Sabtu 18 Sep 2021 03:01 WIB

Kuasa Viral dan Cerita Pilu Anak-anak Kita

KPI pun meminta maaf soal Saipul Jamil setelah kebijakannya viral diprotes masyarakat

Pedangdut Saipul Jamil saat disidang di pengadilan. (foto ilustrasi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Pedangdut Saipul Jamil saat disidang di pengadilan. (foto ilustrasi)

Oleh : Agus Rahardjo, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Video seorang anak perempuan tengah meronta dan menjerit dikelilingi beberapa orang dewasa di jagat maya menggegerkan masyarakat kita belakangan ini. Dalam adegan video tersebut, terlihat seorang perempuan dewasa, yang ternyata merupakan ibu dari si anak, berupaya mencungkil mata kanan anak.

Adegan dalam video diduga terjadi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Sedangkan anak perempuan yang menjadi korban diketahui masih berusia enam tahun. Para orang dewasa dalam video itu ternyata keluarga dari si anak sendiri.

Adegan demi adegan tak lazim itu sebenarnya tak layak disebut kehidupan dalam sebuah keluarga. Bahkan, informasi yang beredar mengungkap, kejadian penganiayaan tersebut dilakukan usai pemakaman kakak dari anak perempuan di video. Sang kakak diduga meninggal akibat dicekoki air garam dua kilogram kedua orang tuanya.

Berbeda dengan sang kakak, si adik, anak perempuan malang tersebut bisa diselamatkan pamannya. Pada posisi ini, penulis menduga, paman yang menyelamatkan gadis kecil malang tersebut menjadi orang paling waras dalam keluarga itu. Setidaknya jika berkaca pada adegan miris upaya pencungkilan mata anak.

 

Kasus penganiayaan yang keji terjadi juga di Kecamatan Muarasabak, Jambi. Seorang ayah berinisial F (37) tega menganiaya anak kandungnya yang baru berusia enam tahun. Lebih ironis lagi, usai menganiaya, sang anak dilemparkan ke tepi Sungai Telukdawan. Padahal, masyarakat setempat mengenal sungai ini sebagai habitat buaya liar.

Aksi sadis ayah ke anak ini juga berhasil direkam salah seorang warga. Videonya kemudian viral di jagat maya. Polisi kemudian bertindak. Sang ayah langsung diamankan pihak kepolisian. Atau lihatlah kasus penganiayaan balita di Tangerang Selatan yang diduga dilakukan tantenya sendiri. Berdasarkan pengakuan ke polisi, pelaku yang berusia 41 tahun sudah setahun ini menganiaya keponakannya sendiri yang belum genap lima tahun.

Kasus ini berhasil diungkap setelah asisten rumah tangga pelaku merekam kejadian nahas tersebut. ART yang tidak tega dengan korban memberikan rekaman video penganiayaan pelaku ke guru playgrup korban. Dari sinilah kemudian ada laporan ke kepolisian. Beberapa kasus penganiayaan anak tersebut berhasil diungkap melalui rekaman video. Apakah hanya kasus itu yang terjadi? Tentu tidak. Banyak kasus yang tidak terekam kamera dan viral. Peristiwa itu hanya sebagian yang secara ‘kebetulan’ viral dan ramai diperbincangkan warganet.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, selama Januari-Juni 2021, terjadi pelaporan 48 anak menjadi korban kekerasan, baik fisik maupun psikis. Merunut data KPAI, saban tahun, pelaporan anak menjadi korban kekerasan sangat mengkhawatirkan. Pada 2020, sekitar 368 laporan masuk ke KPAI. Setahun sebelumnya, 2019, jumlah aduan ke KPAI mencapai 189.

Kondisi tak jauh beda juga dicatat KPAI dari anak menjadi korban kejahatan seksual. Sejak Januari-Juni tahun ini, tercatat 95 aduan anak menjadi korban kekerasan seksual. Bahkan, pada 2020 lalu, sebanyak 419 anak dilaporkan menjadi korban kekerasan seksual. Lebih menyedihkan lagi, di tahun itu juga muncul aduan sebanyak 20 anak menjadi korban sodomi atau pedofilia.

Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPA) memiliki catatan berbeda soal kejahatan terhadap anak. KemenPPA mengakui adanya peningkatan kasus sejak tahun 2019 hingga 2021. Dari catatan KemenPPA, kekerasan terhadap anak terjadi 11.057 dengan jumlah korban mencapai 12.285 anak. Setahun berselang, muncul 11.278 kasus dengan 12.425 korban. Sementara, sejak Januari hingga Juli 2021, tercatat sudah ada 7.089 kasus dengan 7.784 anak menjadi korban.

Penulis menduga, kasus-kasus yang belum tercatat, tidak tercatat, maupun tidak viral lebih banyak lagi. Kasus pencabulan terhadap anak misalnya, beritanya wara-wiri di media massa maupun media sosial. Yang paling mencuat, memang kasus yang menjerat pedangdut Saipul Jamil beberapa tahun silam. Selama beberapa waktu, kita dijejali kisah dan kasus mantan suami Dewi Persik itu dilayar kaca.

Penonton, korban, maupun masyarakat bisa bersorak ketika pengadilan menjatuhkan hukuman penjara pada Saipul Jamil. Hingga dia bebas beberapa waktu lalu. Lalu muncullah persoalan baru pada hari pelaku kejahatan seksual terhadap anak itu dibebaskan. Sebagian masyarakat Indonesia memang pemaaf, misalnya pada koruptor, tetapi bukan kepada predator anak.

Lucunya, hari dimana Saipul Jamil dibebaskan seolah menjadi tikaman kedua bagi korban. Ia layaknya pahlawan, dikalungi bunga, disambut dengan tayangan bak atlet Olimpiade yang berhasil memulangkan medali ke Tanah Air. Bisa jadi, korban Saipul Jamil menonton orang yang pernah ‘menikam’ psikologisnya dengan apa yang sudah dilakukan pelaku. Atau sangat mungkin anak-anak yang bernasib sama dengan korban Saipul Jamil juga menyaksikan suguhan predator disambut bak artis tak kenal cela.

Ironi bertumpuk, ketika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan Saipul Jamil boleh tampil di layar kaca untuk melakukan edukasi. Meskipun, akhirnya KPI minta maaf. Itupun setelah melihat banyaknya masyarakat yang menandatangani petisi boikot Saipul Jamil yang menembus angka di atas 500 ribu orang.

Kondisi ini agaknya memang kerap terjadi di Indonesia. Prinsipnya, viral dulu, perbaiki kemudian. Ramai dulu, ralatnya menyusul. Selama buzzer tak dilibatkan, aspirasi bisa didorong untuk direalisasikan. Jangan sampai, luka korban yang sudah perih, kembali disiram air garam dengan membesar-besarkan nama pelaku seolah dia tak pernah salah. Bisa jadi, kadar malu kita mulai berkurang. Malu pada agama, pada hukum, atau malu pada norma. Sehingga, butuh kuasa viral untuk bisa didengar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement