Sabtu 20 Feb 2016 14:49 WIB

Menjaga Hutan dengan Diskon Pengobatan (5) Dardi dan Hal-Hal yang Menguatkan Hati

Red: operator

Maraknya pembalakan liar membuat 3.038 hektare di Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) Kalimantan Barat harus direhabilitasi pada kurun 2010-2014. Kondisi ekonomi yang buruk mendorong warga di sekitar TNGP mengandalkan hutan sebagai sumber penghasilan.

Untuk bisa membayar biaya rumah sakit, kayu hutan menjadi sumber dana. Maka, memadukan konservasi lingkungan dengan insentif pelayanan kesehatan membuat pembalakan liar berkurang drastis di TNGP. Wartawan Republika, Priyantono Oemar, menurunkan hasil liputannya dalam enam tulisan. 

Hamisah meninggalkan rumah Sanusi (67) sekitar pukul 16.00 dengan perasaan geram. Sore itu, ingin rasanya ia langsung ke Klinik Asri untuk curhat. Namun, karena persoalan jarak, niat itu ia urungkan. Jarak klinik dari rumahnya mencapai 20 km.

Dalam perjalanan ke rumah, ia memutar otak mencari cara membujuk Sanusi. Aha! Ia teringat hal yang pernah dilontarkan Sanusi kepadanya dalam perbincangan santai. Setiba di rumah, Hamisah pun memburu itik miliknya. "Itik di rumah kami tidak dikandangi, jadi perlu mengejar buat menangkapnya," ujar warga Dusun Sidorejo, Desa Sedahan Jaya, itu.

Dua itik dapat, ia kembali ke rumah Sanusi. Melihat Hamisah berdiri di depan pintu membawa sepasang itik, Sanusi langsung mempersilakan Hamisah masuk.

Ia lupa peristiwa satu jam sebelumnya ketika ia membanting pintu mengusir Hamisah.

Sanusi baru memasuki minggu keenam jadwal meminum obat TBC, tetapi ia sudah bosan lantaran belum ada perubahan. Ia tak mau lagi minum obat lantas mengusir Hamisah yang menjadi pengawas minum obat (PMO).

Mendapat itik dari Hamisah, ia segera minum obat.

Menurut Hamisah, Sanusi pernah curhatingin memelihara itik. "Dia senang mendapat itik dari saya, makanya mau minum obat lagi," kata Hamisah.

Maka, Sanusi pun sembuh dari TBC dan itiknya berkembang menjadi 67 ekor. "Beliau sekarang sudah meninggal, tapi bukan karena TBC," ujar Hamisah, Rabu (27/1).

Hamisah tercatat sebagai PMO bagi pasien TBC sejak 2008. Ia terdorong berbuat sesuatu agar tak ada lagi warga meninggal akibat TBC. "Orang dari luar daerah saja mau berbuat sesuatu untuk warga di sini, masa saya diam saja?" ujar Hamisah.

Ketika ia mendengar Klinik Asri membuka lowongan PMO pada 2008, kader Posyandu Dusun Sidorejo itu mendaftarkan diri. "Delapan penderita TBC di dusun saya kemudian sembuh semua," ujar Hamisah menceritakan keberhasilannya sebagai PMO.

Ia bertemu beragam karakter pasien yang memerlukan cara pendekatan khusus. Ada pasien yang kondisi ekonominya sangat minim. Untuk membeli kebutuhan makan sehari-hari saja susah, apalagi membeli obat. "Sebagian rezeki dari honor PMO saya berikan kepada dia," ujar Hamisah.

Dari Rp 200 ribu honor sebagai PMO, Rp 100 ribunya ia berikan kepada pasien yang memiliki enam anak itu untuk membeli obat. Saat itu, obat TBC masih harus dibeli. Ia harus membelikan beras setiap bulannya. Hamisah hanya mendapat bagian Rp 50 ribu.

Kinari Webb, pendiri dan pembina Yayasan Asri pun memuji Hamisah. Rata-rata di dunia, angka dropoutminum obat pasien TBC di bawah 20 persen dinilai bagus. Untuk 2015, pasien Asri yang dropouthanya 0,83 persen. Pada 2014 bahkan tak ada yang dropout. "Diban dingkan dengan rata-rata di du nia, ini luar biasa bagus," kata Kinari.

Karena keberhasilannya, pada 2010 Hamisah yang hanya lulusan SMP itu ditawari menjadi koordinator PMO. Perasaan minder membuatnya menolak tawaran itu. Pada 2013, tawaran kembali diajukan kepadanya. Hamisah yang sudah lulus SMA lewat ujian kejar paket pun akhirnya menerima.

Kini ia mengoordinasikan 11 PMO yang pada 2015 melayani 112 pasien TBC, 45 pasien puskesmas, dan 67 pasien Klinik Asri. Ketika ada pemilihan kepala dusun di desanya, Hami sah didaulat untuk maju. Dari 325 kepala keluarga yang harus memilih, 310 memilihnya.

Menjadi PMO, bagi Hamisah, merupakan keterlibatannya dalam usaha ikut memperbaiki kualitas hidup masyarakat di sekitar TNGP. Rendahnya tingkat kesejahteraan membuat warga memilih cara mudah, yaitu menebang pohon di hutan untuk mendapat uang.

Tujuan Hamisah ini sejalan dengan Yayasan Asri. Bagi Hotlin dan Kinari, keduanya pendiri sekaligus pembina Yayasan Asri, keberhasilan Hamisah menjadi energi positif untuk terus melanjutkan program demi kelestarian hutan. Hotlin dan Kinari sama- sama pernah menjadi relawan pascatsunami di Aceh.

Hotlin memperlihatkan foto rumah Dardi di Dusun Rantau Panjang 2, Desa Harapan Mulya, Kecamatan Sukadana. Dardi merupakan pasien rawat inap pertama Klinik Asri. "Keberhasilan menyembuhkan Dardi yang membuat saya bisa kuat bertahan di sini," ujar perempuan asal Sumatra Utara itu.

Dardi berusia 14 tahun pada 2007. Sudah tujuh tahun ia menghindari cahaya dan suara ramai. Ia berlindung di kamar 1 x 1 meter yang gelap gulita selama 24 jam. TB meningeal telah membuatnya harus sembunyi dari cahaya dan keramaian.

Dua bulan setelah pertemuan pertama Hotlin dan Dardi, Klinik Asri berdiri dan memulai perawatan. Dardi pun dijemput pada malam hari dan menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari rumahnya yang berjarak sekitar 20 km dari klinik. Itu pun masih harus memakai kacamata hitam untuk menghalangi cahaya kendaraan dari arah depan selama perjalanan.

Keputusan mengobati Dardi adalah pilihan berisiko. Risiko pengobatan TBC pada pasien TB meningeal bisa membuat otak membengkak yang berujung pada kematian. Risiko itu kian besar jika pengobatannya melalui rawat jalan. Maka, Dardi dirawat di klinik. "Kami mengambil risiko itu," ujar Hotlin.

Di klinik, Dardi diberi steroid lewat infus. Steroid untuk mencegah pembengkakan otak akibat obat TBC yang diberikan. Semalaman, Hotlin tak bisa tidur memikirkan berbagai kemungkinan yang bakal menimpa Dardi.

Pagi-pagi, Hotlin bergegas ke klinik. Ia menyaksikan Dardi bisa berjalan ke WC. Ini kali pertama bagi Dardi berani berjalan. Tikar hasil karya ibu Dardi menjadi alat bayar untuk biaya perawatan Dardi. Tikar itu dihargai Rp 50 ribu untuk ukuran terkecil dan Rp 120 ribu untuk yang terbesar (harga 2015), lebih besar dibanding harga di pasar lokal.

Dardi dirawat di klinik selama enam bulan. Setelah itu ia menjalani rawat jalan enam bulan dengan pengawasan dalam meminum obatnya. TBC Dardi pun sembuh, tetapi mentalnya masih mental usia anak 6-7 tahun sehingga membutuhkan psikiater.

"Sekarang dia sudah bekerja di perkebunan sawit," kata Hotlin.

Perhatian khusus yang diberikan Klinik Asri kepada Dardi membuat klinik kebanjiran pasien setelah Dardi sembuh.

Apalagi, klinik membuat keputusan biaya bisa dicicil selama enam bulan dan tak harus dibayar dengan uang.

Enam bulan belum lunas, biaya bisa diganti dengan tas kertas.

Kemauan warga menyediakan bibit untuk berobat membuat Kinari bertambah kekuatan hatinya untuk terus melanjutkan program. Apalagi, Klinik Asri selalu dipenuhi kunjungan warga kendati sudah ada layanan kesehatan gratis dari pemda. "Kami sedang mengajukan kerja sama dengan BPJS Kesehatan," ujar Direktur Eksekutif Yayasan Asri drg Monica Ruth Nirmala.

Kini, Yayasan Asri sedang menjajaki program serupa di Kalimantan Tengah dan Papua Barat. Di dekat Klinik Asri, Yayasan Asri sedang membangun rumah sakit di lahan seluas 48 x 430 meter, berbatasan langsung dengan Gunung Paramas kawasan TNGP. Sisa lahan 48 x 200 meter di belakang lokasi RS dijadikan lahan konservasi, langsung tersam - bung dengan kawasan TNGP.

Kayu yang digunakan RS adalah kayu bekas dan jelas asal-usulnya. Sebagian besar bangunan RS adalah beton.

Kontraktor pun menyetujui syarat mempekerjakan warga lokal. "Prioritas buat pembalak, mereka dilatih kerja konstruksi sehingga setelah proyek selesai mereka bisa bekerja di proyek lain," ujar Edi Cahyadi, manager konstruksi.

Konsep rumah sakitnya tetap bernuansa rumah, sebagaimana permintaan warga, seperti halnya yang telah diterapkan di klinik. "Ketika masuk klinik, pasien merasa berada di rumah sendiri, demikian juga nanti di rumah sakit," ujar Kinari.  ed: Nur Hasan Murtiaji

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement