Senin 01 Aug 2016 10:36 WIB

Mengenang Budaya Cina dari Napak Tilas Laksmana Cheng Ho

Laksamana Cheng Ho atau Zheng He (ilustrasi).
Foto: Antara/R. Rekotomo
Warga keturunan Tionghoa membakar replika kapal dan patung kertas pada ritual Ci Swak di Klenteng Sam Poo Kong, di Semarang, Senin (22/2)

Soal sejarah Cheng Ho sendiri, sudah pasti diskusi berlangsung seru, penuh pro dan kontra, dan cukup atraktif. Tetapi yang menarik justru paparan Harjanto Halim, Ketua Komunitas Pecinan Semarang Untuk Wisata. Dia membawa sapu lidi dan celana sarung, baju merah bermotif Tiongkok dan serban Arab.

Apa maksudnya? Sapu lidi ini, rupanya yang akan dipakai oleh sekitar 50 orang anggota Kopi Semawis untuk ikut menjadi penyapu di depan arak-arakan Karnaval Cheng Ho dari Klenteng Tay Kak Sie di Gang Pinggir, ke Klenteng Sam Poo Kong di Gedung Batu, Simongan, Semarang. “Konon, ini punya makna, punya filosofi. Yakni untuk membersihkan diri dari segala sengkolo atau hambatan dan persoalan hidup,” ujar Halim.

Halim juga menjelaskan soal Pasar Gang Baru, Pasar Tradisional dan Tempat Favorit di Pecinan yang direlokasi untuk pemukiman orang Tionghoa sejak tahun 1741 oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Dulu mereka berada di Simongan, dekat Sam Poo Kong, tetapi dipindahkan semula di satu wilayah yang dekat Kota Lama, markasnya Belanda, agar mudah memantaunya. “Sampai sekarang pasar Gang Baru ini menjadi pasar tradisional paling hidup budayanya,” kata Halim.

Segala masakan yang berbasis Cina pun banyak ditemukan di sini, karena awalnya memang dari sini. Seperti Leonpia atau dalam sebutan Jawa dilafal Lumpia. Ada kue moci, wingko babad, dan banyak makanan khas yang berasal dari Tiongkok. “Sekarang penjual dan pembelinya lebih banyak orang Semarang, berbaur dalam satu budaya di sana,” kata dia.

Halim juga melihat akulturasi kuat di kesenian, seperti liong dan barongsai yang selalu tampil bersama dalam satu panggung dengan Warak Ngendok. Warak itu, simbul akulturasi, patung binatang berkepala singa (Cina), berleher panjang (Arab) dan bertubuh seperti kambing (Jawa). Tiga kebudayaan yang mempengaruhi Kota Semarang dengan sangat kental. “Dan itu hanya keluar saat sebelum bulan puasa tiba, diarak dalam sebuah karnaval juga sampai ke Masjid Alun-Alun Pasar Johar,” kata Halim.

Setiap malam Ahad dan Ahad malam, juga ada street food sepanjang jalan di kamping Pecinan Semarang. Semua jenis makanan ada, dan rasanya original semua, enak-enak. Tempat makan yang mirip Shilin di Taiwan itu sudah hidup sejak lama, dan konsumen atau penikmat warung yang menutup jalan di kota Pecinan lama itu kebanyakan puas dengan cita rasa yang ditawarkan. “Pintu Gerbangnya sudah menggunakan ornamen Cina, sumbangan Kemenpar,” kata Halim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement