Jumat 05 Mar 2021 09:21 WIB

Mengevaluasi Kinerja Kapolri

Belum pernah ada evaluasi akhir masa jabatan kapolri tentang seluruh rancangan kerja.

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyampaikan keterangan pers saat bersilaturahmi di Kantor Pusat PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (29/1/2021). Silaturahmi tersebut dalam rangka menjaga sinergitas dan soliditas yang selama ini sudah terjalin antara Polri dan Muhammadiyah.
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyampaikan keterangan pers saat bersilaturahmi di Kantor Pusat PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (29/1/2021). Silaturahmi tersebut dalam rangka menjaga sinergitas dan soliditas yang selama ini sudah terjalin antara Polri dan Muhammadiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Rachman Thaha, Anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah

Tanggal 27 Februari 2021 lalu, genap satu bulan Jenderal Listyo Sigit menduduki jabatan penting sebagai Kapolri. Beberapa pekan silam boleh jadi saya merupakan orang pertama yang menyebut nama (saat itu) Komisaris Jenderal Listyo Sigit sebagai kuda hitam dalam ‘persaingan’ memperebutkan kursi Kapolri. Selisih satu hari kemudian giliran Bapak Reformasi, Muhammad Amien Rais, mengutarakan prediksi serupa.

Sebenarnya pemikiran saya saat itu lebih dari sekedar siapa nama yang akan diberikan kepercayaan oleh Presiden sebagai orang nomor satu di korps Tribrata. Pada skala jauh lebih luas, ada pandangan strategis dibalik penyebutan nama Listyo Sigit. Titik berangkatnya adalah fakta bahwa Komjen Listyo merupakan perwira tinggi bintang tiga berusia lebih muda dibandingkan para ‘kontestan’ lainnya.

Usia Kapolri memang sebaiknya cukup jauh dari usia pensiun. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan usia biologis (tahun kelahiran) maupun usia karir (angkatan). Tesis bahwa Kapolri sepatutnya berusia muda didasarkan pada argumentasi bahwa dengan peluang masa jabatan yang panjang, Kapolri akan dapat secara sungguh-sungguh dinilai kinerjanya.

Seandainya kinerjanya baik, ia layak untuk menduduki jabatannya. Sebaliknya, apabila performanya kurang memuaskan, maka bisa saja ia diberhentikan oleh Presiden tanpa harus ‘ewuh-pekewuh’ hingga tiba masa purnatugas sang Kapolri.

Ihwal evaluasi kinerja Kapolri menjadi semakin penting, karena pada kenyataannya hingga kini belum pernah ada mekanisme semacam itu dalam praktik kenegaraan di Tanah Air. Setiap calon kapolri pasti telah menempu proses penilaian oleh Presiden. Setelah Presiden memilih calon tertentu, si kandidat Kapolri juga masih harus menjalani uji kelayakan dan kepatutan di hadapan DPR RI.

Pada momen uji kelayakan itulah publik dapat menyimak paparan calon Kapolri tentang rencana kerjanya. Kendati uji kelayakan dan kepatutan itu terkesan kuat sebatas mengabsahkan pencalonan jago Presiden, namun prosesi tersebut mengirim pesan tentang perlibatan masyarakat dalam memilih sosok yang akan memimpin pelayanan, perlindungan, pengayoman, dan penegakan hukum.

Pada waktu-waktu sebelumnya, Polri pernah mengangkat tagline bervariasi sesuai rancangan masing-masing Kapolri. Misalnya, POLMAS alias perpolisian masyarakat. Contoh lain, PROMOTER atau profesional, modern, dan terpercaya.

Komjen Listyo pun mengintroduksi semboyan yang digadang-gadang akan menjadi kekhasannya, yakni PRESISI yang merupakan akronim prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan. PRESISI itu dituangkan Komjen Listyo dalam sebuah makalah berisi 120 halaman.

Bak koin bersisi dua, ada ekspektasi tinggi bahwa Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo akan menunjukkan perbedaan dibandingkan Polri masa lalu. Dengan kata lain, masyarakat menaruh harapan besar bahwa Jenderal Listyo akan membawa warna berbeda (dan istimewa!) ke dalam institusi Polri dan ke kualitas pelayanan bagi masyarakat. Pada sisi lain, terdapat pula pandangan-pandangan kritis khalayak luas yang harus disimak agar presentasi Komjen Listyo tidak sebatas indah pada tataran normatif lisan.

Yang menjadi persoalan adalah berdasarkan pengamatan saya sejak bertahun-tahun silam, belum pernah dilangsungkan evaluasi akhir masa jabatan tentang seberapa jauh masing-masing Kapolri telah atau belum berhasil merealisasikan seluruh rancangan kerja yang dipaparkannya sebelum dilantik. Karena tidak ada evaluasi semacam itu, maka ‘wajar’ bahwa setiap kali terjadi pucuk kepemimpinan Polri, masyarakat benar-benar tidak memperoleh kepastian, atau gambaran mendekati definitif, tentang bagaimana sesungguhnya kualitas kerja institusi Polri selama dikomandoi oleh Kapolri yang bersangkutan.

Kesenjangan antara awal masa jabatan (pra-menjabat) dan akhir masa jabatan itu perlu diatasi. Sudah menjadi aturan main universal yang dianut oleh organisasi-organisasi modern, bahwa—antara lain—organisasi sepatutnya mengadakan wawancara saat personel baru masuk dan wawancara saat personel yang sama akan keluar (exit interview).

Anggaplah Presiden melakukan penilaian terhadap Kapolri dalam sebuah ruang tertutup. Namun penilaian serupa, ketika dilakukan oleh lembaga perwakilan, semestinya dilangsungkan secara terbuka. Oleh DPD dan DPR RI secara bersama-sama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement