Ahad 22 Jan 2017 15:33 WIB

Ayah

Ayah dan anak. Ilustrasi
Foto:

Lalu, sepanjang masa remajaku, banyak sekali hal-hal yang membuatku terus merindukan kehadiran sosok ayah.  Bahkan, sewaktu masa orientasi siswa baru ketika aku masuk SMA, aku hanya tercenung di depan kelas ketika tiba giliranku untuk menceritakan secara singkat mengenai keluarga. Kata-kataku berubah menjadi tanda titik, ketika aku selesai bercerita mengenai ibu yang seorang pegawai adminitrasi di sebuah pabrik plastik. Hanya sosok Ibu yang aku bisa ceritakan di hadapan kelas.

Namun, aku tak pernah lelah mencari sosok ayah dalam hidupku, hingga ketika kehidupan yang sesungguhnya menempaku. Aku tak lagi mencari-cari sosok laki-laki dengan cambang kasar itu, karena aku mulai menemukan di mana ia berada.

Aku tak lagi cemburu ketika ada anak TK yang digendong ayahnya, aku tak lagi merutuk kalau Pakdhe Heri, tetangga sebelah rumah, asyik bermain dengan Tian, anaknya yang masih berusia tujuh tahun di depan rumah.

Sejak lulus dari bangku SMA, aku mulai samar-samar menemukan sosok ayah yang selama belasan tahun kucari-cari. Hidup menempaku menjadi seorang lelaki muda yang harus mampu menghidupi diri sendiri, serta ibu.

Berbekal beasiswa yang kudapat, aku menempuh pendidikan di Universitas Negeri. Setiap sore aku gunakan untuk bekerja, apa saja. Mulai dari menjaga toko, membantu pedagang soto sore di depan kampus, hingga menjadi pelayan di sebuah kafe.

Ibu tak lagi pergi bekerja sejak aku kelas tiga SMA, kesehatannya tidak baik. Aku kasihan sekali dengan ibu. Saat itu, benar-benar menjadi masa terberatku. Saat itu juga adalah di mana aku paling menginginkan kehadiran sosok ayah di sampingku, di samping ibu. Namun di sisi lain, saat itu menjadi titik balik, di mana aku sadar bahwa ayah telah berada di surga, dan tak akan pernah mungkin mengujungiku di bawah pohon jambu air di depan rumah.

Tentang kehadiran ayah di bawah pohon jambu, seperti kata ibu, aku baru tahu apa sebenarnya yang dimaksud oleh ibu. Di bawah pohon jambu itu, tanpa aku sadari, ada satu pohon bunga lili bakung berwarna oranye. Bunga itu tidak tumbuh sepanjang waktu, hanya tumbuh ketika bunganya akan mekar saja, setelahnya tak ada bekas apa pun. Begitu, selalu terulang sepanjang bulan, sepanjang tahun.

Dan tanpa kusadari, ayah memang selalu datang menemaniku bermain di bawah pohon jambu, lewat kuntum bunga lili bakung yang munculnya tidak pernah kusadari. Terima kasih Ayah, telah menemaniku bermain! Aku sayang Ayah.

Ibu pula yang memberitahuku mengenai bunga lili bakung itu, bahwa itu adalah bunga terakhir yang sempat ditanam oleh ayah, sebelum beliau berangkat bekerja ke Malaysia dengan menumpang perahu kayu. Menurut cerita ibu, perahu kayu yang ditumpangi oleh ayah dan dua puluh teman lainnya terbalik di tengah lautan. Hanya lima jasad yang diketemukan dari tragedi tersebut, jasad ayah tidak termasuk dalam lima itu.

Setelah ibu mengungkap rahasia kedatangan ayah di bawah pohon jambu, pelan-pelan aku mulai tahu dan menemukan sosok ayah idamanku. Ia adalah ayahku yang sebenarnya, yang hangatnya selalu membangunkanku setiap pagi, menghangatkanku kala hujan tak berhenti turun di siang pada musim penghujan.

Iya, aku telah menemukannya, dan aku tak lagi mencari-cari sosok itu pada kelebat bapak-bapak dengan perut buncit, atau om-om botak. Ayahku lebih hebat dari semua sosok yang kukagumi saat SD, ayahku lebih hangat dan nyaman ketimbang ayah teman-temanku.

Bersamanya, aku mulai menapaki kehidupan yang sesungguhnya. Aku banya belajar darinya. Tentang arti perjalanan, seperti halnya ketika pagi menjelma siang dan menapaki malam. Aku belajar bagaimana harus berbagi, seperti ketika matahari harus berbagi waktu dengan rembulan. Aku belajar semua darinya, ayahku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement