Kamis 07 Mar 2013 16:00 WIB

Sistem Kasta di Jakarta

Jak Online on air.
Foto: Jak Online
Jak Online on air.

Sistem Kasta. Jika kita pernah belajar sejarah, mengenal sejarah nusantara dan membaca buku-buku sejarah pasti sudah tidak asing dengan kata tersebut. Sistem yang dikenal kerajaaan-kerajaan pada zaman nusantara dulu dan juga pada agama Hindu. Kasta dalam bahasa Portugis artinya pembagian masyarakat.

Di dalam tulisan ini, saya mau mencoba mendefinisikan apakah orang yang "doyan" sepakbola Indonesia (Persija Jakarta) juga mengalami sistem kasta? Konteks di sini bukan dari sistem kaya miskin, ataupun pekerjaan. Saya lebih tertarik membicarakan sepakbola birokrasi yang membuat kita jadi terkena dampak "sistem kasta sudra" (Sudra adalah sistem kasta terendah).

Lantas bisa apa "kaum sudra" seperti kita? Hiburan yang paling "murah meriah" tentunya hanya bisa menonton Persija Jakarta saat bertanding dan latihan. Dan itu jika mendapatkan izin dari pemerintah birokrat. Tapi jika kita mempelajari lebih jauh, memang kaum sudra mempunyai pengorbanan (berkorban bukan hanya berarti mati perang) lebih banyak jika dibanding kaum-kaum yang ada pada zaman mereka. "Gaji" mereka terbatas tapi loyalitas mereka tanpa batas.

Jadi, saya salut dan hormat dengan kawan-kawan yang rela tur tandang ke luar kota dan bahkan luar pulau demi Persija Jakarta kemana pun tim pujaan berada, mereka selalu ada. Stadion menjadi tempat refreshing buat mereka, sekaligus tempat mereka berekspresi setelah jenuh dengan rutinitas yang mereka jalani.

Hegemoni dari pemerintah pusat ke daerah yang menuduh supporter sepakbola hanya biang kerok kerusuhan, apa jadinya kalo PERSIJA tidak ada di Jakarta? Mungkin saya dan kalian semua yang mengidolakan Persija Jakarta sudah jadi "sudra biasa". Tapi kita tentu bukan orang-orang yang hidup pada masa nusantara yang terpecah belah karena sistem kasta akibat peran birokrasi. Kita disatukan karena Persija Jakarta sampai sekarang.

Penilaian baik buruk tim Persija Jakarta, perbedaan pendapat dalam menyikapinya adalah refleksi bukti nyata untuk melihat Persija Jakarta menjadi lebih baik. Saya tentu tidak akan pernah ke Stadion Lebak Bulus, tidak tahu artinya "loyalitas tanpa batas", tour tandang adrenaline, itu semua tidak akan kita kenal kalau kita tidak menjadi bagian dari Persija Jakarta.

Ada Taman Ismail Marzuki, Ada Monumen Nasional, Ada Stasiun Cikini, tetapi bayangkan jika sebuah kota tanpa ada klub sepakbola maupun supporter-nya, habis sudah... Hegemoni kekuasaan pemerintah (politik, ekonomi, hukum) hanya menjadi santapan pembicaraan rakyatnya saja. Sekali lagi saya, kalian dan Jakarta beruntung ada Persija Jakarta dengan segala kekurangan dan kelebihannya saat ini.

Supporter Persija tentu tidak akan diam, ketika hanya dianggap menjadi "kasta sudra" untuk sesuatu yang mereka banggakan dan mereka cintai. Jika bicara nasionalisme, mendukung sebuah klub sepakbola lokal merupakan representasi nasionalisme yang paling dasar.

Mendukung klub-klub luar negeri semacam Barcelona, Real Madrid, Manchester United, AC Milan dan klub luar negeri yang lainnya merupakan hal biasa. Tetapi mendukung Persija Jakarta bukan lagi bicara biasa atau hal luar biasa. Ini sudah bukan berbicara tentang layar kaca tetapi stadion. Ini sudah berbicara mengenai kebanggaan bukan favorit.

Dimas Widjanarko

Rubrik ini bekerja sama dengan Komunitas Jak Online
Twitter: @JakOnline @JOMERCH01 @JFCRRI105FM
Instagram: @JakOnline01
Google+: Jak Online
Yahoo Messenger: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement