Jumat 03 Jun 2016 17:00 WIB

Rahasia Isra Mi’raj Menyongsong Ramadhan (1)

Red:

Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

 

"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS al-Isra'[17]:1)

   

Setiap menjelang bulan Ramadhan, umat Islam disuguhkan peringatan peristiwa Isra Mi'raj. Bukan sesuatu yang kebetulan jika peristiwa Isra Mi'raj terjadi pada 27 Rajab, sebulan lebih menjelang Ramadhan tiba. Setidaknya kita diingatkan ada dua malam penting yang diunggulkan dalam Alquran, yaitu malam Isra Mi'raj, malam yang "melangitkan" manusia untuk kemudian "dibumikan" kembali, dan malam Lailatul Qadar, yaitu malam turunnya Alquran untuk melangitkan manusia. Dengan kata lain, malam Lailatul Qadar membumi untuk melangitkan dan malam Isra Mi'raj melangit untuk membumikan.

Ayat tersebut diawali dengan kata subhana (Masa Suci), yang dalam kaidah tafsir dikatakan jika ada surah atau ayat diawali dengan kata subhana pasti ada informasi yang di dalamnya tidak bisa dijangkau akal pikiran (la majal li al-'aql). Nyatanya Isra Mi'raj tidak bisa dijangkau akal pikiran hingga saat ini. Mungkin Isra dalam arti perjalanan horizontal dari Masjidil Haram, Makkah ke Masjidil Aqsha, Palestina, bisa dianalisa secara logika dengan membandingkan kecepatan pesawat supersonik tercepat. Tetapi Mi'raj dalam arti berangkat dari Palestina menuju Sidratul Muntaha, sama sekali tidak akan pernah dijangkau akal pikiran.

   

Kata asra (memperjalankan) dalam bentuk fi'il yang melazimkan maf'ul (muta'addi) mengisyaratkan, bukan Nabi Muhammad melainkan Allah SWT yang pro-aktif dalam perjalan tersebut. Jika demikian, maka tidak perlu kita mempersoalkan proses dan cara Nabi melakukan Isra Mi'raj. Bukankah jika Raja Saudi mengundang seseorang untuk haji secara total difasilitasi, mulai dari tiket, hotel, sampai pakaian ihram dan kebutuhan mikro lainnya.

   

Allah SWT menggunakan kata bi 'abdihi (hamba-Nya) yang mengisyaratkan, yang bisa melakukan Mi'raj bukan hanya Nabi Muhammad SAW, tetapi siapa pun yang merasa hamba berpotensi untuk Mi'raj. Bukankah Nabi pernah bersabda, Al-shalah mi'raj al-mu'mini (shalat adalah Mi'raj bagi orang yang beriman). Namun menarik untuk diperhatikan, dalam ayat itu Allah SWT membubuhi huruf ba (bi 'abdihi), fungsinya untuk isyarat kedekatan (li al-tab'id). Maknanya, hanya hamba yang "menempel" (dekat) dengan Tuhan bisa Mi'raj.

   

Kata lailan, secara literal berarti "malam", namun secara metafor bisa mempunyai makna lain. Dalam syair-syair bahasa Arab, kata al-lailah biasa diartikan dengan keheningan, kesunyian, kesepian, kehangatan, kesejukan, kesenduan, dan kekhusyukan, dan sebagainya. Elaborasinya, malam memang menampilkan kegelapan, tetapi bukanlah kegelapan menjanjikan suasana batin seperti tadi. Kata lailan dalam ayat di atas mengisyaratkan dan sekaligus mensyaratkan bagi siapa pun yang hendak melakukan perjalanan spiritual menuju Tuhan (isra'/suluk) maka harus mengondisikan suasana malam (lailiyyah) di alam hati dan pikirannya. Kenapa bukan siang? Karena suasana neurologis, gelombang energi otak manusia di siang hari yang lebih aktif, yaitu suasana beta (13-23 cps). Bandingkan di malam hari, umumnya manusia berada di dalam suasana neurologis lebih tenang, yakni suasana alpha (7-13 psc), bahkan bisa sampai ke suasana theta (3,5-7 cps). Ketika manusia sudah tidur berarti berada dalam suasana delta (0,5-3,5 cps).

Mungkin itulah sebabnya, wahyu pertama kali turun di malam hari. Alquran sendiri menurut ulama tafsir lebih banyak turun di malam hari ketimbang di siang hari. Para wali juga lebih banyak mendapatkan ilham di malam hari. Mungkin ini juga alasan Imam Syafi'i pernah mengatakan, Man thalab al-ula syahir al-layali (Barang siapa yang mendambakan ketinggian martabat di mata Tuhan hendaklah ia banyak berjaga di malam hari). Ia sendiri menyatakan, lebih produktif menulis di malam hari daripada di siang hari. Alquran juga sudah menegaskan, "Dan pada sebagian malam lakukanlah shalat Tahajud  tambahan bagimu; mudah-mudahan Allah mengangkatmu ke tempat yang terpuji." (QS al-Isra' [17]: 79). Para sufi banyak sekali memberikan pengakuan kalau dirinya memperoleh prestasi spiritual (insight) di malam hari. Dalam sejarah Islam, prestasi puncak banyak terjadi di malam hari, seperti turunnya Alquran, Isra Mi'raj dan Lailatul Qadar.

 

Malam hari seolah-olah jarak antara hamba dengan Tuhan begitu dekat. Di malam hari yang aktif lebih dominan ialah energi batin, sehingga lebih mudah kita untuk khusyuk. Mungkin itulah sebabnya mengapa shalat, baik fardhu maupun sunah, lebih banyak disyari'atkan di malam hari, seperti shalat Maghrib, shalat Isya, shalat Tarawih, shalat Lail, shalat Tahajud, shalat Witir, shalat sunnat Fajr, shalat Subuh, dan shalat-shalat sunah lainnya. Sedangkan di siang hari hanya ada shalat Dhuha, shalat Zhuhur dan shalat Ashar. 

Apa sesungguhnya yang dimaksud "Masjidil Haram" dan "Masjidil Aqsha" yang Allah berkahi di sekitarnya? Apa makna spiritual kata "li nuriyahu min ayatina"? Dan mengapa Allah SWT menutup ayatnya dengan "Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat?" Semua itu akan dibahas di dalam artikel mendatang. (Bersambung).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement