Senin 30 May 2016 20:00 WIB

Beragama Islam Secara Luwes

Guru Besar University of Melbourne, Prof Abdullah Saeed di UMM.
Foto: UMM
Guru Besar University of Melbourne, Prof Abdullah Saeed di UMM.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Itsbatun Najih*

Setidaknya selama rentang dua abad terakhir, Islam kerap bersinggungan dengan beberapa tema sensitif. Islam dipandang kurang mengakomodasi peran perempuan di ranah publik--di tengah gebyar emansipasi dan kesetaraan gender. Di bidang sistem bernegara, bentuk ideal pemerintahan ala Islam diidentikkan Khilafah.

Implikasinya, demokrasi dicap bidah. Sedangkan pada ranah ekonomi, sebagian Muslim tampak gagap menghadapi model transaksi finansial kekinian yang tak bisa lepas dari perbankan konvensional--lantaran terkandung bunga bank yang mengarah terminologi riba, dan kata Alquran, riba adalah haram.  

Alquran sejak diturunkan 1400 tahun lalu, dipahami sebagian muslim generasi sekarang dengan kecenderungan masih mempertahankan secara rigid apa yang digariskan oleh generasi awal Islam (baca: tabi’in) dalam buku-buku tafsir klasik. Zaman ketika sistem budaya, sosial, perpolitikan sangat jauh berbeda ketimbang kondisi mutakhir kini.

Padahal, nilai-nilai sosial-budaya, sistem perekonomian, tata kelola perpolitikan telah berkembang meluas sedemikian rupa. Urusan-urusan manusia yang tadinya sederhana menjadi pelik, rumit, kompleks. Bila demikian, diperlukan upaya pembacaan ulang/penafsiran anyar Alquran guna menjawab perubahan zaman. Lantaran tafsir klasik dipandang mengalami kesulitan mengatasi problem kekinian.

Hampir-hampir semua mufasir klasik menggunakan pendekatan literal alias harfiah (hard textualism). Meski sama–sama menafsirkan sebuah ayat Alquran, tapi konklusinya tidak jauh berbeda. Dalam kasus pencurian, sesuai teks Alquran, hukumannya adalah tangan si pencuri harus dipotong. Dari sini, Islam berkesan hitam-putih dan kaku.

Bagi Muslim yang mempertahankan model tafsir tekstualis, hal tersebut menunjukkan hukum Tuhan telah dijalankan dan sememangnya telah mendaku tetap berada dalam koridor Alquran dan Sunnah. Sembari menuntup pintu pemahaman yang lebih luas, semisal dengan mengaitkan pada konteks sosial.

Padahal penafsiran kontekstual--penafsiran yang melibatkan unsur-unsur lain (pertimbangan budaya, ekonomi, sistem sosial, dan ragam disiplin ilmu) telah dilakukan Umar bin Khattab, sahabat terdekat Nabi Saw. Sewaktu menjadi khalifah, terjadi pencurian yang dilakukan si fakir. Namun Umar “mengabaikan” perintah Alquran memotong tangan lantaran laku si fakir itu didorong rasa kelaparan akut.

Semangat kontekstualisasi Umar dalam memahami Alquran inilah yang menjadi tema utama Abdullah Saeed, Guru Besar Studi Islam Melbourne University. Alhasil, bukan barang baru Alquran dikaji dengan pendekatan kontekstual.

Dalam karyanya ini, Saeed membuat tahapan itu dengan apa yang disebut sebagai “konteks makro 1” atau semacam nilai ideal tafsir kontekstual. Tujuan mengkaji konteks makro ini adalah untuk memeroleh pemahaman logis yang baik atas keseluruhan kondisi di mana teks-teks Alquran tertentu diturunkan dan untuk memahami bagaimana “makna” teks tersebut berkait dengan kondisi tersebut (hal: 14).

Meski juga mufasir klasik menyertakan penafsiran yang bercorak kontekstual dengan memasukkan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya suatu ayat), namun bagi Saeed, masih belum cukup sistematis. Sedangkan pada “konteks makro 2” lebih bersifat rigid menyangkut personal mufasir: dengan menimbang kondisi politik, ekonomi, sosial dan latar belakang tempat tinggal mufasir.

Namun, Saeed mengakui, banyak ayat Alquran yang tidak perlu menyaratkan pemahaman kontekstual karena langsung relevan dengan beragam konteks (hal:15). Semisal ayat hikayat para nabi adalah orang saleh; di mana poin pentingnya berupa pengajaran moralitas (nilai etik). Pun, termasuk untuk ayat-ayat teologis atau eskatologis; karena hanya mensyaratkan keimanan.

Fenomena mutakhir laku sebagian Muslim yang cenderung menggandrungi corak penafsiran tekstualis justru menyempitkan relevansi universalitas Alquran. Nilai plus landasan penafsiran kontekstual lantaran kitab suci tersebut mengandung tujuan nilai-nilai kemanusiaan yang melintas batas (geografis-tradisi) demi pencapaian sebuah kemaslahatan/maqashidus syari’ah. Apalagi, Alquran merupakan kalam Tuhan yang diyakini selalu relevan untuk semua tempat dan zaman.

Ikhtiar tafsir kontekstual tidak sama sekali bertujuan mereduksi dan mengacaukan esensi ajaran agama. Sebaliknya, justru mengedepankan pemahaman literal belaka bisa merusak upaya merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih tinggi yang terkandung di dalam nilai-nilai Alquran (hal: 21). Dengan berkontekstual bisa dihasilkan “temuan-temuan” baru yang dapat mengubah suatu tafsiran yang telah mapan berabad-abad.

Meski demikian, Saeed tetap menaruh hormat dan tidak mengabaikan begitu saja kontribusi mufasir klasik yang--secara sederhana--telah berupaya meletakkan fondasi apa yang kini bersebut tafsir kontekstual. Upaya kontekstualisasi penafsiran Alquran yang digagas sarjana Muslim kontemporer macam Saeed ini sebenarnya merupakan upaya meneruskan dan memperluas laku tekstualis penafsiran para mufasir klasik.

Sama sekali naif bila kedua metodologi tersebut dihadap-hadapkan. Cukup dimaknai bak rantai persambungan atau tongkat estafet. Dalam fenomena mutakhir di negeri ini, bertafsir kontekstual boleh jadi menjadikan muslim Indonesia tak mudah heboh dengan berpolemik menyikapi asuransi BPJS, pemimpin non-Muslim, dan ideologi atau sistem negara: khilafah, Pancasila, demokrasi.

Data buku: Judul: Al-Qur’an Abad 21: Tafsir Kontekstual

Penulis: Abdullah Saeed

Penerbit: Mizan

Cetakan: Pertama, Januari 2016

Tebal: 316 Halaman

Peresensi adalah alumnus UIN Yogyakarta*

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement