Sabtu 28 Jan 2017 08:00 WIB

Maling

Ilustrasi korupsi.
Foto: wikimedia
Ilustrasi korupsi.

Tapi, sore itu kuping Bu Marni memanas. Motor bebek yang biasa dipakai Hendi, anak Pak Cokro yang kedua, hilang. Mengetahui hal itu, dengan membuka pintu pagar depan rumahnya lebar-lebar, Pak Cokro yang baru pulang kerja langsung berteriak-teriak.

"Makanya, Hendi, kamu itu jangan sembrono! Nyimpan motor di luar pintu pagar rumah, ya pasti dicolong maling! Sekarang memang banyak maling di sekitar rumah kita ini. Jangan lagi motor. Sandal, sepatu, sapu, payung, bahkan pot bunga aja kalau disimpan di luar pintu pagar, pasti hilang! Ngerti kamu?"

"Ngerti, Pak," jawab Hendi lirih.

"Makanya kamu harus hati-hati! Kamu harus tahu, apa pekerjaan orang depan rumah kita itu?"

Hendi membisu.

"Kamu juga harus tahu," tukas Pak Cokro pula. "Banyak orang iri pada kita. Sehingga, orang yang tadinya baik, bisa jadi maling!"

Bu Marni, yang kala itu sedang menyapu teras depan rumahnya, merasa tersinggung oleh kata-kata Pak Cokro yang seperti sengaja dibidikkan padanya. Secara tidak langsung Pak Cokro telah menuduhnya sebagai maling.

Segera Bu Marni meletakkan sapunya. Tapi, ketika ia bergegas melangkah menghampiri rumah Pak Cokro, dengan tergesa dan menghentak Pak Cokro menutup pintu pagar depan rumahnya.

Sedang Bu Marni yang sudah terlanjur dibakar api kemarahan, dengan sedikit kasar mengetuk-ketuk pagar yang ditutupi fiberglas itu sambil berseru, "Assalamualaikum!"

Terpaksa Pak Cokro membuka kembali pintu pagar rumahnya.

"Ada apa, Bu?" tanya Pak Cokro, berlagak bego.

"Pak Cokro menuduh saya mencuri motor bebek Hendi?" suara Bu Marni memburu.

"Ah, siapa yang bilang?" Pak Cokro pasang mimik serius.

"Saya dengar waktu Pak Cokro berteriak-teriak memarahi Hendi," kata Bu Marni.

"Ah, itu perasaan Bu Marni saja," suara Pak Cokro berubah santai, ramah.

"Percaya, Bu, saya nggak nuduh siapa-siapa. Saya hanya memarahi Hendi agar tidak teledor. Gang depan rumah kita ini kan jalan yang hidup. Banyak orang lalu-lalang. Jadi mana bisa saya menuduh orang sembarangan?"

Bu Marni terdiam, tak mampu untuk membela diri lebih jauh. Lalu tanpa permisi ia pergi meninggalkan halaman rumah Pak Cokro, walau di dalam hatinya masih tersimpan rasa kesal.

Sepeninggal Bu Marni, Pak Cokro menutup pintu pagar rumahnya sambil bergumam, "Huh, dasar miskin. Ada orang ngomong sedikit keras aja tersinggung!"

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement