Senin 08 Mar 2021 16:48 WIB

Narasi Jokowi dan Perang Ekonomi Berbasis Teknologi

Ekonomi berbasis komoditi berganti menjadi ekonomi berbasis teknologi

Jokowi
Foto: setkab.go.id
Jokowi

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Abdullah Sammy*

"Kita harus bergeser dari ekonomi yang berbasis komoditi menuju ekonomi yang berbasis inovasi dan berbasis teknologi.” Itu salah satu kutipan dari pidato Presiden Jokowi dalam Rakernas Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Senin (8/3). Presiden turut menyinggung perang masa kini yang telah bergeser menjadi perang ekonomi berbasis inovasi dengan kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI). 

Narasi yang disampaikan Jokowi merupakan sebuah hal yang sangat penting. Pergeseran sistem ekonomi ini bisa memberi Indonesia momentum untuk menjadi raksasa ekonomi dunia. Tapi di sisi lain, jika momentum itu lewat maka yang tersisa adalah ancaman besar bagi kedaulatan perekonomian. 

Sebelum mengaitkan peluang dan ancaman dalam konteks Indonesia, terlebih dahulu kita dapat merujuk kenyataan yang terjadi pada konteks yang lebih mikro. Kita bisa merujuk apa yang terjadi pada sejumlah perusahaan yang berjaya dan tumbang di sektor industri ponsel. 

Pada 2007, ada lima perusahaan ponsel raksasa yang menguasai lebih dari 90 persen keuntungan dari industri ponsel. Hanya delapan tahun, peta itu berubah total. Muncul Apple dengan iPhone yang secara sensasional menguasai sekitar 92 persen dari total keuntungan dalam industri ponsel. Dari lima perusahaan yang berjaya pada 2007, hanya Samsung yang bertahan. Sisanya, yakni Nokia, Sony Ericsson, Motorola, dan LG hancur lebur di industri ponsel. 

Apa yang terjadi dalam kasus industri Ponsel itu, menurut Van Alstyne, Parker, dan Choudary (2016), adalah sebuah gambaran tentang peluang dan ancaman dari perubahan sistem ekonomi. Perubahan dari sistem ekonomi berbasis industri (komoditi) menjadi ekonomi berbasis internet (teknologi).  Sejumlah ahli strategi korporasi menyebut bahwa perubahan yang paling fundamental adalah perubahan dari sistem ekonomi berdasarkan prinsip rantai nilai (value chain) menjadi efek jaringan (network effect). 

Secara sederhana, sistem value chain adalah bagaimana perusahaan mengolah barang mentah menjadi barang jadi bernilai ekonomi. Barang itulah yang kemudian dijual kepada konsumen untuk menghasilkan nilai tambah. Namun, prinsip value chain yang menjadi ciri ekonomi berbasis komoditi itu sudah berubah menjadi sistem platform. 

Van Alstyne, Parker, dan Choudary (2016) menjadikan contoh Apple yang menguasai industri ponsel karena kesuksesan mereka dalam menciptakan platform yang menciptakan efek jaringan (network effect). Apple menjadi raja bukan karena kesuksesannya dalam menguasai kekuatan industri lain (five forces), seperti faktor konsumen, kompetitor, produk substitusi, atau supplier. Dengan sistem platform, Apple malah memberi manfaat bagi kelima kekuatan industri tersebut. Sebab jualan utama Apple bukan fisik ponselnya, melainkan sistem dari iPhone. 

Lewat sistem iPhone, supplier konten bisa menawarkan produknya di iStore. Sedangkan konsumen mendapat tak hanya ponsel, tapi pilihan program dan aplikasi yang menarik. Konsumen pun disajikan ponsel yang berisi pasar produk aplikasi digital yang bisa mereka beli. Walhasil, sistem ekonomi yang berbasis internet yang mengandalkan interaksi antarfaktor industri (konsumen-supplier), telah menggantikan industri berbasis komoditas yang sifatnya kontrol terhadap faktor industri. 

Prinsip ekonomi berbasis internet ini adalah bagaimana sebuah perusahaan mampu menciptakan ekosistem digital. Ini seperti Apple yang dengan iPhonenya mampu membentuk ekosistem digital yang terdiri dari provider selular, supplier aplikasi digital, dan konsumen. Ekosistem inilah yang membentuk iPhone bukan sekadar produk ponsel melainkan platform digital.

Platform digital inilah yang membuat iPhone menjadi raja industri ponsel hanya dalam waktu kurang dari delapan tahun. Semakin tinggi pembeli iPhone maka akan berimplikasi pada semakin tingginya pengembang aplikasi yang masuk ke toko aplikasi iPhone. Akumulasi ini menghasilkan efek jaringan (network effect) yang menghasilkan nilai tambah yang semakin besar bagi iPhone. Per Januari 2015, tercatat sekitar 1,4 juta pengembang aplikasi yang aktif di iStore dengan nilai pemasukan sebesar 25 miliar dolar AS untuk pengembang. 

Keuntungan yang merata bagi setiap pihak ini yang menjadi kunci dari sebuah platform digital. Hal ini menggantikan prinsip lama dalam pasar ekonomi berbasis komoditas yang mana pihak yang unggul adalah pihak yang mendominasi atau menguasai pihak lain. Keuntungan yang dihasilkan pemilik platform sulit diukur dengan nominal mata uang semata. Data yang didapat pemilik platform memiliki dampak ekonomi yang tak ternilai. 

Dengan basis data yang kuat, maka Apple mampu dengan leluasa mengembangkan usahanya ke industri lain. Sebagai contoh, dengan mudah Apple 'menginvasi' industri jam tangan. Secara cepat, mereka mampu menyaingi Swatch sebagai raksasa dalam industri jam tangan. Semua itu karena basis data yang sangat besar milik platform Apple. Dengan basis data itu, Apple mengetahui kecenderungan arah, minat, dan perubahan industri secara tepat dan akurat. 

Contoh dari Apple ini bisa kita refleksikan pada konteks Indonesia. Layaknya apa yang disampaikan Presiden soal pergeseran ekonomi berbasis internet, maka pertanyaannya di mana posisi kita? Apakah Indonesia telah mengembangkan ekonomi berbasis platform? Apakah kita pemilik jaringan/penguasa data? Atau sebaliknya, apakah kita sekadar konsumen yang datanya dimiliki oleh perusahaan asing? 

Pada titik inilah pernyataan Presiden jadi sangat penting. Sudah saatnya perusahaan-perusahaan Indonesia bergerak dengan mindset ekonomi berbasis teknologi. Jangan sekadar terjebak fatamorgana ekonomi komoditas yang hanya berpatokan rantai nilai. Sebab yang tak kalah penting adalah bagaimana menciptakan rantai jaringan digital. 

Jika rantai jaringan digital mampu diwujudkan, maka perusahaan berpotensi mendapat nilai tambah dari segala lini atau industri. Sebagai contoh, sudah saatnya bagi perusahaan karya nasional mengembangkan sistem platform digital terkait konstruksi. Platform yang bisa mempertemukan supplier lokal kecil dengan konsumen yang membutuhkan jasa konstruksi. Atau perusahaan sektor tani nasional yang bisa mengembangkan platform pertanian digital yang terdiri dari petani lokal sebagai supplier dan konsumen. 

Dengan sistem platform, perusahaan juga mesti siap mengubah paradigmanya dari kontrol menjadi orkestrasi terhadap sumber daya. Selama ini kita mungkin berpikir sumber daya utama adalah aset atau produk kita yang unik dan berbeda dari pesaing. Tapi dalam ekonomi berbasis teknologi, pengertian aset jadi berubah 180 derajat. Apakah Airbnb dan Uber memiliki aset gedung, kamar hotel, atau kendaraan? Tentu tidak. Yang mereka miliki adalah jaringan data. Dengan orkestrasi jaringan data itu, maka keuntungan yang dihasilkan Airbnb dan Uber mampu menumbangkan raksasa industri yang memiliki ribuan tower gedung maupun unit kendaraan sekalipun. 

Sistem ekonomi berbasis teknologi juga mendorong perusahaan untuk siap mengubah paradigma dari optimalisasi internal menjadi interaksi eksternal. Sebab kini keunggulan bukan diciptakan oleh perusahaan sekadar memiliki internal yang mahir menciptakan atau memasarkan produk. Kini eranya perusahaan mampu menciptakan platform yang bisa membuat pihak luar (eksternal), seperti supplier dan konsumen, terus berinteraksi. 

Selain itu, paradigma lain yang mesti berubah adalah bagaimana perusahaan mengubah nilai dari berbasis konsumen menjadi berbasis ekosistem. Jika dahulu nilai dari konsumen adalah yang utama, maka kini nilai dari seluruh peserta ekosistem yang utama. Karena itu tak heran Gojek mampu besar bukan sekadar memperhatikan kepentingan penumpang, melainkan juga driver. 

Dalam konsep platform, pemilik harus bisa memastikan bahwa peserta ekosistem yang terdiri dari provider, supplier, atau konsumen sama-sama mendapat manfaat. Jika tidak, maka provider dan supplier berisiko mengembangkan platform sendiri dan berkembang menjadi rival baru. Salah satu contohnya adalah Netflix yang dahulunya adalah provider dari perusahaan platform telekomunikasi kini justru mengembangkan platform sendiri. Di sisi lain, jika kualitas provider dan supplier menurun, maka ancamannya konsumen akan beralih ke platform digital lain. 

Terlepas dari segala posibilitas itu, pertanyaan besarnya di mana posisi Indonesia dalam perang ekonomi berbasis teknologi? Apakah dengan 260 juta penduduk kita adalah subjek yang terlibat dalam 'perang' ataukah justru sekadar objek yang diperebutkan?

*Wartawan Republika dan Mahasiswa Pasca Sarjana FEB UI  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement