Selasa 10 Jun 2014 14:00 WIB

Stabilitas Makroekonomi Rentan

Red:

JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mengatakan, stabilitas makroekonomi nasional masih rentan. Ekonomi Indonesia mudah memanas ketika ada sentimen-sentimen negatif yang timbul.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, Indonesia bukanlah negara yang ekonominya berpengaruh besar terhadap perekonomian global. Sehingga, sedikit saja benturan dalam ekonomi global akan memberikan dampak terhadap ekonomi nasional.

Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang terkena dampak dari tapering off pada 2013. Ekonomi Indonesia yang tadinya tumbuh di atas enam persen mengalami penurunan hingga 5,8 persen. "Pertumbuhan ekonomi harus didukung fundamental yang kuat," kata Mirza dalam fit and proper test dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (9/6).

Regulator perlu menjaga makroekonomi tetap terjaga jika menginginkan pertumbuhan yang seperti dulu. Tapi, hal ini tidak bisa dilakukan jika pemerintah terus membuka keran impor, tidak mengatasi defisit, dan membiarkan utang luar negeri swasta meningkat.

Pemerintah, saran dia, perlu memperbaiki fundamental agar pertumbuhan ekonomi seperti sedia kala. Salah satunya, dengan membenahi defisit neraca perdagangan. Pemerintah juga perlu mengontrol impor dan mengganti orientasi ekspor.

Indonesia dinilai tidak bisa lagi menggantungkan ekspor pada komoditas yang saat ini harganya masih fluktuatif. "Harus diganti ke ekspor manufaktur," ujar Mirza.

Pemerintah juga perlu mengendalikan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk mencegah defisit yang terus melebar. Berkurangnya impor BBM diharapkan dapat mengurangi defisit neraca transaksi berjalan.

Mirza mengakui, defisit masih akan terjadi di kuartal kedua dan ketiga tahun ini. Diperkirakan, defisitnya akan lebih besar dibanding kuartal pertama. Hal ini disebabkan Indonesia masih dalam proses stabilisasi.

Sehingga, bank sentral belum mungkin menurunkan suku bunga acuan. "Walaupun bank sentral Eropa (ECB) menurunkan bunga sampai negatif, mereka kan kondisinya deflasi. Kita masih ada inflasi, sehingga tantangannya berbeda," ujar Mirza.

BI, ujar Mirza, juga sulit menurunkan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) ke level yang rendah akibat salah satu factor, yakni persoalan impor dan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang berkontribusi besar terhadap laju inflasi. "Kalau kita mengurangi subsidi BBM atau menaikkan harga BBM maka dampak langsung terhadap inflasi," jelasnya. Hal itu yang menyebabkan inflasi naik, lalu rendah, dan selanjutnya naik lagi, dan seterusnya begitu. Sehingga, tidak akan ada inflasi yang secara permanen di tingkat yang rendah.

Selain menekan inflasi, lanjut Mirza, kebijakan menaikkan BI Rate tidak terlepas dari upaya BI untuk menekan defisit transaksi berjalan yang pada Kuartal II-2014 mencapai 4,4 persen dari PDB. Saat ini, defisit transaksi berjalan berada di kisaran dua persen.

Sebelumnya, Direktur Pengelola Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati mengatakan, instabilitas merupakan bagian dari dinamika perekonomian global. Sehingga, membutuhkan upaya lebih untuk menyembuhkan dampak dari krisis finansial yang terjadi."Kita mengetahui bahwa krisis perbankan dan pasar modal cenderung timbul berulang secara periodik,"katany. antara ed: zaky al hamzah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement