Sabtu 31 Oct 2020 08:48 WIB

Pangkalan Militer Asing dan Ancaman China

Ancaman di laut China selatan serius, Indonesia harus segera bersikap

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan RI

Hari-hari terakhir ini media ramai memberitakan kunjungan Menlu Amerika Serikat Mike Pompeo ke Jakarta. Mr Pompeo bertemu Presiden Jokowidodo, Menlu Retno, ddan lainnya. Belum sebulan yang lalu Menhan Indonesia Prabowo Subianto berkunjung ke AS bertemu Menhan AS. Rangkaian kunjungan petinggi kedua negara itu tentulah amat penting sehingga mendapat tempat di media internasional. Umumnya dalam kerangka ketegangan AS- China, khususnya lagi ketegangan di Laut China Selatan (LCS). 

Saya mencoba mengingat ngingat kembali apa yang dulu saya dengar atau ketahui yang berkaitan dengan issue diatas. Mungkin ada mantan pejabat lain yang bisa melengkapinya. 

Kehidupan di LCS yang meliputi kegiatan maritim atau arus lalu lintas laut kapal-kapal perdagangan  internasional, dan ZEE yang sudah lama tertata dan relatif berjalan tenang atas dasar Konvensi Unclos 1982, akhir akhir ini menjadi ketegangan internasional karena kehadiran China Tiongkok yang mengklaim sepihak dan tidak mau tunduk pada kesepakatan internasional sesuai Unclos 1982 itu.

Negara negara ASEAN termasuk Indonesia dibikin  repot oleh ulah ambisius Tiongkok. Amerika Serikat yang selama ini menjaga stabilitas di LCS dengan kekuatan militer minimal, kini harus mengerahkan lebih banyak lagi kekuatan militernya untuk mengimbangi kekuatan militer China.

Ketegangan tidak terelakkan. Amerika Serikat dan negara negara ASEAN nampaknya sependapat bahwa aturan yang sudah berlaku di LCS itu tidak boleh diubah dan LCS tidak boleh dikuasai sepihak oleh Tiongkok. Sekali perubahan terjadi, bukan saja merugikan negara negara ASEAN tapi juga perdagangan internasional.

Lebih dari itu negara negara ASEAN akan kehilangan hak hak atau klaimnya selama ini atas LCS, dan bukan tidak mungkin akan menjadi kerugian permanen. Karena itu Indonesia dan negara negara ASEAN lainnya menolak tegas klaim China atas 90% LCS. 

Seingat saya, semasa Presiden Soeharto ancaman China itu sudah dirasakan atau sekurang kurangnya potensi ancaman China atas Natuna sudah terdeteksi. Tapi saat itu China belum sekuat sekarang. Dengan cerdasnya Pemerintah Orba saat itu mengundang (perusahaan) Amerika Serikat utk mengexplorasi gas alam yang ada di (perairan ) Natuna yg merupakan wilayah terluar Indonesia, yang saat itu mulai diklaim oleh China. 

Meski cadangan gas alam di Natuna luar biasa besarnya, awalnya tidak  ada perusahaan Migas yang berani (karena potensi gangguan oleh China), apalagi bila harus mengikuti pola bagi hasil yang berlaku saat itu seperti 65-35 atau 85-15. Tetapi Indonesia diam-diam memastikan bahwa harus perusahaan Amerika Serikat yang ke Natuna agar mampu menjaga keamanannya dari ancaman, gangguan atau klaim China.

Tetapi “gangguan” lain masih ada yaitu faktor kecepatan pemerintah untuk membuat keputusan masuknya perusahaan AS. Indonesia amat menginginkan agar segera ada  perusahaan besar Amerika Serikat yang bersedia membuat perjanjian dengan pihak Indonesia untuk mengexplorasi gas di Natuna yang saat itu masih betul betul remote dan belum ada apa apanya seperti sekarang ini. Belum ada Pemdanya.

Yang penting, bila ada perusahaan besar migas Amerika Serikat yang bersedia masuk untuk investasi di Natuna, berarti kedaulatan Indonesia atas Natuna diakui internasional. Maka diputuskanlah mencari perusahaan Amerika Serikat yg bersedia segera masuk ke Natuna mengexploitasi gas alamnya, dan negara rela tidak mengambil bagiannya. Kalau tidak salah ExxonMobil terpilih pada tahun 1980.

Tentu kontrak spesial itu ada jangka waktunya. Negara mendapatkan hak pajak lainnya dan keuntungan lainnya terutama keuntungan politis dan keamanan, yaitu Amerika Serikat ikut menjaga keamanan wilayah Indonesia tanpa pangkalan resmi militer Amerika di wilayah Indonesia. Hanya Armadanya saja yang aktif berlalu lalang untuk kepentingan keamanan bersama dengan negara negara ASEAN. 

Memanasnya situasi keamanan di Laut China Selatan beberapa tahun terakhir ini nampaknya akan mengubah peta politik. Lebih lebih setelah Tiongkok lebih memilih menancapkan kekuatan nyata militernya di LCS dari pada membawa kasus atau disputenya ke perundingan atau mahkamah internasional.

Amerika Serikat, —satu satunya negara yang mampu mengimbangi ancaman kekuatan China, — sibuk mengadakan komunikasi intensif dengan negara negara ASEAN.  Indonesia tentu bagian terpenting dari ASEAN. Makanya Menhan RI berkunjung ke Washington DC. Disusul dengan kunjungan  Menlu Amerika Serikat ke Jakarta. Pertemuan petinggi kedua negara ini nampaknya cukup produktif. Indonesia menegaskan sikapnya yang menolak klaim China. Negara ASEAN lainnya juga menolak klaim ambisius China atas LCS. 

Muncul issue perlunya pangkalan militer Amerika Serikat di ASEAN terutama di Indonesia sebagai negara terbesar yang paling terganggu dan paling dirugikan dengan klaim China itu. Selama ini issue pangkalan militer asing adalah issue yang sensitif. 

Tradisinya Indonesia dan negara negara ASEAN  tidak menginginkan adanya pangkalan militer asing. Khawatir kawasannya jadi ajang ketegangan atau peperangan. Tapi, meski tanpa pangkalan militer asing, ketegangan di LCS itu sudah terjadi. Kabarnya,  justru China yang sudah membangun pangkalan atau kekuatan militernya di kawasan LCS. 

Meski bukan pangkalan militer asing tapi kerjasama pertahanan adalah hal yang biasa. Termasuk latihan militer bersama, pertukaran training dan kerjasama pembuatan senjata. Perubahan situasi politik internasional yang terjadi akhir akhir ini tentulah harus di sikapi sesuai atau terukur seperti dulu Pak Harto mengamankan Natuna dari klaim China.

Bedanya, sekarang militer China sudah amat kuat dan ancaman yang dihadapi ASEAN sudah nyata. Jujur saja ASEAN tidak mampu menghadapinya. Tentulah semua kebijakan harus diukur dari kepentingan nasional dan ASEAN. Bila keadaan atau ancaman yang dihadapi sudah di luar kemampuan kita, pangkalan militer asing bukanlah hal yang tabu.

Bisa saja di mulai dulu dari atau bisa jadi sudah memadai  hanya dengan menyediakan wilayah untuk galangan perbaikan dan perawatan kapal kapal perang Amerika Serikat. Atau ASEAN yang menyediakan lahannya. Ataupun bila ada pangkalan militer tentulah dengan jangka waktu tertentu. Yang manapun secara ekonomi tentu bagus bagi Indonesia. Tapi yang terpenting, kehadiran pangkalan militer asing adalah harus demi keamanan nasional Indonesia. Satu dan lain hal karena memang telah terjadi perubahan keseimbangan global, baik politik, ekonomi maupun militer. 

Politik memang dinamis dan bergerak cepat. Makanya para pengambil keputusan juga harus  bergerak cepat sebab ancaman yang di hadapi Indonesia memang nyata dan serius.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement