Jumat 15 Apr 2016 11:00 WIB

Heni Sri Sundani Mantan TKI yang Memberdayakan Kaum Papa

Red:

Tidak sedikit orang Indonesia yang mengadu nasib ke luar negeri dengan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Namun, dari sekian ribu TKI tersebut, hanya sedikit yang peduli terhadap pentingnya pendidikan. Sehingga, saat kembali ke kampung halamannya, tidak berkontribusi apa-apa kepada masyarakatnya.

Berbeda dengan Muslimah bernama Heni Sri Sundani (28). Ia mengadu nasib dengan menjadi TKI di Hong Kong sambil menempuh pendidikan. Meskipun menjadi seorang TKI, Heni sangat peduli terhadap pendidikan sehingga akhirnya ia berhasil menempuh pendidikan S1-nya dengan mengambil jurusuan Entrepreneurial Management Saint Mary's University Hong Kong.

"Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk memutus mata rantai kemiskinan," kata Heni kepada Republika, Jumat (8/4).

Di Hong Kong, Heni bekerja sebagai baby sitter. Selama dua tahun bekerja di rumah majikan pertamanya, Heni ternyata hanya digaji setengah dari kontrak kerja yang ditandatanganinya sehingga saat itu ia hanya bisa menempuh D3 di jurusan IT Topex Hong Kong.  

Kemudian, setelah Heni bekerja kepada majikan keduanya, baru ia bisa melanjutkan lagi ke jenjang S1, yang dapat ditempuh hanya dengan 3,5 tahun. Bahkan, pada tahun 2011, Heni sempat menjadi mahasiswa terbaik di kampus tersebut. "Awalnya, saya hanya ingin dua tahun di Hong Kong, mencari modal, dan terus pulang ke Indonesia. Tidak ada cita-cita untuk terus menjadi TKI," ujar wanita yang biasa dipanggil Heni Jaladara tersebut.

Setelah enam tahun lebih Heni berjuang di Hong Kong, lalu ia pulang ke kampung halamannya di Ciamis, Jawa Barat. Saat tiba di kampung halamannya, ternyata ia melihat tidak banyak terjadi perubahan. Jalannya masih bebatuan bercampur tanah liat. "Saya sedih, miris saja ternyata kampung halaman saya. Meskipun enam tahun lebih ditinggalkan, ternyata jalannya masih sama seperti waktu pergi dulu," ucap dia.

Saat itu, ia juga melihat teman-temannya yang hanya berpendidikan SD ternyata sudah banyak yang menikah. Menurut dia, menikahnya pun hanya dengan tetangga dekatnya, yang kadang baru berusia 17 tahun. Bahkan, mereka sudah ada yang janda dua kali. "Mungkin mereka merasa bahwa pendidikan itu kurang penting. Buktinya, ada beberapa dari mereka yang secara ekonomi jauh lebih mampu, tapi tidak melanjutkan pendidikannya," ucap dia.

Heni menjadi sarjana pertama di kampungnya tersebut. Ia merasa harus melakukan sesuatu yang berguna untuk masyarakat. Apalagi, Heni sejak dulu sudah bercita-cita menjadi guru. Heni hanya ingin mengamalkan ilmu yang sudah didapatkannya di Hong Kong.

Heni termasuk orang sangat mencintai buku sehingga saat kepulangannya ia membawa 3.000 buku lebih dari Hong Kong. Lalu, Heni mendirikan perpustakaan di rumah ibunya di Ciamis. Saat anak-anak di kampungnya pulang sekolah, mereka sering bermain ke rumah Heni. Mereka membaca buku dan Heni mengajarkan untuk sekedar mengajari mereka menggunakan laptop, komputer, mengerjakan PR, dan mengajari mereka mengaji.

"Dulu kan saya suka mengaji dari kecil. Saya suka mengaji ke madrasah dan masjid, termasuk ngaji kitab kuning," kata dia.

Saat ini Heni tengah sibuk membuat program sosial kemasyaratakan. Namun, di sela-sela kesibukannya, ia masih menyempatkan diri untuk melanjutkan studi S2-nya dengan mengambil jurusan magister manajemen di Universitas Bumi Putera.

Selain itu, ia juga sering diundang untuk mengisi berbagai macam pelatihan di sekolah ataupun kampus-kampus. "Pas pelatihan itulah saya bertemu dengan laki-laki yang menjadi suami saya sekarang," ujar dia.

Suami Heni, Aditia Ginantaka, adalah seorang pegiat sosial yang bekerja di Dompet Dhuafa. Suaminya aktif di Sekolah Guru Indonesia. Karena suaminya tersebut bekerja di Bogor, Heni akhirnya juga ikut pindah ke Bogor. Awalnya Heni berpikir di Bogor kondisinya jauh lebih baik dibandingkan dengan kampung halamannya di Ciamis. Namun, ternyata keadaannya juga memprihatinkan.

"Di satu kampung, saya lihat anak-anak masih telanjang kaki, baju bolong, putus sekolah, dan segala macam," kata dia.

Melihat kondisi anak-anak tersebut, kemudian ia dan suaminya berpikir tentang kontribusi apa yang dapat diberikan. Sementara, secara meteri ia belum mampu membantu orang lain. Berbekal keyakinan kepada Allah, akhirnya Heni dan Aditya memutuskan untuk mengumpulkan anak-anak tersebut setiap Sabtu dan Ahad. Anak-anak tersebut kemudian diberikan pembelajaran gratis.

"Kita memang tidak punya uang, tapi kita kan bisa memberikan suatu kontribusi dengan ilmu yang kita miliki dan itu nggak dibayar," ujar dia.

Karena sama-sama mempunyai kepedulian tentang kemajuan desa dan pendidikan, Heni dan Aditya kemudian membuat sebuah komunitas yang bernama AgroEdu Jampang Community. Komunitas tersebut yang mewadahi para petani dan keluarganya. AgroEdu Jampang Community mempunyai empat program besar, yaitu program pendidikan, pemberdayaan ekonomi, kesehatan, dan sosial dakwah.

Sudah banyak program yang telah digagas Heni dengan Komunitas Jampang tersebut. Dalam bidang pendidikan misalnya, Heni telah membuat gerakan anakpetanicerdas. Heni berharap, dengan adanya komunitas tersebut, pendidikan dan informasi bisa mengubah nasib mereka, seperti nasib yang dialami Heni. Awalnya, ia hanya mendidik dan mengasuh beberapa anak petani, tapi seiring bertambahnya waktu, anak-anak petani tersebut juga semakin bertambah banyak.

"Terus kita kumpulin anak. Pertama kali di kampung Sasak namanya. Awalnya cuma 15 anak. Terus pekan selanjutnya terus bertambah. Terus, saat kita buka lagi di kampung Jampang juga sama. Awalnya hanya 50, kemudian menjadi 100-an lebih," jelas dia.

Selama tiga tahun berjalan, kini anak didiknya di komunitas tersebut telah meluas mencapai tujuh kampung dengan jumlah 1.000 anak. "Jadi, berawalnya hanya dari hal kecil. Dari kontrakan kecil kita, akhirnya karena tidak muat kita pindah ke mushala," ujar dia.

Ia juga berharap mushala di kampung-kampung tersebut agar tidak sampai kosong sehingga anak-anak itu diarahkan ke mushala untuk belajar. "Dulu hanya sama suami saya, sekarang sudah banyak juga teman-teman mahasiswa, relawan yang bantu," ujar dia.

Tidak hanya mengabdi dengan membina anak-anak kampung tersebut, Heni saat ini juga membina sebuah pesantren di Cigombong. Sebagian besar santrinya adalah anak-anak buruh tani miskin. Bersama para relawan, Heni terus membina anak-anak tersebut sehingga kelak mereka menjadi harapan untuk memutus mata rantai kemiskinan dalam keluarganya.   

"Awalnya kita mengambil uang pribadi kita untuk beli buku dan sebagainya, tapi setelah ratusan lebih kita sudah tidak sanggup lagi. Akhirnya, saya share di media sosial dan alhamdulillah banyak yang tertarik untuk membantu," ucap dia.  c39, ed: Hafidz Muftisany

 

BIODATA HENI

Nama            : Heni Sri Sundani

Nama Pena        : Jaladara

Nama Panggilan    : Heni Jaladara

TTL            : Ciamis, 02 Mei 1987

E-mail         : [email protected]

Moto Hidup:

-Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk memutus mata rantai kemiskinan

-Jangan berhenti berbuat baik karena kita tidak pernah tahu kebaikan mana yang akan mengantarkan kita pada ridha Allah dan surga-Nya.

-Cita-cita tertinggi saya adalah menjadi manusia terbaik dengan memberikan paling banyak manfaat bagi sesama.

Pendidikan:

S2: Magister Manajemen Universitas Bumi Putera

S1: Entrepreneurial Management Saint Mary's University Hong Kong

D3: IT Topex Hong Kong

SMK Akuntansi: SMK N 1 Banjar

SMP: SMPN 1 Cimaragas

SD: SDN 3 Beber

Madrasah: Madrasah Sirojul Huda Ciamis

Prestasi:

Top 30 Social Entrepreneur Asia (Forbes Internasional 2016)

Top 300 Promising Young Leader Asia (Forbes 2016)

Perempuan Inspiratif NOVA Bidang Pendidikan (2015)

Anugrah Komunikasi Indonesia-KOMINFO (2015)

TRUBUS-Kusala Swadaya Award (2015)

Pahlawan Sosial Terpilih- Social Entrepreneur Academy (2014)

Tenaga Kerja Indonesia Purna Jawa Barat Award (2012)

Mahasiswa terbaik dari St.Mary's University-Hong Kong (2011)

Be Indonesian Smart and Active  Award-Hong Kong (2010)

Champion of Letter Writing to Mr.Presiden Inter-Asia (2010)

Duta Sastra Buruh Migran Hong Kong dalam festival sastra Internasional UWRF di Bali (2010)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement