Sabtu 21 Jan 2017 12:10 WIB

Tabungan Orang Kecil

ilustrasi cerpen

Marni berdiri dan melangkah menuju lemari pakaian. Tangan kanan perempuan bertubuh kerempeng itu merogoh belakang lemari. Kemudian ia mengangkat patung macan yang sama dengan macan yang ditimang Sam tadi. Senyum Marni mengembang. Ia berjalan dan kembali duduk. Ia menyodorkan benda itu kepada Sam.

"Ini hasil penjualan kompos yang aku buat di belakang rumah, Mas. Insya Allah isinya dapat mencukupi biaya hidup kami selama ditinggal Mas pulang, dan dapat menambah ongkos mudik sampeyan."

Sam terharu. Sejurus ia menatap patung yang sudah diletakkan di atas kasur yang kempes. Ia pegang kepalanya.

"Tidak marni. Ini hasil jerih payahmu. Kaulah yang harus menikmatinya. Pergunakan untuk membeli keperluanmu. Kalau ikhlas membantuku, belikanlah anak-anak pakaian yang layak. Buatlah mereka senang."

"Mas, kita sudah terbiasa menikamati apa yang bisa kita dapatkan dan apa yang ada. Jenguklah orang tua. Belasan tahun Mas meninggalkan mereka, sudah selayaknya mereka ditengok. Aku yakin, bertemu denganmu adalah sebagian dari kebahagiaan mereka juga baktimu kepada mereka." Marni membujuk Sam dengan suara lirih. Sam diam membisu.

Sejak muncul tawaran dari sang istri untuk mudik sendiri, Sam tak henti berpikir. Berbagai pertimbangan bergelut dalam benaknya. Terkadang bulat tekadnya untuk pulang. Terkadang ia menolak mudik tanpa disertai istri dan kedua anaknya.

Suara beduk di surau kecil di kampung seakan memanggil-manggilnya. Hari terus berlari melewati angka demi angka di kelender pada dinding kamar Sam. Sam tetap bimbang. Terkadang ia ingin berteriak sekeras-kerasnya. Ia benar-benar merasa tolol untuk membuat suatu keputusan. Menjelang lebaran haji anak-anak merengek pada Marni.

"Mak, kapan membeli baju? Lebaran lalu kan belum beli baju baru. Baju dan seragam sekolah Andi sudah jelek semua. Malu sama teman-teman."

"Bagaimana kalau kalian membeli baju dengan uang tabungan kalian?"

"Maksud Mak, kami memecah si jago dan si babon?" tanya Andi penuh selidik.

Marni mengangguk pelan.

"Kenapa, Mak? Celengan kami, kan belum penuh. Kami masih sayang untuk memecahnya." Santi protes.

"Tolong, kalian mengerti. Bapak ingin pulang ke Jawa menengok Mbah. Jadi kita harus menghemat uang agar Bapak bisa menengok kakek dan nenek." Marni menjelaskan  dengan suara pelan setengah berbisik karena takut didengar Sam yang baru pulang kerja dan duduk di beranda.

"Jadi kita mau mudik, Mak? Kita akan naik pesawat atau kapal seperti Jaka?" Tanya Santi polos.

"Bukan kita yang mudik, tapi Bapak!" Andi memotong.

"Ya, Cuma Bapak. Enak Bapak, dong, naik kapal, naik bis besar atau kereta. Kita cuma di rumah saja." Santi kembali protes.

Marni tak enak berdebat di ruang tamu yang berdekatan dengan tempat Sam duduk. Akhirnya ia mencari alasan untuk menjauh dari sana.

"Kalian bisa membantu Mak, enggak?"

"Bantu apa, Mak?" tanya Andi.

"Kita buat keripik pisang, yuk! Nanti kita bungkusi dengan plastik dan kita jual di pasar pagi atau sama tetangga juga bisa. Siapa tahu bisa untuk menambah uang buat beli baju seragam kalian."

"Tapi, aku mau ikut ke Jawa sama Bapak!" Santi masih merengek.

"Makanya harus rajin menabung agar kita bisa menjenguk nenek bareng-bareng lebaran tahun depan, ya!" bujuk Marni sambil menggamit kedua anaknya berjalan menuju dapur.

Pembicaraan anak dan istrinya terdengar samar-samar oleh Sam. Batinnya menjerit. Ulu hatinya sesak seperti diganjal bongkahan batu gunung. Ia berdiri dan berjalan ke kamar. Di sana ia hanya mampu memandangi si macan kembar yang melambangkan tetesan keringat sepasang manusia yang hanya mampu bercita-cita.

Tien Rostini

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement