Jumat 03 Jun 2022 13:35 WIB

Total Football Transformasi Digital Perpustakaan

Transformasi perpustakaan tidak bisa instan layaknya mi.

Gedung Perpusnas
Foto: Diwangkoro Arsitek
Gedung Perpusnas

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Mahbub Alfathon, Filolog di Perpustakaan Nasional RI dan fellow researcher di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities, Universitas Indonesia (AWCPH-UI).

Perhelatan Liga Champions Eropa 2022 baru saja berakhir beberapa hari lalu dengan kemenangan Real Madrid, tim sepak bola asal Spanyol, atas Liverpool, tim asal Inggris, dengan skor 1-0. Sementara peluit program besar pengembangan literasi dan perpustakaan di Indonesia baru ditiupkan dalam perayaan Hari Ulang Tahun ke-42 Perpustakaan Nasional RI yang juga bertepatan dengan Hari Buku Nasional pada 17 Mei lalu dengan menekankan tajuk “Transformasi Perpustakaan untuk Mewujudkan Ekosistem Digital Nasional”.

Sebetulnya tagline yang juga menjadi program kerja Perpustakaan Nasional RI tersebut sudah dikenalkan kepada publik nasional pada awal tahun ini. Hanya, pada perayaan 17 Mei lalu, Kepala Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) Muhammad Syarif Bando lebih menekankan tuntutan yang harus dikejar jika program ini mau berhasil. Di antaranya, yakni pembangunan kapasitas (capacity building) baik dari berbagai sumber daya, rancangan dan interaktivitas (design and interactivity) dalam segala kegiatan, serta perubahan pola pikir (mindset) dalam pengembangan literasi dan perpustakaan.

Tentu ini menjadi awal babak baru pengembangan dan transformasi perpustakaan, setelah lebih dari dua tahun Indonesia dilanda pandemi Covid-19. Seumpama sepak bola, tampaknya lembaga pemerintah di bidang perpustakaan dan literasi ini akan memulai babak kali ini dengan mengambil taktik yang lebih agresif ke depannya, lebih gesit dalam memberikan umpan langsung maupun lambung, sembari bertahan dari gempuran serangan wabah nirliterasi yang tak kunjung berhenti menyerang bangsa Indonesia.

Literasi merupakan kedalaman pengetahuan seseorang terhadap suatu subjek ilmu pengetahuan. Mohammad Hatta menyebut hakikat literasi ialah “jalan pembebasan intelektual” untuk keluar dari jerat penyakit anti-intelektualisme. Karena itulah, bisa dikatakan, Perpusnas yang diberi tanggung jawab untuk mengembangkan perpustakaan dan literasi memang memegang peranan kunci dalam kemajuan bangsa ini dengan mengedepankan tagline “Transformasi Perpustakaan untuk Mewujudkan Ekosistem Digital Nasional”.

Tagline atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan “slogan” atau “motto”, bisa berdampak besar pada sisi psikologis seseorang atau organisasi untuk mengingat sebuah “brand”—dalam konteks kali ini merujuk kepada entitas Perpusnas itu sendiri. Bill Chiaravalle dan Barbara Findlay Schenk (Branding for Dummies, 2014), menyebut tagline merupakan salah satu atribut identitas yang menggambarkan esensi, personalitas, maupun posisi sebuah merek (positioning brand). Maka, dalam hal ini, Perpusnas ingin menampilkan diri sebagai lembaga yang tengah bersiap menuju tranformasi diri, khususnya dalam pengembangan literasi dan perpustakaan dalam ekosistem digital nasional.

Indonesia memiliki potensi perpustakaan yang amat luar biasa. Setidaknya, ada lebih dari 160 ribu perpustakaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Peringkat kedua setelah India, yang memiliki 323 ribu unit perpustakaan dan satu peringkat di atas Rusia dengan jumlah 113 ribu unit perpustakaan. Dan untuk meningkatkan potensi tersebut, aksi ideal pengembangan yang harus dilakukan memang menuju arah transformasi digital perpustakaan, terutama dalam era disrupsi teknologi seperti sekarang ini.

Ada tiga alasan. Pertama, agar bisa menjangkau cakupan masyarakat yang lebih luas dengan penyebaran informasi berbasis jaringan (online). Kedua, melalui kerangka transformasi digital perpustakaan, kita bisa merekam informasi kearifan lokal berbasis tradisi lisan yang dimiliki seluruh masyarakat Indonesia menjadi bahan pustaka tertulis atau audio-visual dan dimanfaatkan kembali oleh bangsa kita tanpa perlu khawatir informasi-informasi yang arif bijaksana tersebut akan hilang. Ketiga, melalui kerangka kerja ini kita sekaligus bisa mulai membangun ekosistem literasi hulu-hilir Indonesia secara lebih masif lagi.

Akan tetapi, layaknya bola sepak, transformasi perpustakaan menuju ekosistem digital nasional bukanlah sebuah bola yang bisa langsung dilesakkan ke dalam gawang. Seumpama kesebelasan, seluruh anggota kesebelasan, segenap ekosistemnya, harus menggiringnya terlebih dahulu. Ekosistem ini merupakan sebuah tim yang terdiri dari manajer, penjaga gawang, pemain belakang, gelandang, dan penyerang.

Mari kita ibaratkan seperti ini: ada sebuah tim besar yang bernama tim pengembangan literasi dan perpustakaan. Tim ini berusaha melesakkan bola “Transformasi Perpustakaan untuk Mewujudkan Ekosistem Digital Nasional”. Mereka akan bertanding dengan lawan kuat yang disebut nirliterasi di era digital.

Saat peluit kick off dibunyikan, dua penyerang paling depan akan saling berbagi umpan awal. Pemain penyerang itu adalah pustakawan. Tentunya, pemain yang menempati posisi ini harus memiliki teknik yang paripurna. Sebab, fungsi mereka sangat krusial, terutama dalam menerima dan mengeksekusi umpan akhir yang diberikan, serta membuka jalan bagi pemain lain yang juga akan melakukan penetrasi.

Mundur sedikit ke belakang ada pemain gelandang. Mereka bisa saja menjadi gelandang bertahan yang mendukung lini belakang, atau gelandang serang yang harus punya umpan-umpan jitu untuk diberikan kepada penyerang, atau gelandang sayap yang akan memberikan umpan lambung atau terobosan dari sisi lain, maupun menjadi playmaker yang mengatur alur serangan. Jika melihat fungsi-fungsi tersebut, pemain gelandang tentu akan ditempati oleh berbagai unit kerja di Perpusnas dan dinas perpustakaan di pemerintah daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement