Ahad 03 May 2020 14:16 WIB

Membaca atau Mati

Selalu ada harga yang harus dibayar dari kondisi ketidaktahuan.

Membaca dengan tertib sebagai bentuk disiplik (ilustrasi).
Foto: dompet dhuafa
Membaca dengan tertib sebagai bentuk disiplik (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rina Heryani*

Ungkapan “membaca atau mati”, agaknya mengandung impresi yang terlalu berlebihan (exaggerated). Namun sejatinya, secara teoritis sangat mungkin ditemukan representasinya dalam realitas.

Sebagai contoh, seseorang yang tidak membaca tulisan “awas anjing galak”, dapat berpotensi terkena gigitan anjing, kemudian menyebabkan kematian. Demikian pula orang yang tidak pernah membaca tentang bahaya covid-19, kemudian sama sekali tidak mengindahkan anjuran physical distancing, maka ia berpeluang terpapar, dan menyebabkan kematian.

Tragedi sejenis bisa pula terjadi pada banyak kasus lain. Pada kasus merokok, minum alkohol, dan masih banyak lagi.

Memang, tidak semudah itu orang mengalami kematian hanya lantaran tidak mau membaca. Meski faktanya ada saja kasus demikian.

Namun, anggaplah itu hanya kasuistis, dan tidak menjadi fenomena jamak. Itulah mengapa saya memberi tanda petik terhadap kata “mati”. Istilah substitusinya bisa variatif, namun dapat dipastikan bertendensi negatif. Sekurang-kurangnya, dengan tidak membaca, kita menjadi ketinggalan informasi. Bagaimana jika informasi tersebut krusial, atau berhubungan dengan keselamatan jiwa?

Seorang siswa yang tidak membaca materi pelajaran kemudian mengikuti ujian. Misalnya tidak menutup kemungkinan memperoleh nilai rendah. Barangkali itu konsekuensi teringan dari kemalasan membaca.

Selalu ada harga yang harus dibayar dari kondisi ketidaktahuan (lack of knowledge). Dalam perspektif ilmu ekonomi, ketidaktahuan menciptakan biaya (cost).

Beberapa perusahaan raksasa mengalami kebangkrutan bukan karena mereka berbuat kesalahan, melainkan karena mereka tidak mau “membaca” tren. Ini bukti bahwa yang berpeluang mati bukan hanya manusia, tapi juga bisnis. Termasuk pendidikan. Dalam hal ini, sekolah-sekolah swasta tradisional yang tidak mampu membaca perubahan zaman dan tidak mau bertransformasi menjadi sekolah modern, terbukti banyak yang berguguran.

Doktrin Membaca

Aktivitas “membaca” (to read), sejatinya hanyalah salah satu metode yang merepresentasikan kegiatan “belajar” (to learn). Membaca adalah instrumen belajar manusia paling dasar sekaligus paling kuno. Meski kita tahu hari ini instrumen belajar sudah jauh lebih maju (advance), sebutlah melalui audio-visual, tapi keterampilan membaca seharusnya tetap dijadikan sebagai fondasi. Terutama bagi para siswa di sekolah.

Namun faktanya, minat baca siswa dan masyarakat kita secara keseluruhan masih berkategori rendah. Siapa pun bisa mencari berbagai riset tentang minat baca, dari beragam versi. Hasilnya nyaris serupa, bahwa peringkat minat baca bangsa ini berada di bawah. Sebutlah misalnya, hasil riset bertajuk World's Most Literate Nations Ranked yang diselenggarakan oleh Central Connecticut State Univesity tahun 2016, dinyatakan Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca.

Kondisi ini, memang bukan cerita baru. Tapi jangan pula terlalu sering memaklumi realitas. Para pembuat kebijakan dan praktisi literasi harus berikhtiar lebih keras.

Gerakan Literasi Nasional (GLN), baik yang di sekolah maupun yang di masyarakat luas, harus dikaji efektivitasnya, kemudian diperbaiki dan ditingkatkan. Keterampilan membaca yang merupakan fondasi literasi paling dasar, harus dijadikan prioritas. Jika fundamental skill ini kuat, kemungkinan literasi menulis dan lainnya akan mengikuti.

Untuk itu, kesadaran akan urgensi membaca harus diinstal sejak dini di kepala semua anak Indonesia. Mungkin belum perlu dilakukan dengan strategi yang terlalu radikal, misalnya dengan membuat slogan “membaca atau mati” (read or die). Ungkapan tersebut tampaknya terlalu berlebihan, mungkin juga terkesan “fasis”, tapi tidak ada salahnya dicoba.

Dalam kondisi krisis literasi, bahkan darurat literasi terutama dalam hal minat baca, menciptakan narasi-narasi doktrinal semacam ini boleh jadi akan lebih berdampak. Seperti pahlawan kita dulu memiliki doktrin “merdeka atau mati”.

Dalam situasi krisis akibat pandemi seperti hari ini, kesadaran dan semangat untuk membaca sangat diperlukan. Bahkan, seharusnya kebutuhan tersebut menjadi dua-tiga kali lipat dibanding kondisi normal.

Untuk itu, para orang tua harus mendorong anak-anak mereka untuk meningkatkan minat baca selama belajar di rumah. Mereka harus menyadari, sebagaimana dikatakan oleh Anderson, et.al (1985) sejak beberapa dekade lalu, bahwa membaca adalah keterampilan hidup dasar (basic life skill). Ia adalah modal untuk menjalani hidup dan kehidupan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement