Senin 29 Jun 2020 17:35 WIB

'Semua akan Virtual pada Waktunya'

Virtualitas kehidupan ini membuat sebagian pihak mengalami adiksi.

Makroen Sanjaya, Digital Defender/Pendiri Yayasan Cendekia Digital Indonesia.
Foto: dokpri
Makroen Sanjaya, Digital Defender/Pendiri Yayasan Cendekia Digital Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Makroen Sanjaya (Digital Defender/Pendiri Yayasan Cendekia Digital Indonesia)

Sejarah peradaban digital melesat di dekade kedua abad ke-21 ini. Gelombang revolusi digital itu, dimulai tepat di hari ke-15 bulan Maret 2020, tatkala Presiden Joko Widodo mengintrodusir frasa “bekerja dari rumah” (work from home/WFH). Frasa FWF itu meniscayakan semua aktivitas fisik mengancik ke aktivitas maya. 

WFH kemudian, bukan saja merontokkan ekonomi belaka, tetapi merevolusi kehidupan manusia dalam segala aspek budaya. Separuh pekerja kantoran WFH secara virtual. Seluruh pelajar/mahasiswa yang memiliki akses ke internet, belajar secara virtual. Ujian, wisuda atau graduasi pun secara virtual. Majelis pengajian, seminar, dan arisan atau perkumpulan yang biasanya menyesaki ruangan, berubah menihilkan presensi. Kehadiran fisik seluruhnya putar haluan menjadi virtual. Akibatnya, sepi di ranah fisik, tapi riuh di dunia maya.

Pertanyaan spekulatif layak diajukan di sini. Apakah dengan demikian pandemi Covid-19 ini menjadi faktor determinatif tunggal revolusi digital di Indonesia? Akankah setelah badai pandemi ini usai, revolusi digital akan terus melesat, lepas dari ‘busurnya’ seiring dengan era kenormalan baru? Dengan kata lain, akankah berbagai aspek kehidupan yang terlanjur berlangsung secara virtual, akan terhenti dan kembali ke realitas fisik (non-virtual) seiring berlalunya pandemi Covid-19 nanti? 

 Realitas virtual memang sejak lama bergaung lirih di ranah studi media. Tapi tak seorang pun mengira hingga awal 2020 lalu, bahwa internet mengelevasi secara massal aktivitas manusia akibat badai Covid-19 ini. Virtualitas kehidupan, yang bercirikan keterhubungan satu dengan lainya melalui aktivitas komunikasi manusia yang difasilitasi teknologi, memang sudah diintrodusir teoritisi komunikasi massa, Marshall McLuhan, 57 tahun silam.

McLuhan untuk kali pertama di tahun 1963, mengagregasi fenomena kecepatan ketersambungan komunikasi termediasi (mediated communication) melalui teknologi elektronik, yang disebutnya secara metaforik sebagai global village (kampung/desa global). Global village merupakan analogi bahwa dunia kelak akan menjelma menjadi sebuah desa raksasa, di mana manusia penghuninya saling terhubung secara komunikatif yang difasilitasi teknologi. “…dunia kita semakin padat dengan pembalikan dramatis. Sebagaimana dikontrak secara eletrik, bola bumi lebih dari sekadar sebuah desa. Kecepatan elektris dalam menyatukan semua fungsi sosial dan politik yang meledak secara mendadak, meningkatkan kesadaran manusia akan tanggung jawabnya...” (Understanding Media: The Extension of Man: 1964, 20).

Proyek ‘kecelakaan’ Internet

Metafora global village McLuhan ini, kemudian disusul mukjizat internet, hasil kerja bareng Advanced Research Projects Agency Network (ARPANET), Military Network (Milnet) dan sejumlah universitas, sebagai ekstensi proyek Defence Advance Research Projects Agency (DARPA) sejak 1958 hingga 1969. Semula, ketersambungan atau interkonektivitas komputer yang menghasilkan sistem internet, bukan merupakan produk utama proyek DARPA. Karena tujuan proyek pertahanan Amerika itu, dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap kemungkinan serangan Uni Sovyet dalam konteks perang dingin (cold war).

Proyek DARPA dimulai pada 7 Januari 1958, sebagai reaksi atas keberhasilan Uni Sovyet meluncurkan pesawat Sputnik ke luar angkasa pada 4 Oktober 1957. Internet sejatinya adalah produk sampingan (by-product) ARPANET dan Milnet. “Seperti yang sering terjadi dalam sejarah media, yang baru ini, hanyalah produk sampingan dari perkembangan militer,” demikian Roberto Simanowski dalam bukunya Waste. A New Media Primer (2018). 

Produk sampingan militer itu, yang semula tersambung ke lebih dari 500 unit komputer di berbagai kampus Amerika, ‘meluncur’ ke publik pada 1990. Awalnya akses internet ke ruang publik itu difasilitasi secara komersial oleh American OnLine (AOL), Yahoo, Amazon, dan eBay. Secara teknis, terma kunci pengembangan internet ini melibatkan apa yang disebut sebagai Usenet, file transfer protocol (FTP), transmision control protocol (TCP) dan world wide web (www). Tahun 1991, dokumen dapat ditautkan ke jaringan internet melalui teknologi hipertekstual yang dikenal sebagai Mosaic. Aplikasi yang dimulai 1993 inilah yang memungkinkan grafik dan elemen interaktifnya terharmonisasi dengan situs web. 

Selanjutnya para “ibu dan bapak” internet berdasarkan fenomena yang diabstraksikan melalui aplikasi kehidupan nyata, mengesktraksi seputar internet itu pada periode awal 1990an itu juga, berdasarkan riset masing-masing. Pada 1993 muncul konsep komunitas virtual (virtual community) oleh Howard Rheingold. Menurut konsep Rheingold, masyarakat virtual adalah replika masyarakat di dunia nyata. Masyarakat virtual atau maya itu juga beraktivitas, juga berkegiatan layaknya masyarakat nyata, mulai dari menjalin pertemanan, reuni, mencari kerja, pacaran, atau kegiatan lainnya. 

Berhimpitan dengan masyarakat virtual itu, muncul terma bit atau binary digit (satuan unit data terkecil dalam sistem komputasi) yang diluncurkan Nicholas Negroponte dalam Being Digital (1995). Konsep being digital Negroponte menekankan munculnya fenomena serba komputer kehidupan masyarakat Amerika. Di tahun yang sama, muncul istilah multi-users domains (MUDs), yang menempatkan manusia berada di ruang virtual oleh Sherry Turkle dalam Life on the Screen (1995). Selanjutnya sosiolog Manuel Castells pada 1996 melansir The Rise of the Network Society, yang didalamnya mengupas terma setarikan nafas dengan global village, melalui istilah masyarakat berjaringan (network society). 

Paling mutakhir, pakar media sosial dari Westminter College, Kathy Brittain Richardson, pada 2010 memetafora sekumpulan pegiat media sosial dalam realitas virtual, seolah sebagai masyarakat yang hidup endemik di sebuah kampung virtual (life in the virtual village). “Bayangkan komunitas online sebagai jenis desa virtual yang dibuat oleh dan di dalam berbagai jenis media sosial,” demikian Richardson dalam Social Media and the Value of Truth (Beasly & Haney, 2010). 

Richardson menggarisbawahi, desa virtual yang dia maksud untuk menggambarkan “masyarakat media sosial”, mengacu metafora global village McLuhan. Adapun yang dimaksud aktivitas warga desa virtual itu, digambarkan Richardson dengan mengutip Ridding et al (2002) adalah "kelompok orang dengan minat dan praktik yang sama, yang berkomunikasi secara teratur dan selama beberapa waktu dalam suatu cara terorganisir melalui Internet, melalui lokasi atau mekanisme umum.” 

Dengan demikian, para cerdik cendekia di dunia internet itu, sedari awal secara implisit sudah mengimajinasikan realitas serba virtual, yang intinya tidak mempersoalkan teritorial lokal bahkan global, seperti yang dimulai semester pertama 2020 ini. Terdapat sejumlah kata kunci (key word) yaitu global, virtual, digit (al), dan jaringan. Semua kata kunci itu mengacu kepada ketersambungan yang menihilkan batas fisik, berlangsung secara maya, difasilitasi digit biner dan bersifat berjaringan. Pandemi Covid-19 yang dinyatakan oleh WHO sejak 12 Maret 2020, hanya sebagai pemicu dan mesin akselerator yang kian mendorong virtualisasi kehidupan. Manusia terdesak oleh PSBB, karantina kesehatan atau lockdown, semakin mendayagunakan internet dalam rangka membantu sekaligus modus untuk bertahan. 

Siapa diuntungkan?

Virtualisasi kehidupan manusia di masa pandemi Covid-19 ini, pada beberapa aspek membantu, memudahkan atau bahkan menguntungkan banyak pihak. Pun virtualitas kehidupan ini membuat sebagian pihak mengalami adiksi. Kebanyakan orang biasanya mengikuti seminar fisik mungkin satu tahun atau satu bulan sekali. Dengan webinar, orang bisa saja sepekan dua kali mengikuti aneka webinar, yang promosinya bertebaran di berbagai grup WhatsApp (WAG). 

Dalam konteks komunikasi publik, misalnya, selain komunikator lebih independen (tidak hanya tergantung kepada organisasi media), juga lebih mudah melakukan diseminasi informasi. Di ranah ruang publik wacana, kegiatan webinar jauh lebih efisien dan efektif dibanding dengan seminar fisik. Perusahaan formal di bidang media komunikasi, tetap dapat beroperasi dengan keluaran (out-put) normal, kendati dioperasikan oleh setengah pekerjanya karena kebijakan work from home (WFH). Fenomena virtualitas kehidupan masyarakat ini, juga menyelipkan pesan, hanya mereka yang memiliki kompetensi digital, yang menjadi penyintas kehidupan sosial.

Semua fenomena ini menjadi tengara bahwa dengan difasilitasi internet (virtual), penggunaan sumber daya (resources) bisa dikurangi. Artinya, biaya memang bisa ditekan, tapi ada sejumlah orang, yang jika entitas usaha hanya mengalkulasi bisnis semata, akan kehilangan pekerjaan. Para pemilik kapital, dipastikan kian meraih keuntungan, hasil usaha yang pada galibnya adalah proses mengakumulasikan modal.

Webinar dan rapat kerja virtual, telah mengosongkan ruang-ruang pertemuan di sejumlah hotel. Pembelajaran jarak jauh (PJJ), membuat ruang kelas kosong. Pelajar, mahasiswa, guru dan dosen, jadi malas gerak alias mager di rumah masing-masing. Hiruk pikuk di sekolah dan kampus berubah menjadi sunyi senyap. Karena WFH dan PJJ itu, konsumsi BBM turun dan udara lebih segar. Tapi sopir ojek, taksi dan mobil pribadi, ketar-ketir akan kehilangan penghasilan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement