Kamis 04 Jun 2015 13:00 WIB

Riak Konflik di Laut Cina Selatan (3): Petualangan Baru Hegemoni Lama

Red:

Ketegangan di Laut Cina Selatan kian meningkat belakangan. Pemerintah Republik Rakyat Cina terus melakukan reklamasi di pulau dan wilayah karang yang disengketakan, sementara Amerika Serikat meningkatkan kegiatan militer di sekitarnya. Apa yang membuat Laut Cina Selatan sedemikian krusial? Wartawan Republika, Fitriyan Zamzami, menyambangi Kepulauan Hawaii di AS, Beijing dan Hainan di RRC, Masinloc dan Manila di Filipina, serta Singapura untuk mengupas kawasan itu. Berikut tulisan berserinya.

USS Chafee bukan kapal sembarang kapal. Dengan panjang 155 meter dan lebar terjauh 20 meter, kapal tempur jenis destroyer (DGG) milik US Navy itu dilengkapi dengan aneka rudal jarak pendek, jauh, dan menengah serta peralatan navigasi terkini.

Dari kapal yang berkecepatan 30 knot itu juga bisa dioperasikan pesawat tanpa awak AS yang terkenal mumpuni kemampuan membunuhnya. "Ini Ferrarri-nya kapal tempur," kata Letnan Chris Vanhuiss, training officer di USS Chafee saat ditemui Republika awal Mei lalu.

Sebanyak tujuh DGG saat ini tengah bersandar di pangkalan militer AS di Hawaii. Sedangkan, 20 lainnya disebar di seantero pangkalan militer AS dan pelabuhan militer negara-negara sekutu AS di Pasifik. Baru Agustus tahun lalu, USS Chafee melintasi Laut Cina Selatan.

Sementara di Singapura, akhir Mei lalu tengah bersandar juga kapal tempur USS Fort Worth (LCS 3). Merentang sepanjang 118 meter dengan lebar terjauh 17 meter, kapal itu dilengkapi meriam 57 milimeter dan 30 milimeter berteknologi terkini dan bisa melaju hingga 45 knot.

Seperti USS Chafee, USS Fort Worth juga punya cukup ruang mengangkut helikopter jenis MH-60R. Kapal itu baru saja pulang dari patroli sepekan penuh di Kepulauan Spratly, Laut Cina Selatan, pada 13 Mei lalu.

Dua kapal tersebut adalah gambaran kecil dari pergeseran armada militer Amerika Serikat ke wilayah Indo-Asia Pasifik setelah sekian lama sibuk di Timur Tengah. "Saya tak bisa menyangkal bahwa memang ada pergeseran," kata Laksamana Muda Mark C Montgomery, wakil komandan US Pacific Command (Pacom), kepada Republika dan wartawan asing peserta program Jefferson Fellowship 2015 yang diadakan lembaga AS East-West Center, di Honolulu, Hawaii.

Di Korea Selatan, menurut Montgomery, AS telah menyiagakan sampai 30 ribu pasukan di bawah seorang jenderal bintang empat. Kebijakan rotasi kapal tempur dan penempatan 12 ribu pasukan di Darwin, Australia, juga dimulai tahun ini. Program rotasi kapal tempur serupa diterapkan di Singapura di mana lima kapal tempur akan segera diterjunkan. Kebijakan-kebijakan itu nantinya diharapkan menambah sekitar 25 persen kekuatan militer AS di Pasifik.

AS juga tengah meremajakan kapal-kapal tempur yang ditempatkan di negara-negara sekutu mereka di Asia Pasifik, sementara jumlah kapal selam akan ditambah di pangkalan militer AS di Guam, wilayah AS di Pasifik Barat. Kapal induk baru, USS Ronald Reagan, akan dioperasikan di Pasifik musim panas tahun ini. Di Jepang, Angkatan Laut AS meningkatkan jumlah kapal destroyer dan cruiser, serta memperbarui sistem pertahanan misil balistik dan pertahanan udara.

Di Filipina, kapal-kapal tempur AS mulai disandarkan lagi. Beberapa bulan lalu, Mabes TNI dan Kedubes AS juga menyepakati penggunaan Landasan Ranai di Kepulauan Natuna sebagai pos pengisian bahan bakar untuk armada tempur AS yang berlatih di wilayah sekitarnya.

Penambahan kekuatan militer tersebut belum termasuk yang tak diumumkan secara resmi. Di perairan Scarborough Shoal yang disengketakan Filipina dan Cina di Laut Cina Selatan, misalnya, nelayan melaporkan penampakan dua kapal selam AS yang mengitari kawasan tersebut sejak Januari lalu. Laporan itu tak mendapat bantahan saat coba dikonfirmasi Republika ke otoritas pelabuhan dan pejabat Kedubes AS di Filipina.

Apa yang menjadi alasan pemindahan masif kekuatan militer tersebut? Loren Johnson, analis senior Joint Intelegent Center Pacific Command, mengatakan, AS melihat wilayah Pasifik sebagai tantangan militer terbesar mereka saat ini. Sebabnya, separuh dari kekuatan nuklir dunia ada di wilayah tersebut.

AS juga menilai potensi konflik antarnegara di regional Pasifik tergolong tinggi. Selain itu, ada dua negara yang juga secara khusus disoroti AS di Pasifik, di antaranya Korea Utara dan tentunya Cina.

Bagi AS, meningkatnya kemampuan dan jangkauan militer Cina belakangan mengkhawatirkan karena AS tak sedemikian paham soal niatan Cina dan bagaimana mereka akan menggunakan kekuatan militer itu di regional. "Kami mengkhawatirkan niatan jangka panjang Cina," kata Loren Johnson.

AS juga melihat bahwa penambahan militer Cina sebagai ancaman bagi AS dan sekutunya. Mulai dari rudal dengan jangkauan jauh, kapal selam nuklir, angkatan laut, dan kemampuan antiserangan udara.

Laksamana Muda Montgomery mengiyakan, fokus AS di Laut Cina Selatan meningkat sejak dua tahun belakangan. Ia menyebut aksi Cina melakukan reklamasi di Kepulauan Spratly juga Scarborough Shoal menjadi salah satu sebabnya.

Reklamasi, menurutnya, akan meningkatkan keberadaan militer Cina di Laut Cina Selatan dan kemampuan melakukan pengintaian (surveilance). Selain itu, dengan reklamasi, Cina bisa menolak memberikan akses kepada militer negara tertentu untuk melintas di Laut Cina Selatan.

Ia menolak memerinci rencana militer AS terkait kian agresifnya Cina. Namun, Montgomery menegaskan, ada "perencanaan signifikan" dari militer AS guna melawan tindakan Cina.

Sejauh ini, Cina dan AS berbeda tafsir soal kebebasan navigasi militer di zona laut negara tertentu yang diatur dalam Konvensi Hukum Zona Laut PBB (UNCLOS). Kendati AS belum menandatangani konvensi itu, mereka bersikeras bahwa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang merentang sejauh 200 mil laut dari batas luar daratan negara maritim boleh dilewati militer negara lain. Sementara Cina, yang juga mengabaikan UNCLOS dalam klaimnya di Laut Cina Selatan bersikeras bahwa navigasi militer melalui laut maupun udara di zona tersebut harus seizin negara empunya wilayah.

Kerry Lynn Nankivell, guru besar College of Security Studies di Honolulu, Hawaii, sepakat bahwa ancaman dibatasinya kebebasan navigasi militer AS di Laut Cina Selatan bisa jadi alasan meningkatnya kegiatan militer AS. Menurutnya, AS akan berupaya mati-matian melawan pembatasan navigasi militer oleh Cina. "AS akan terus menerbangkan pesawat dan menempatkan kapal untuk bilang 'kami bisa ke mana saja yang kami mau'," kata Nankivell.

Akan tetapi, menurut pengamat keamanan Asia-Pasifik dari East-West Center, Denny Roy, lain lagi kesan yang ditangkap Beijing. "Cina melihat rebalancing sebagai strategi mengatasi kian melemahnya pengaruh AS," ujarnya. Pada akhirnya, kehadiran AS di Laut Cina Selatan, menurut dia, menunjukkan ada pertarungan dua hegemoni. Salah satunya mencoba menegaskan perannya sebagai kekuatan regional, lainnya merasa terancam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement