Kamis 02 Jun 2016 17:00 WIB

Pemerintah Diminta Kaji Program Sawit Terintegrasi

Red:

DEPOK -- Pemerintah diminta terlebih dahulu melakukan kajian agronomis ketika akan mencanangkan program integrasi sawit-jagung. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang menilai, secara logika, integrasi tersebut justru akan mengganggu pertumbuhan sawit yang baru ditanam.

"Saya tidak melihat secara agronomisnya, tapi kalau secara logika, khawatir dua tanaman tersebut berebut hara," kata Togar di Depok, Jawa Barat, Rabu (1/6). Selama ini, para petani dan pengusaha justru memperbanyak sumber hara dengan menanam kacang-kacangan di pinggiran tanaman sawit yang baru ditanam,. Tumpang sari juga dilakukan dengan tanaman pinang untuk memagari sawit.

Menurut Togar, jarak antar pohon sawit di perkebunan juga telah diperhitungkan, yakni per sembilan meter. Tujuannya, agar sawit tumbuh dengan daun-daun yang mekar sempurna lantas menghasilkan sawit berkualitas. Jika di antara sawit terdapat tanaman jagung, ia khawatir akan mengganggu pertumbuhan.

"Tapi sekali lagi, harus dilihat lagi dari sisi agronomisnya seperti apa," ujarnya.

Menteri Pertanian (Mentan), Amran Sulaiman, memprioritaskan gerakan integrasi jagung-sawit sejuta hektare untuk petani rakyat. Ia tidak menyebut porsi pembagian antara perusahaan dan petani plasma, Namun, jika petani plasma bisa mengisi lahan satu juta hektare untuk integrasi sawit-jagung, maka perusahaan tidak perlu ikut lagi.

"Karena dengan integrasi ini, pendapatan petani akan meningkat drastis," kata Mentan saat melakukan kunjungan kerja ke Desa Jambak Selatan Nagari Koto Baru, Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatra Barat pada Jumat (27/5). Peningkatan tersebut disebabkan, selain menunggu sawit baru hasil replanting tumbuh dan menghasilkan buah, petani juga bisa menikmati panen jagung per tiga bulan.

Mengenai pernyataan sejumlah institusi yang mengaitkan kebakaran gambut akibat penanaman sawit, Himpunan Gambut Indonesia (HGI) menilai, pernyataan tersebut tidak ilmiah. "Tidak satu pun dari institusi itu yang memiliki kajian ilmiah yang mampu menjelaskan sawit sebagai stimulus dari kebakaran di lahan gambut," kata Ketua HGI Supiandi Sabiham Guru, di Jakarta, Rabu (1/6).

Menurut Supiandi, pernyataan keliru dan berulang-ulang tersebut sangat menyesatkan dan mencoreng kredibilitas institusi bersangkutan. Apalagi, jika hal itu disampaikan oleh orang-orang pada institusi yang seharusnya berbicara secara akademis.

Supiandi juga menilai, pernyataan-pernyataan tersebut nyaris tidak  mempunyai hubungan dengan perbaikan tata kelola gambut. Semangatnya hanya untuk memojokkan industri sawit nasional. "Pernyataan-pernyataan itu sangat emosional, bertendensi negatif, serta tidak ilmiah sama sekali," kata Guru Besar IPB itu.

Menurut Supiandi, sebelum berkomentar mengenai isu lingkungan, semua pihak perlu mengubah paradigma berpikir dan lebih banyak belajar dari institusi bergengsi global, seperti Enviromental Protection Agency (EPA) dari Amerika Serikat dan Universitas Göttingen, Jerman.

EPA adalah sebuah lembaga Pemerintah Amerika Serikat yang bertugas melestarikan lingkungan hidup, dan kegiatan kerjanya mirip Kementerian Lingkungan Hidup di Indonesia. "EPA justru melakukan kajian yang mendukung pengembangan sawit di Indonesia sebagai minyak nabati unggulan. Dukungan riset untuk pengembangan sawit nasional juga dilakukan Universitas Göttingen, Jerman," kata Supiandi.

Karena itu, kata Supiandi, institusi perlu belajar dari banyak pihak untuk memperoleh masukan yang benar. Sebab, berbahaya apabila hanya sekadar menggalang kekuatan, namun tidak mau belajar dari akademisi yang paham persoalan gambut dan kelapa sawit.

Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik Badan Informasi Geospasial (BIG) Nurwadjedi mengatakan, sebanyak 90 persen kebakaran hutan dan lahan adalah kebakaran yang dilakukan masyarakat. Pembakaran lahan oleh masyarakat ini merupakan masalah sosial. Karena itu, upaya terpenting untuk penanggulangan karhutla adalah memetakan desa-desa di sekitar kawasan hutan.

"Untuk itu, pemerintah harus mempunyai program pencegahan kebakaran di tingkat desa yang mampu membantu penyelesaian persoalan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat," kata Nurwadjedi. rep: Sonia Fitri ed: EH Ismail

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement