Selasa 12 Jan 2016 13:00 WIB

Pemerintah Butuh Utang

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,


JAKARTA--Pemerintah membutuhkan utang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menjelaskan, utang tidak akan menimbulkan efek negatif selama digunakan untuk keperluan produktif.  "Hasilnya pasti akan positif," ujar Bambang di kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (11/1).

Berdasarkan data Kemenkeu, total utang pemerintah hingga 2015 sudah mencapai Rp 3.089 triliun atau 27 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sepanjang tahun lalu, pemerintah menambah utang sebesar Rp 382,3 triliun. 

Penambahan tersebut lebih tinggi dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 sebesar Rp 222,5 triliun dengan asumsi defisit anggaran 1,9 persen terhadap PDB. Namun, karena defisit anggaran melebar menjadi 2,80 persen terhadap PDB, pemerintah terpaksa menambah porsi penarikan utang. 

Bambang kembali menekankan, rasio utang pemerintah masih terkendali meskipun naik dari 24 persen terhadap PDB pada 2014 menjadi 27 persen pada 2015. Hal ini pun sudah sejalan dengan ketentuan dalam UU Keuangan Negara. "Negara lain banyak yang lebih tinggi. Indeks rasio utangnya 56 persen terhadap PDB, Brasil 70 persen, dan Jerman 71 persen," ujarnya.

Lebih lanjut, Bambang mengatakan, pemerintah terpaksa mengorbankan pelebaran defisit anggaran ketimbang memotong belanja pemerintah. Sebab, belanja pemerintah sangat dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. "Agar ekonomi tidak melambat lebih dalam, yang bisa kami jaga adalah pengeluaran pemerintah, khususnya belanja modal," katanya.

Bambang juga menyebut defisit anggaran dalam APBNP 2015 masih jauh lebih baik jika dibandingkan dengan sejumlah negara. Semisal, Brasil dengan defisit anggaran 7,7 persen, Meksiko (4,0 persen), maupun Rusia (5,7 persen).

Anggaran Kemenperin

Kementerian Perindustrian mencatat penyerapan anggaran dalam APBNP 2015 sebesar 77 persen dari pagu anggaran Rp 4,59 triliun. Menteri Perindustrian Saleh Husin menjelaskan, rendahnya penyerapan anggaran Kemenperin disebabkan oleh berbagai faktor.

Semisal, adanya kebijakan self blocking untuk dialokasikan ke kegiatan new initiative. Dengan demikian, kegiatan tidak dapat segera dilaksanakan. Selain itu, tambahan anggaran sebesar Rp 1,85 triliun tidak dapat dieksekusi lantaran revisinya baru pungkas sekira September 2015. 

Faktor lain yang menyebabkan penyerapan anggaran Kemenperin rendah, yakni penolakan dari PT Perkebunan Nasional (PTPN) III untuk revitalisasi pabrik gula senilai Rp 153,9 miliar. Penolakan BUMN itu lantaran perseroan telah menerima Penyertaan Modal Negara (PMN) via Kementerian BUMN.

Selain itu, adanya keterlambatan pencairan dana sehingga beberapa proyek dan lelang tidak bisa berjalan. Saleh memastikan, pada Desember 2015, ada beberapa lelang yang sudah berjalan. "Kalau kemarin pencairan anggaran dimulai Mei, Juni, bahkan ada yang September, dan itu tidak mungkin bisa (diserap). Sedangkan, tahun ini bahkan sudah ada lelang yang dimulai pada Desember 2015 untuk anggaran 2016," ujar Saleh.

ed: muhammad iqbal 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement