Selasa 17 Jan 2017 14:00 WIB

Hukuman Berat tak Cukup

Red:

JAKARTA -- Berbagai kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak masih terus terjadi kendati pemerintah telah memberlakukan pemberatan hukuman bagi pelaku. Pihak kepolisian menekankan, sekadar memberatkan hukuman memang tak cukup menekan angka kasus yang terus meningkat.

Karopenmas Polri Brigjen Rikwanto mencontohkan, tidak semua orang peduli dengan ancaman hukuman yang diberlakukan. Terlebih ketika korban sudah di depan. "Belum tentu juga yang melakukan itu tahu ada orang yang dihukum, yang dia tahu yang (korban) di hadapan dia. Makanya pertama lingkungan yang harus dibenahi," katanya.

Rikwanto mengiyakan, memang sudah menjadi tugas kepolisian dalam menyelesaikan perkara-perkara kekerasan seksual tersebut. Akan tetapi, dalam upaya pencegahan hal tersebut harus dilakukan bersama-sama.

Terutama, dalam mengendalikan hal-hal negatif yang dengan cepat tumbuh di lingkungan sosial seperti pornografi. "Masyarakat  setempat kalau di situ dikembangkan hal-hal berbau pornografi, hal-hal kebebasan yang tidak terbatas, nanti akibatnya bisa ke mana-mana termasuk pelecehan seksual pada anak kecil," kata dia.

Sebelumnya, DPR telah mengesahkan UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Regulasi itu menguatkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) soal pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, yang diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Mei 2016.

Di dalam aturan baru tersebut, hukuman maksimal bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak ditingkatkan menjadi hukuman seumur hidup. Selain itu, para pelaku juga diancam dengan hukuman kebiri kimiawi, pemasangan alat pelacak, dan pengumuman identitas ke khalayak ramai.

Sejak regulasi tersebut diberlakukan, kekerasan seksual terhadap anak masih terus terjadi. Yang mengemuka adalah pemerkosaan disertai pembunuhan terhadap anak perempuan berusia 10 tahun di Sorong, Papua Barat, pada akhir Desember lalu. "Mereka adalah tetangganya. Mereka habis pesta miras lalu memerkosa anak itu," kata Kapolda Papua Barat Brigjen Martuani Sormin kepada Republika.

Selain di Sorong, delapan pria juga memerkosa dua gadis remaja dan satu pemudi di Banyuasin, Palembang, awal bulan ini. Kapolres Banyuasin AKBP Andri Sudarmadi mengatakan, korban terlebih dahulu dicekoki minuman keras lalu diperkosa secara bergilir.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise sebelumnya mengiyakan, masih maraknya kekerasan seksual terhadap anak-anak. Ia mengatakan, terkait hal itu pemerintah akan mengambil langkah menggencarkan sosialisasi UU Perlindungan Anak beserta ancaman pemberatan hukuman di dalamnya.

Menteri PPPA juga mengatakan, para pelaku di Sorong dapat dikenai hukuman mati atau seumur hidup.  Yohana menegaskan, para pelaku yang sudah berusia dewasa berpeluang mendapat pemberatan hukuman. "Pelaku yang berusia dewasa bisa kena hukuman kebiri, seumur hidup, atau hukuman mati," katanya.

Sementara itu, jika masih berusia di bawah 17 tahun, pelaku tidak akan dikenai pemberatan hukuman. Hukuman bagi mereka dipastikan hanya maksimal 10 tahun penjara.

Di lain pihak, Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Bambang Widodo Umar menilai, ringan atau beratnya hukuman juga bukan satu-satunya faktor penentu angka kekerasan seksual. Akan tetapi, pembinaan, pendidikan, dan pengawasan justru memiliki peran yang lebih penting. "Tidak, hukuman itu bukan penentu. Itu salah satu faktor saja. Jadi kenapa anak SMP memerkosa itu bukan karena satu sebab," kata Bambang ketika dihubungi Republika, kemarin.

Dalam penilaiannya, masalah utama kasus ini bisa jadi sukarnya mengimbangi pengaruh teknologi yang semakin canggih dan memudahkan akses terhadap materi-materi, yang mengandung unsur pornografi. "Pengaruh TI (teknologi informasi) sangat luas dan kuat, yang memunculkan gambaran seksualitas dan kekerasan yang masif," kata dia.       rep: Mabruroh, Dian Erika Nugraheny, ed: Fitriyan Zamzami

***

KEKERASAN SEKSUAL ANAK DI KOTA BESAR

JAKARTA: 239 kasus

JAWA BARAT: 55 kasus

JAWA TIMUR: 231 kasus

SUMATRA UTARA: 75 kasus

SULAWESI SELATAN: 248 kasus

sumber: data polda/pemprov setempat sepanjang 2016

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement