Senin 12 Mar 2018 07:00 WIB

Ribut-Ribut Soal Cadar, Belajarlah ke UMM!

Polemik berakhir dengan keputusan legawa Prof Yudian menganulir keputusannya sendiri.

Tiga mahasiswa UMM, tidak memakai jilbab, berjilbab, dan memakai cadar di kampus (Foto: Erik Purnama Putra/Republika)
Foto: dok. Istimewa
Tiga mahasiswa UMM, tidak memakai jilbab, berjilbab, dan memakai cadar di kampus (Foto: Erik Purnama Putra/Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erik Purnama Putra*

Belakangan ini, isu pemakaian cadar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo (UIN Suka) menjadi perbincangan di publik. Kebijakan Rektor UIN Suka Prof Yudian Wahyudi melarang pemakaian cadar, menimbulkan kontroversi. Bahkan, isu itu seolah menyita perhatian warganet yang membahas kebijakan UIN Suka, yang dianggap antikeberagaman. Bahkan, ada yang mengait-kaitkan kebijakan itu sebagai bentuk pengekangan hak asasi manusia (HAM).

Apalagi, Rektor UIN Suka sempat akan melakukan pembinaan dan menyebut cadar identik dengan pengikut ideologi tertentu alias ekstremis agama Islam. Pernyataan itu semakin menggelinding, seolah menjadi bola panas yang ditanggapi berbagai pihak. Hingga pada akhirnya, Prof Yudian Wahyu mengeluarkan surat bernomor B-1679/Un.02/R/AK.00.3/03/2018 mencantumkan perihal dengan keterangan Pencabutan Surat Tentang Pembinaan Mahasiswi Bercadar tertanggal 10 Maret 2018. Otomatis Surat Rektor No B-1301/Un02/R/AK.00.3/02/2018 tentang Pembinaan Mahasiswi Bercadar tidak berlaku lagi.

Prof Yudian membenarkan, pencabutan aturan itu berdasarkan hasil rapat koordinasi universitas (RKU) pada Sabtu, 10 Maret 2018. Disebutkan pula, alasan pencabutan dilakukan demi menjaga iklim akademik yang kondusif. Keputusan itu jelas sangat tepat. Sejak pelarangan mahasiswa memakai cadar menjadi isu nasional, sudah tidak terhitung lagi berapa tokoh dan politikus yang ikut nimbrung mengomentari isu tersebut. Keberadaan UIN Suka akhirnya mendapat sorotan tajam.

Bahkan, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X ikut menyayangkan kebijakan itu, lantaran tidak ada pelarangan penggunaan cadar di wilayahnya. Sepertinya, pimpinan UIN Suka melihat dinamika di luar yang seolah akan menjadi peluru tajam yang siap menghunjam ke dalam kampus kalau tidak direspon dengan cepat.

Akhirnya, polemik itu berakhir dengan keputusan legawa Prof Yudian menganulir keputusannya sendiri. Alhamdulillah, masalah di dunia akademik yang tak perlu itu memang harus diakhiri. Dengan begitu, mahasiswa UIN Suka kini bisa belajar dengan tenang dan berkonsentrasi untuk mengejar gelar akademiknya.

Gara-gara masalah cadar, penulis jadi teringat dengan sebuah foto yang penulis ambil medio 2009. Foto itu penulis ambil menjelang kelulusan dari kampus. Yup, saat itu penulis merasa beruntung bisa mengabadikan tiga teman sekelas dan seangkatan yang sedang berjalan bareng di depan Gedung Kuliah Bersama (GKB) I Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Yang menarik dari tiga foto tersebut, ialah ketiganya sama-sama pemeluk agama Islam, namun memiliki gaya penampilan berbeda. Panggil saja ketiganya itu dengan nama Dwi, Tia, dan Astrid.

Dwi tidak memakai jilbab, Tia memakai jilbab, sementara astrid mengenakan cadar. Mereka bertiga bisa akrab berkawan tanpa adanya prejudice terkait pakaian yang dikenakan di kampus. Pun dengan kawan-kawan kelas maupun lain kelas, juga tidak menaruh curiga yang berlebihan dan tak merasa risih dengan Astrid.

Malahan, hingga kini, sepengetahuan penulis, ketiga orang itu tetap istiqomah di jalam masing-masing. Maksudnya, Dwi tetap tidak berjilbab, Tia konsisten berjilbab, sementara Astrid terus mengenakan cadar.

Ketiga rekan penulis itu merupakan mahasiswa Fakultas Psikologi 2005. Di UMM, rektor kala itu, Muhadjir Effendy dan sepertinya diteruskan hingga sekarang, tidak membuat kebijakan mewajibkan mahasiswa perempuan untuk berjilbab. Sebuah kebijakan yang cenderung berbeda dengan mayoritas universitas Muhammadiyah di seluruh Indonesia.

Namun, ketika masuk bulan Ramadhan, seluruh mahasiswa perempuan diwajibkan mengenakan penutup kepala alias kerudung. Bahkan, mereka yang non-Muslim pun melakukan hal itu. Sama seperti ketika mengikuti mata kuliah Al Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK).

Yang unik, meski tidak ada kewajiban pemakaian jilbab, namun teman sekelas maupun lain kelas penulis, ketika mendaftar masuk UMM tidak berjilbab, ketika lulus mayoritas mengenakan jilbab. Sebuah fenomena luar biasa, yang perlu ditelaah lebih lanjut. Belajar dari peristiwa itu, tampak jelas sekali tiadanya pemaksaan aturan malah membuat semakin banyak mahasiswa perempuan yang berjilbab, entah karena terpengaruh lingkungan sekitar atau ada faktor lain.

Pun dengan kebijakan UMM yang tak pernah melarang mahasiswa perempuan mengenakan cadar, juga patut diapresiasi. Hal itu membuat mahasiswa pemakai cadar bisa nyaman dan merasa senang dan bangga dengan kampus. Karena itu, sudah tidak pada tempatnya sebuah kampus mencurigai dan mengaitkan pakaian mahasiswa perempuan dengan aktivitas terorisme lantaran malah bisa menjadi blunder dan mendatangkan citra buruk bagi institusi terkait.

Apalagi, UIN Suka selama ini diidentikkan sebagai kampus penghasil pemikir liberal. Kok, malah alergi dengan pemakaian cadar?

*) Penulis adalah wartawan Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement