Jumat 05 Sep 2014 12:00 WIB

Suami Istri Bersentuhan, Batalkah Wudhunya?

Red:

Kala seorang sudah hidup berumah tangga, sikap romantis menjadi bumbu kehidupan. Tak jarang romantisme itu diwujudkan dalam bentuk sentuhan, pelukan, dan ciuman. Kala sang suami hendak berangkat kerja, ciuman didaratkan di kening sebagai tanda sayang. Untuk menguatkan rasa kasih, genggaman tangan kadang lebih banyak berbicara.

Jika suami istri bisa berpegangan dan bersentuhan lebih bebas, bagaimana jadinya jika salah satu atau keduanya sudah berwudhu? Apakah batal seperti halnya bersentuhan dengan lawan jenis bukan muhrim lainnya?

Secara umum ada tiga pendapat berbeda dalam hal ini. Imam Syafi'i dan ulama dari kalangannya berpendapat bersentuhan kulit tanpa aling-aling, baik itu dengan istri sendiri, bisa membatalkan wudhu. Meskipun ia bersentuhan tanpa syahwat.

Imam Syafi'i, seperti ditulis Ibnu Rusyd berpendapat, bahwa siapa yang menyentuh lawan jenisnya tanpa alat, baik menimbulkan berahi atau tidak, maka batal wudhunya. Di sisi lain, ada riwayat lain menyatakan bahwa dalam hal wudhu, Imam Syafi'i mempersamakan istri dengan semua mahram.

Dasarnya tafsir ayat 43 surat an-Nisa. Dalam penjelasan hal-hal yang membatalkan wudhu, kata laamastum dalam aulaamastum nisaa ditafsirkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi sebagai menyentuh perempuan, bukan bersetubuh dengan perempuan. Abdullah bin Mas'ud juga mengartikan laamastum selain jima'

Dalam kitab Fathul Mu'in disebutkan beberapa faktor yang membatalkan wudhu. Di antaranya bertemunya dua kulit antara pria dan wanita meskipun tanpa syahwat. Nahdlatul Ulama (NU) yang memakai mazhab Syafi’i dalam fikihnya berpendapat dalam situs resminya, bersentuhan tangan dan kecupan kepada istri bisa membatalkan wudhu. NU mengutip hadis dari yang diriwayatkan Abdullah bin Umar, "Sentuhan tangan seorang laki-laki terhadap istrinya atau menyentuhnya dengan tangan wajiblah atasnya berwudhu." (HR Malik dan as-Syafii).

Pendapat kedua adalah persentuhan antara suami istri baik disertai atau tidak dengan syahwat tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dianut Imam Hanifah. Menurutnya, hanya persetubuhan yang membatalkan wudhu. Dalilnya pun sama, surat an-Nisa ayat 43. Namun, laamastum di sini ditafsirkan dengan jima' atau persetubuhan.

Syekh Salih bin Muhammad bin Utsaimin berpendapat tidak batal wudhunya suami istri yang bersentuhan bahkan berciuman. Dasarnya adalah hadis dari Aisyah RA. Aisyah RA meriwayatkan, Nabi SAW mencium salah satu istrinya kemudian melaksanakan shalat tanpa berwudhu lagi (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud). Hadis ini diperselisihkan di kalangan ulama mengenai derajatnya. Syekh Nashiruddin al-Albani menshahihkannya. Tidak utuhnya para ulama menerima derajat shahih hadis ini juga menjadi penyebab perbedaan pendapat masalah ini.

Pendapat ketiga dari mazhab Malik dan Hanbali yang menyatakan batalnya wudhu akibat persentuhan yang mengakibatkan birahi, baik terhadap suami istri ataupun selainnya. Ibnu Qudamah lebih menekankan hukum asalnya tidak membatalkan, namun jika keluar madzi dan mani maka wudhunya batal.  ed:hafidz muftisny

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement