Rabu 02 Dec 2020 09:52 WIB

Sejarah konflik Politik dan Oposisi Dalam Islam

Bagaimana sejarah Islam menyikapi konflik dan opisisi

Ilustrasi marching band Ottoman
Foto: wikipedia.org
Ilustrasi marching band Ottoman

REPUBLIKA.CO.ID, IHRAM.CO.ID, -- Oleh: Dr Ahmad Choirul Rofiq, Dosen IAIN Ponorogo

Ketika mendengar kata “oposisi”, orang biasanya langsung bersikap antipati dan sangat membencinya. Apalagi tatkala pembahasan tentang oposisi dikaitkan dengan pergulatan politik yang sering diidentikkan dengan upaya menghalalkan segala cara demi meraih maupun mempertahankan kekuasaan.

Dalam dunia politik memang selalu dijumpai perselisihan di antara penguasa dan oposisi. Di sinilah diperlukan solusi tepat untuk memecahkan permasalahan dan menemukan titik temu penyelesaian konflik politik. 

Namun penyelesaian konflik politik kadang menemui jalan buntu disebabkan sikap penguasa maupun oposisi yang menutup rapat-rapat pintu komunikasi demi mendapatkan solusi terbaik. Apalagi setelah konflik politik tersebut malah diperparah oleh provokator yang memiliki maksud jahat.

Ketika jalan damai gagal ditempuh, maka akibatnya bisa sangat fatal dan merugikan semua pihak yang saling berseteru. Korban pun berjatuhan, baik di pihak penguasa, oposisi, dan bahkan dari kalangan rakyat yanåg tidak berdosa.

Sejarah umat Islam mencatat konflik internal sesama kaum Muslimin ketika terbunuhnya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan pada 18 Dzulhijjah 35H (30 Mei 656M) di tangan oposisi yang selanjutnya diikuti perang Jamal (36H/656 M), perang Shiffin (37H/657M), dan perang Nahrawan (38H/658M). 

Kebuntuan penyelesaian konflik politik secara damai juga pernah terjadi pada masa Orde Lama di Indonesia. Di antaranya ialah timbulnya peristiwa pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera pada 1956-1961.

Menurut penelitian Eny May mengenai PRRI dan kegagalan penerapan sistem otonomi daerah, pada era Orde Lama telah ada tuntutan desentralisasi di kawasan luar Jawa kepada pemerintahan Soekarno karena pemerintah dinilai tidak serius melaksanakan Undang-Undang nomor 22 tahun 1948 tentang desentralisasi.

Pada 24 November 1956 masyarakat Sumatera dipimpin Letnan Kolonel Ahmad Husein melancarkan protes dan menuntut penyelesaian masalah pertahanan daerah, perbaikan keadaan sosial ekonomi daerah, dan perluasan pemberlakuan otonomi daerah. Saat itu Sumatera merupakan penyumbang keuangan yang sangat besar kepada pemerintah pusat. Namun realitanya wilayah itu ternyata hanya mendapatkan anggaran kecil untuk pembangunan daerah. 

Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan karya Lukman Hakiem menyebutkan bahwa pada 10 Februari 1958 kelompok oposisi menyampaikan Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara. Karena tuntutan tidak dipenuhi pemerintah, maka pada 1958 dibentuklah PRRI.

Pemerintah menjawab tuntutan mereka dengan operasi militer, meskipun ada penolakan terhadap respon pemerintah. Muhammad Hatta menyarankan penyelesaian secara dialogis dan damai. Beliau mengutuk proklamasi PRRI dan sekaligus tidak menyetujui serangan militer.

Perang sesama rakyat Indonesia berkobar pada Maret 1958 dan berakhir setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden RI tanggal 17 Agustus 1961 tentang pemberian amnesti dan abolisi. 

Mestika Zed menganalisis bahwa berdasarkan bukti-bukti yang tersedia, maka tidak ada maksud PRRI untuk mendirikan negara dalam negara, serta tidak ada tuntutan untuk menggulingkan pemerintah RI, kecuali mengajukan pemerintahan tandingan karena pemerintahan di Jakarta dianggap sudah inkonstitusional.

Menurut A.M. Fatwa, diperlukan waktu tujuh tahun sebelum akhirnya komunisme yang ditolak PRRI mengalami kehancuran serta dibutuhkan waktu lebih dari empat dasa warsa untuk merealisasikan  tuntutan PRRI mengenai otonomi daerah, perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah, dan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 

Salim Said mengatakan bahwa PRRI haruslah dilihat sebagai upaya untuk menyelamatkan Republik Indonesia yang terancam komunisme. Selain itu, dalam gerakan PRRI terdapat tokoh-tokoh yang telah berjasa besar kepada Indonesia. Misalnya, Sjafruddin Prawiranegara yang menjadi pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi pada 19 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949.

Demikian pula Mohammad Natsir yang pada 3 April 1950 berinisiatif menyatukan negara-negara Republik Indonesia Serikat sehingga pada 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno mengumumkan pembubaran RIS dan kembalinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itulah, pemerintah kemudian menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Mohammad Natsir pada tahun 2008.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement