Ahad 05 Feb 2017 09:38 WIB

Rumah Idaman

Memiliki rumah sendiri adalah idaman tiap orang.
Foto:

Manusia hidup memang tak pernah merasa puas. Karena itu, persoalan datang silih berganti. Begitu pula yang dialami keluarga Maman. Belum genap dua bulan menempati rumah BTN, istri dan anak-anaknya kembali mengeluh, minta rumah itu untuk direnovasi. Karena rumah tipe-21 yang hanya berkamar satu itu memang tak layak untuk dihuni satu keluarga dengan anak tiga, apalagi si sulung, santi, sudah beranjak perawan!

Sejenak Maman terdiam mendengar tuntutan istri dan ketiga anaknya ini. Tapi akhirnya ia berencana untuk pinjam uang ke rentenir, Iwan Tobang. Mula-mula istri dan ketiga anak Maman menolak, karena bunganya yang tinggi dapat menghancurkan ekonomi keluarga mereka.

Tapi setelah Maman ngotot tak ada jalan lain lagi, akhirnya istri dan ketiga anaknya setuju juga. Keesokan harinya Maman mendatangi rumah Iwan Tobang. Dan Iwan Tobang yang sudah lama ingin 'memangsa' Maman dengan senang hati meminjami delapan juta rupiah seperti yang diinginkan oleh Maman.

Dan dengan uang sebanyak itu Maman dapat merenovasi rumah BTN-nya sesuai dengan yang diinginkan istri dan ketiga anaknya. Maman merasa puas dapat memenuhi tuntutan istri dan anak-anaknya. Istri dan anak-anaknya bangga, karena dapat menempati rumah yang benar-benar laik untuk dihuni.

Kini hari-hari dapat dilalui Maman dengan tenang dan tentram. Hidup serasa kembali ringan, tanpa beban, seperti ketika ia menempati rumah kontrakan dulu. Tapi, kenyamanan dan ketentraman itu tidak berlangsung lama.

===

Beberapa bulan kemudian, persoalan kembali datang menerjang! Karena Adi lulus dari SLTP hendak masuk SMA dan si bungsu Rian lulus dari SD mesti melanjutkan ke SLTP! Maman kembali pusing. Lama ia berpikir, mencari jalan keluar dari kesulitan yang dihadapinya. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk mendatangi rumah Pakde-nya di Menteng.

Sebenarnya Maman sudah memutuskan tali silaturahmi dengan Pakde-nya itu. Perkaranya, Pakde-nya itu terlalu kikir. Ia tak pernah mau tahu kesusahan orang lain, walau ia orang yang berpunya. Tetapi dalam keadaan kepepet seperti itu, Maman ingin mencoba juga.

"Wah, aku dengar sekarang kau sudah jadi orang kaya," ucap Pakde dengan senyum, menyambut kedatangan Maman. "Makanya kau nggak mau lagi datang bertandang ke rumahku."

"Ah, kaya apa, Pakde. Hanya sekadar menempati rumah BTN tipe-21 saja." "Lha, itu kan sudah lebih baik dari pada ngontrak. Iya, to?"

"Inggih, Pakde, benar," Maman mengangguk takzim. "Tapi, justru sekarang ini persoalan datang silih berganti."

"Oh, nggak perlu putus asa. Ya begitulah romantika hidup ini. Apa kau butuh pinjam uang?"

Maman terperangah, seakan tak percaya dengan kata-kata Pakde-nya yang nampak diucapkan dengan sangat tulus itu.

"Tapi ya nggak polos. Ada sedikit bunganya," lanjut sang Pakde.

Maman semakin terperangah. Heran dan penuh tanda tanya.

"Ya beginilah, Man, romantika hidup. Karena sekarang aku sudah pensiun, pendapatan sudah banyak berkurang, obyekan sudah nggak ada lagi, kamu nggak usah heran kalau aku melakukan pekerjaan ini."

Maman mengangguk-angguk, tapi pikirannya hampa.

"Bagaimana, jadi kau pinjam uang?" sang Pakde mengusik.

"Ya ya jadi, Pakde, jadi," suara Maman gagap. "Tapi jangan banyak-banyak. Satu juta saja."

"Apa nggak kurang?"

"Cukuplah, Pakde. Kalau banyak-banyak, takut nggak sanggup membayarnya."

Dan dengan uang pinjaman dari Pakde-nya itu, terselamatkanlah biaya sekolah anak-anaknya. Maka untuk sementara waktu Maman kembali dapat menghela napas lega. Tetapi dua bulan kemudian, Maman harus mulai mencicil utang pada Pakde-nya, seperti yang telah ia janjikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement