Senin 12 Mar 2018 09:01 WIB

Hamka, Kaum Muda, dan Cadar

Buya Hamka membela kaum muda dari tudingan-tudingan miring.

Buya Hamka.
Foto: Twicsy.com
Buya Hamka.

Oleh: Yusuf Maulana *)

Pada 13 Juli 1958, sebuah tulisan di halaman akhbar (koran) Semenanjung yang terbit di Johor Baru, Malaysia, karya mufti kerajaan setempat, Sayyid Alwi al-Haddad, mengguncang banyak pembaca, khususnya kalangan pendukung dakwah “Kaum Muda”. Kaum Muda adalah sebutan untuk umat Islam yang giat menyerukan gerakan pembaruan pemahaman berislam dengan slogan yang terkenal “kembali pada Quran dan Sunnah”. Bila oponennya (yang disebut Kaum Tua) berpegang teguh pada pemahaman ulama mazhab (Imam asy-Syafi’i dalam fiqh; Imam al-Asy’ari dalam kalam; Imam al-Ghazali dalam tasawuf), tidak demikian dengan Kaum Muda.

Sayyid Alwi al-Haddad, sang Mufti Johor, termasuk pengemuka Kaum Tua yang gerah dengan keberadaan dan pergerakan Kaum Muda. Hingga disebutlah dalam akhbar terpandang di negerinya bahwa Kaum Muda tidak menerima sebagian sendiri Islam. Malahan, Kaum Muda dalam peribadahan tidak berbeda dengan kalangan Ahmadiah Qadian. Mereka juga, kata sang mufti, serupa gerakan Turki Muda yang merobohkan institusi kekhalifahan umat.

Yang mengejutkan, sang mufti menyebut Kaum Muda sebagai pihak yang bertanggung jawab masuknya muslimin memeluk komunis. Gara-gara Kaum Muda, sebanyak 30 juta di Indonesia beralih sebagai komunis. Saat yang sama, masih di koran terbitan tersebut, sejumlah 10 juta umat muslim berpindah agama menjadi Kristiani!

Poin-poin tuduhan tertulis sang mufti itu sontak saja meresahkan sekaligus bikin gamang gerak dakwah pendukung Kaum Muda. Alhasil, Muhammadiyah Singapura berinisiatif mengundang Buya Hamka untuk mengklarifikasi tudingan-tudingan sang mufti. Sudahlah kalangan muslimin menaruh curiga, kepercayaan diri pengikut Kaum Muda juga perlu dijaga dari segala embusan prasangka. Sebab, yang menuding punya akses kekuasaan dan didukung banyak pihak. 

Buya Hamka pun tampil bukan untuk membela akibat “persaingan” antar-kelompok, apatah lagi dilandasi kebencian. Hujah-hujah yang mematahkan tudingan sang mufti secara memikat, rasional, kaya data, disajikan Buya Hamka. Kelak dijuduli dengan indah tanpa merendahkan pihak yang dituju. Teguran Suci & Jujur terhadap Mufti Johor hadir tak sampai sebulan kemudian dalam wujud buku. Tulisan dibantah tulisan, dengan tetap menjaga kehormatan ulama yang dikritik.

Adalah hak pihak yang berkeberatan dengan tudingan Mufti Johor untuk angkat bicara menghadirkan hujah. Buya Hamka tampil ke depan di negeri jiran untuk meluruskan fakta-fakta yang teranggap tendensius dan mengarah fitnah. Ihwal penyamaan Kaum Muda dan gerakan Turki Muda di bawah Attaturk, amatlah mudah dibantah. Hanya karena ada kata “muda”, sang mufti begitu gegabah menyamakan keduanya. Parahnya, logika pukul rata kesamaan satu aspek terjadi juga pada soal Kaum Muda tak berbeda dengan kalangan  Ahmadiyah Qadian bahkan menerima fatwanya pula.

Dalam bantahan soal andil Kaum Muda di balik angka 30 juta pengikut komunis dibantah Buya Hamka dengan angka partai-partai peraih suara dalam pemilu pertama di Indonesia, pada 19 September 1955. Faktanya, kata Buya Hamka, pemilih (partai) komunis hanya 8 juta orang; sisanya pemilih Masyumi 2 juta, PNI 12 juta dan NU 8 juta. 

“Kalau keterangan Sayyid Mufti Johor itu benar, yakni 30 juta jadi komunis, niscaya telah hampir separuh orang Indonesia jadi komunis! Dan yang punya salah ialah kaum-muda!” sindir Buya Hamka.

Dengan metode bantahan sejarah dan verifikasi data mutakhir pula dari Kementerian Agama, Buya Hamka tampil elegan membela Kaum Muda ketika disangka oleh sang mufti sebagai penyebab murtadnya muslimin. Secara telak, dibalikkan satu tanya: di mana Kaum Tua dalam menampilkan usaha yang menangkal kristenisasi? 

“Adapun orang Kristian sendiri mengaku bahawa lawannya yang teratur di dalam menentang gerakan mereka dan lebih berbahaya bagi mereka ialah Muhammadiyah!” tulis Buya Hamka. Yang dikatakan Buya Hamka ini kelak dibuktikan dalam disertasi Alwi Shihab tentang andil penting Muhammadiyah dalam menangkal kristenisasi di Indonesia.

Untuk meyakinkan pembaca bahwa Kaum Muda tidaklah seperti sangkaan Mufti Johor, Buya Hamka menyitir pujian Mufti Palestina, Sayyid Amin al-Husaini ketika berziarah ke Indonesia, terhadap Muhammadiyah, satu lokomotif Kaum Muda, “Perserikatan (ini) adalah perserikatan Islam yang paling besar dan paling teratur di dunia!” Dan diulangi lagi pujian senada ketika Mufti al-Husaini berbicara di depan ayah al-Sayyid Fahmi al-Amrusi di Kairo. Saat sang tuan rumah bertanya gerakan paling besar di dunia Islam, Mufti al-Husaini berkata mantap soal Muhammadiyah, “Memang di dunia! Di tanah Arab tidak ada perserikatan agama sebesar dan seteratur ini (Muhammadiyah).” 

Buya Hamka bukan tak sengaja memetik pujian Mufti Palestina baik ketika di Indonesia ataupun saat berdialog dengan sesama sayyid di Kairo. Untuk menyanggah sayyid yang mulia di Johor, hadirnya pendapat berkebalikan dari sayyid lain yang berkelas internasional merupakan satu tonjokan telak. 

Arkian, dalam beberapa tempat lain di Teguran Suci & Jujur, Buya Hamka tidak dapat menahan jengkel dengan tudingan sang mufti. Sebab, jauh panggang dari apa; apa ditudingkan semata opini yang dipaksakan; atau informasi yang diolah sedemikian rupa tanpa tabayun tapi segera saja dijadikan legitimasi bersuara di media. Betapa tidak, Ahmad Hassan—atau dikenal juga dengan: Hassan Bandung, dai terkemuka Persatuan Islam—disebut oleh sang mufti Johor sebagai kalangan yang kafir hanya karena menolak menajiskan daging babi. Soal daging babi, Mufti Johor rupanya tidak adil menelusuri dalamnya khazanah Islam, khususnya fiqh, bahwa Imam Malik berpendapat serupa. Inilah yang dipakai Buya Hamka dalam membela Hassan, salah satu ulama yang dikaguminya.

Sang Mufti Johor menuduh Hassan sebagai pengikut teori Darwin dan Freud. Buktinya ada dalam salah satu karya Hassan:  Al-Furqan—sebuah tafsir Quran. Apakah A Hassan memercayai proses penciptaan manusia sebagaimana Charles Darwin berteori? Bukankah di Indonesia nama Hassan dikenang sebagai salah satu penentang ateisme?

Tuduhan tersebut tidak main-main, namun sayangnya tanpa bukti; hanya sebatas tudingan kosong. Buya Hamka mengajak pembaca untuk melihat-lihat kitab tafsir setebal 1256 halaman itu untuk menguji akurasi pernyataan sang mufti. Buya Hamka sendiri berpendapat tandas, “Tidak ada satu kalimat pun terdapat di sana bahawa Almarhum Hassan Bandung mengikuti teori Darwin dan Freud.”

  Selain kemungkinan karena faktor ketidaksukaan sang mufti pada sosok Hassan, menurut Buya Hamka, “Bisa jadi sang mufti sendiri tidak tahu apa itu teori Darwin dan Freud, (selain) hanya didengarnya dari orang lain saja. Maka dengan pengetahuannya yang dangkal itu dicobanya menimpakan tuduhan kepada lawannya.”      

Kendati begitu, Buya Hamka masih menaruh harapan agar kejadian bertendensi fitnah pada pribadi Hassan Bandung itu semata-mata salah kutipnya jurnalis Semenanjung tatkala mewawancarai Mufti Johor. Sebab, ketidaksukaan pada pendapat sesama ahli ilmu semestinya tidak sampai menghadirkan pembenaran berbentuk fitnah dan kedustaan yang tak memandang kelogisannya. Demikian pula semestinya kasus-kasus serupa ini tak perlu berulang, yang ujungnya hanya mempermalukan satu pihak yang demi dan atas nama marwah Islam ataupun kebenaran Islam akhirnya malah mempermalukan dirinya sendiri dan reputasi Islam juga.  

Kejadian menyamakan penutup wajah (niqab atau cadar) bagi mahasiswa sebuah kampus negeri keislaman belum lama ini ada beberapa keserupaan dengan kemenggebuan Mufti Johor. Dengan delik membawa muatan ideologi dan politik tertentu, cadar dilarang dipergunakan di area kampus. 

Sang pembuat kebijakan bukan sekali saja membuat pernyataan gegabah dan tidak ilmiah. Di karya-karya tulisnya, betapa mudah mengidentifikasi ciri muslimin sebagai kalangan “wahabi”. Bahkan, kelompok yang oleh para “wahabi tulen” sekalipun dicap ahli bidah, oleh sang penulis dimasukkan wahabi. Ketidaksukaan pada hal berbaul “wahabi” menghadirkan sikap arogan dan terkesan tak peduli nalar, aturan hukum, dan adab ahli ilmu. Serupa dengan sang Mufti Johor yang abai terhadap kebenaran suatu fakta tapi memaksakan opininya atau interpretasinya sebagai kebenaran dalam Islam. n

*) Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku". 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement