 pada 20 Januari mendatang. Meski demikian, Trump mengatakan, untuk saat ini ia masih tetap secara utuh menyepakati sanksi untuk Rusia. Tetapi, ia menekankan hal itu hanya untuk jangka waktu tertentu.

Di sisi lain, kekhawatiran warga AS terkait Rusia makin meningkat jika dibandingkan sebelum Pemilu Presiden (Pilpres) 2016 lalu. Sebuah survei yang dirilis pada Jumat (13/1) menunjukkan, 82 persen warga AS melihat Rusia sebagai ancaman negara.

Sebelumnya, persentasenya mencapai 76 persen pada Maret 2016. Responden pada survei adalah 84 persen dari Partai Demokrat dan 82 persen Partai Republik. Kekhawatiran itu meningkat setelah kasus peretasan yang diduga melibatkan Rusia.

Meski demikian, banyak orang, termasuk dari Partai Republik, yang menilai Rusia tetap menjadi ancaman terbesar AS. Bahkan, Trump disebut dapat dengan mudah dipengaruhi oleh Putin di masa pemerintahannya.

"Trump tidak memiliki pengalaman berhubungan dengan negara-negara lain, dan saya rasa ia akan mudah dipengaruhi Putin," ujar seorang anggota Partai Republik, Oneita Wilkins.

Pencabutan kebijakan AS

Sementara itu, Kongres AS bersiap mencabut kebijakan asuransi kesehatan gagasan Presiden Barack Obama, Jumat. Kebijakan yang dikenal dengan nama 'Obamacare' itu dinilai belum sempurna dan membutuhkan banyak perbaikan.

"Dengan mengambil langkah pertama untuk mencabut Obamacare, kami lebih dapat membantu seluruh warga AS," ujar ketua Kongres AS Paul Ryan dalam sebuah pernyataan, dilansir BBC, Sabtu (14/1).

Selama ini, tak sedikit warga AS yang mengeluhkan Obamacare yang birokrasinya dinilai sulit. Trump juga sebelumnya mengatakan hendak mencabut undang-undang jaminan kesehatan ini, namun tak menekankan untuk menggantinya.

Ryan juga menjelaskan, Kongres AS akan melakukan pendekatan untuk mengganti kebijakan yang lebih baik dan sesuai yang dibutuhkan warga AS. "Kami akan melakukan pendekatan langkah demi langkah untuk memperbaiki masalah ini dan menempatkan seluruh warga Amerika untuk mendapat jaminan kesehatan mereka," jelas Ryan.

Dalam kebijakan internasional, AS juga menetapkan langkah mengakhiri embargo ekonomi di Sudan. Embargo tersebut berupa sanksi perdagangan dan keuangan yang dicabut setelah diterapkan selama 20 tahun, untuk meningkatkan keamanan regional.

Peningkatan hubungan kerja sama dua negara juga dibicarakan, termasuk upaya mengakhiri konflik di Darfur. "Sudan telah lama ingin keluar dari sanksi ekonomi yang diberikan AS. Kami juga berupaya agar Sudan dapat mengatasi sesuai dengan yang disyaratkan," ujar seorang pejabat senior pemerintahan AS, dilansir Aljazeera, Sabtu (14/1).

Meski demikian, sikap Trump soal ini belum jelas. Pengumuman mencabut sanksi ini menjadi salah satu keputusan yang dibuat Presiden Barack Obama menjelang akhir jabatannya.

Sudan menyambut baik keputusan ini. "Langkah ini menjadi perkembangan positif jalannya hubungan bilateral antara AS dan Sudan. Ini sekaligus dapat dihasilkan melalui pembicaraan yang panjang," jelas juru bicara Kementerian Luar Negeri Sudan, Gharib Allah Khidir.

Untuk Cina, Trump mengatakan, mungkin tidak akan berkomitmen dengan perjanjian bilateral antara AS dan negara itu, kecuali tercapainya kerja sama ekonomi khususnya perdagangan dan mata uang.

Perjanjian bilateral yang harus diakui AS adalah mengenai Kebijakan Satu Cina. Dalam ketentuan itu, AS mengakui kedaulatan satu negara republik rakyat, termasuk Taiwan.

Pada 1979 lalu, AS menandatangani kesepakatan tersebut dan memulai hubungan diplomatik. "Semua dalam proses untuk negosiasi Kebijakan Satu Cina," sambung Trump.      rep: Puti Almas/reuters, ed: Dewi Mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement